China Tak Henti-hentinya Meyakinkan Dunia
Secara de facto Asia telah memiliki tongkat kepemimpinan ekonomi secara global. Hal ini akan menjadi embrio untuk tongkat kepemimpinan global dengan aspek lebih luas. Peralihan tongkat ini adalah buah jerih payah Asia dan pemberian alam. Meski demikian, Asia harus menjadi pemimpin global yang lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya.
Pertemuan Asia-Uni Eropa di Brussels, Belgia, 18-19 Oktober 2018 lalu secara simbolik menjadi tonggak penyerahan tongkat kepemimpinan global tersebut. "Kami ingin memberi relasi kami dengan Asia sebuah energi baru yang bergerak lebih cepat,” demikian pernyataan Presiden Komisi Uni Eropa Jean Claude-Juncker.
Langkah Eropa ini berbeda dengan AS di bawah Presiden Donald Trump. Lewat Kawasan Perdagangan Amerika Utara (NAFTA), yang kini menjadi United States–Mexico–Canada Agreement (USMCA), Trump memblokir Kanada dan Meksiko agar jangan “mendekati China”. Pada Seksi 32 USMCA ada perintah agar Kanada dan Meksiko menahan diri untuk tidak meningkatkan hubungan dagang resmi dengan China. Jika Kanada dan Meksiko melakukan itu, AS keluar dari USMCA.
Penasihat ekonomi Trump, Larry Kudlow, mendaulat bahwa Benua Amerika kini bersatu menentang praktik perdagangan tidak fair oleh negara non-pasar, merujuk China. Menurut Kudlow, jika pembicaraan sukses, Eropa dan Jepang akan menjadi negara atau kawasan yang direkrut untuk “koalisi baru” menentang China.
“Menolak” ajakan
Upaya ini tidak akan berhasil. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan USMCA tidak akan bisa menghalangi relasi Kanada-China. Meksiko pun melawan. Menteri Perekonomian Ildefonso Guajardo menegaskan USMCA tidak akan menutup kesepakatan dagang dengan China ().
“Hubungan Meksiko berkembang begitu baik, lebih dari sekadar hubungan dagang. Kedua negara memiliki hubungan komprehensif,” kata Enrique Dussel, pakar China dari Meksiko, dan koordinator China-Mexico Studies Center di National Autonomous University (UNAM), Meksiko.
Presiden Perancis Emmanuel Macron juga sudah menegaskan tidak akan membiarkan Perancis memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan negara yang mundur dari kesepakatan global soal perubahan iklim. Hal ini dia sampaikan saat berpidato di PBB, 25 September 2018. Ucapannya ini jelas merujuk pada AS.
Demikian pula Jepang bahkan aktif mempererat relasi Eropa dan Asia. "Oleh karena Jepang adalah pendukung perdagangan bebas, saya dengan kukuh menekankan pentingnya tatatanan ekonomi yang bebas diiringi aturan yang fair,” kata PM Jepang Shinzo Abe pada 16 Oktober 2018.
Abe pun gencar mendorong pertemuan Asia-Eropa, kamuflase untuk mempererat blok Uni Eropa-China lewat Asia. China memang tidak pernah mau tampil sebagai penggerak utama dan selalu mengatakan tidak ingin menjadi pemimpin satu-satunya, tetapi bersedia menjadi salah satu pemimpin.
Di Asia tidak hanya ada China. Namun China adalah negara yang paling gencar meningkatkan kualitas perekonomian termasuk memburu teknologi terbaru, seperti disinyalir ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2006, Edmund Phelps.
Menghindari kesan “licik”
China memiliki momentum menjadi penggerak global baik secara ekonomi dan geopolitik ke depan. Ini adalah megatrend yang tidak terhindarkan. Lembaga think-tank manapun di dunia tidak kekurangan bahan untuk mendukung kebesaran China. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde pun sudah berkali-kali mengatakan Asia adalah mesin perekonomian global.
China adalah singa jantan baru yang akan menjadi pemimpin. Singa jantan bertenaga baru (impetus), mengambil istilah Claude-Juncker, tidak perlu mengejar dan memburu singa tua, cukup menggertak dan singa tua akan pergi dengan sendirinya.
Akan tetapi dalam hubungan internasional era modern, tidak berlaku hukum rimba. Maka sudah pas ucapan berkali-kali yang dilontarkan Presiden China Xi Jinping bahwa hubungan saling menghargai dan saling menguntungkan lah yang paling pas.
Tidak perlu mengejar dan memburu singa tua, cukup menggertak dan singa tua akan pergi dengan sendirinya.
Kesadaran China sebagai pemimpin baru wajib dilengkapi dengan kesabaran tingkat tinggi. Tuduhan-tuduhan Trump yang sarkas pada China sebaiknya dimaklumi bak orang yang sedang terluka dan mengeluh keadaan ekonomi domestik. China wajib memahami fenomena ini dengan terus mengajak AS berkolaborasi.
Peralihan kepemimpinan global ini juga harus dicermati dengan cerdik. China wajib memegang moto diplomasi yang dulu dicanangkan almarhum pemimpin Deng Xiaoping. “Bersabarlah dengan waktu, sembunyikan kehebatanmu, dan jangan pernah memegang kepemimpinan. Ini muncul lewat ucapan Deng Xiaoping, “Tao guang yang hui”. Ini dilengkapi oleh Presiden Xi Jinping dengan kalimat “fen fa you wei” atau bergiatlah untuk meraih prestasi.
Memupus kecurigaan
Kesabaran dan kerendahan hati China sangat penting mengingat Eropa pun belum yakin sepenuhnya. Perubahan kekuatan ekonomi global telah memunculkan kegamangan. Yuan Peng, Presiden China Institutes of Contemporary International Relations, mengingatkan ada korelasi kuat antara kebangkitan pesat China dengan hubungan bilateral dengan AS dalam empat dekade terakhir. China harus menyadari efek positif hubungan bilateral dengan AS itu.
Tambahan pula China kini mirip makhluk baru yang susah diraba. Apakah China sekadar menguasai ekonomi atau akan berkembang menjadi kekuatan pemaksa ideologi? Kecurigaan muncul juga karena faktor perbedaan ideologi, seperti dikatakan Dubes China untuk AS Cui Tiankai.
Apalagi seperti diberitakan kantor berita Xinhua, 25 Februari 2018, Presiden Xi Jinping menegaskan, “Sosialisme dengan karakteristik China untuk era baru. Warga China akan melanjutkan kediktatoran demokratis dan jalan sosialis dilengkapi dengan reformasi dan pembukaan diri terhadap dunia…”.
Tidak banyak fakta kuat tentang kekuatan liberal China masa lalu, seperti saat Inggris dan Eropa mengeksploitasi dunia lewat penjajahan. Namun kekuatan ekonomi China ditengarai akan melahirkan sikap hegemoni. Pakar hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer, tidak ragu mengatakan bahwa perubahan kemampuan ekonomi akan mengubah juga perilaku.
Eropa juga khawatir
Hegemoni yang membelenggu adalah fakta empiris. Seperti diutarakan Kanselir Jerman Angela Merkel, “Saya tidak pernah lupa ketika Jerman Timur di bawah Uni Soviet.” Ini merupakan refleksi akan ketakutan pada China yang sekarang juga sedang muncul dan menguat di Eropa.
Sebuah lembaga think-tank, Carnegie Europe, dengan jelas menyuarakan pandangan bernuansa kekhawatiran soal China. Ini disampaikan para pemikir di lembaga itu, yakni Lizza Bomassi, Erik Brattberg, Judy Dempsey, Alexander Gabuev, Yukon Huang, Chung Min Lee, Milan Vaishnav, Pierre Vimont.
Hanya ada satu yang seragam dalam pandangan China dan Eropa sekarang ini, sama-sama menolak unilateralisme AS. Selebihnya adalah kekhawatiran China yang akan mendikte lewat kekuatan ekonomi, dan kekhawatiran akan minimnya penghargaan pada isu-isu hak asasi manusia oleh China.
Hanya ada satu yang seragam dalam pandangan China dan Eropa sekarang ini, sama-sama menolak unilateralisme AS.
Jalinan hubungan China dengan Eropa juga tidak akan mudah. Jalinan ini sebenarnya merupakan salah satu fokus tersembunyi dari pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Brussels. Pertemuan ini melibatkan kawasan yang menjadi lokasi bagi 55 persen perdagangan dunia dan lokasi untuk 60 persen penduduk dunia serta memiliki 65 persen produksi domestik bruto (PDB) dunia.
Pertemuan Asia-Eropa ini penting dalam konteks geoekonomi dan geopolitik yang sedang berubah. Meski penting dan memiliki momentum, tetap saja China-Eropa tidak mudah merajut hubungan seperti hubungan Eropa dengan Jepang.
Sama seperti AS yang didera krisis, Eropa pasca-krisis juga didera perubahan lanskap politik. Usai krisis bermunculan partai-partai ekstrem. Di seantero Eropa, “Partai besar mengecil dan partai kecil membesar,” kata Sarah de Lange, pakar politik dari University of Amsterdam, Belanda. Fanatisme nasional dan keengganan kolaborasi luar negeri mencuat. Lizza Bomassi, Wakil Direktur Carnegie Europe, mengatakan, atensi Eropa tersita dengan persoalan besar domestik.
Program dicurigai
Erik Brattberg, Direktur Program Eropa dan peneliti di Carnegie Endowment for International Peace di Washington mengkhawatirkan program One Belt & One Road (OBOR), pembangunan infrastruktur atas inisiatif China di Jalur Sutra. UE khawatir OBOR yang tidak transparan, kurang mengapresiasi pekerja, lingkungan dan standar hak asasi manusia. UE meragukan kesinambungan pembayaran utang oleh negara-negara yang mendapatkan pinjaman sehubungan dengan program OBOR.
Oleh sebab itu Eropa juga mencanangkan program serupa, yakni menekankan pembangunan konektivitas Eropa-Asia. Visi Eropa soal ini bukan menandingi China tetapi menegaskan posisi UE dengan cara saksama. Eropa ingin memelihara hubungan dengan China tetapi sekaligus memberi klarifikasi soal garis merah dan prirotas UE, yang menginginkan transparansi dan kesinambungan.
Entahlah UE akan bisa meyakinkan Asia soal keseriusannya membangun konektivitas Asia-Eropa. Eropa sendiri sedang bangkrut dan tidak memiliki uang sebanyak China untuk mengembangkan jalur sutra. Akan tetapi lewat program ini menunjukkan UE serius. Program ini adalah perintah UE untuk menandingi China soal program konektivitas setidaknya secara strategi verbal dalam hubungan internasional.
Eropa memang curiga soal banyak hal. Judy Dempsey, peneliti senior Carnegie Europe dan redaktur Strategic Europe, mengatakan, Eropa khawatir dengan pengaruh China di sektor strategis seperti energi, telekomunikasi, pelabuhan dan industri teknologi tinggi yang krusial bagi UE. Sektor ini sudah mulai dimasuki China.
Siprus, Yunani, Malta, Italia dan negara Eropa lain menyambut China. Akan tetapi ini dipandang melemahkan upaya UE sendiri yang mencoba membangun berdasarkan kebijakan bersama Eropa dan berdaya tahan tanpa menghilangan kompetisi.
China telah mengusik “kebersamaan” di Eropa lewat investasinya, yang memang sedang dibutuhkan Eropa.
Perusahaan China misalnya telah membeli Mittelstand, perusahaan sukses kelas menengah Jerman. Akusisi ini memampukan China mentransfer teknologi mendorong “Made in China 2025”.
Strategi kepemimpinan
Menepis ketakutan ini, China memerlukan strategi baik. Harry Harding, seorang pakar veteran dengan spesialisasi China dari University of Virginia, mengatakan, pembukaan dan reformasi China sangat penting bagi China dan juga bagi AS, demikian juga tentunya bagi Eropa.
“China membutuhkan kepemimpinan politik yang menekankan pembangunan domestik sekaligus kepentingan konstituen internasional, yang skeptis terhadap sejumlah kebijakan China. China memerlukan keajaiban politis babak kedua,” kata Harding.
Harding merujuk pada kemampuan Deng Xiaoping membuka China dengan dunia luar yang bersambut. Harding secara implisit mengharapkan, China sekarang juga mampu membuat dunia yakin untuk babak hubungan lebih lanjut.
China memerlukan keajaiban politis babak kedua.
Akan tetapi jangan dilupakan pula efek kolonialisme, yang beriringan dengan era hegemoni komunis di Era Soviet. Dan jangan lupa atas apa yang telah dilakukan Eropa terhadap Afrika. Hingga pada 2001 Tony Blair pernah menyebutkan bahwa Benua Afrika adalah, “Luka nurani dunia. Namun jika kita bias mengatasi maka luka itu akan sembuh. Jika tidak, mereka akan makin marah dan luka makin dalam.”
Namun kini Afrika bangkit. Tidak pelak lagi ini adalah karena peran China secara ekonomi. Akankah langkah China ini dianggap kamuflase untuk mendikte Afrika juga?
Apa yang dilakukan Eropa pada Afrika? Apa yang dilakukan Amerika Serikat pada Amerika Latin yang dikuasainya lewat Doktrin Monroe? Jangan dilupakan beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika menginginkan China ketimbang AS sebagai pemimpin dunia. AS di bawah Trump mengalami pemburukan opini. Sekutu terdekat AS sendiri pun tidak meyakini AS sebagai orang yang bisa dipercayai. AS di bawah Trump juga bukan negara yang dianggap akan memahami kepentingan negara lain.
Advokasi China
Ini berarti ada kesempatan bagi China untuk menggantikan AS. Akan tetapi hal ini pun ditolak oleh China. “China hanya ingin menjadi hanya salah satu dari pemimpin dunia,” kata Shi Yinhong, profesor hubungan internasional dan Direktur Center for American Studies dari Renmin University.
Presiden Xi Jinping pun mengatakan, “Kami mengadvokasi agar negara-negara saling meningkatkan pertukaran, kerja sama, saling percaya dan mengerti satu sama lain, menghindari kecurigaan, praduga dan salah mengerti dalam urusan internasional.” kata Xi seperti dikutip kantor berita Xinhua pada 17 Oktober 2018.
Presiden Xi melanjutkan, “Meski akan tumbuh lebih kuat lagi dari sekarang ini, China tidak mengejar hegemoni tetapi dengan mantap mengamankan perdamaian dunia dan teguh mengembangkan sebuah komunitas yang saling berbagi demi kemanusiaan.”
Di harian China Daily, 11 Oktober 2018, Zhang Jun, Asisten Menlu China menuliskan artikel berjudul “An opportune time for closer Asia-Europe cooperation: new challenges and opportunities”. Zhang menekankan pentingnya pertukaran pandangan dan kesediaan saling memahami di antara neara-negara. Sikap saling memahami ini diperlukan sehubungan dengan adanya perbedaan sejarah dalam perjalanan bangsa-bangsa, kondisi nasional berbeda yang menyebabkan perbedaan budaya. “Akan tetapi tidak ada yang lebih superior atau inferior meski ada perbedaan itu …,” demikian Zhang.
Ini sekaligus menekankan sikap China soal sikap saling menghargai, sebab China kukuh dengan ideologi dan jati dirinya. Jika ini tidak dipenuhi dunia maka China tidak akan mau tunduk atau larut pada tekanan eksternal. Ini sudah dengan jelas dikatakan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi bahwa China tidak mau dirundung seperti di masa lalu.
Mantan Menteri Luar Negeri China Li Zhaoxing sudah memberi isyarat. Seandanya dunia luar tetap curiga dan menyerang tanpa dasar, China akan terus fokus pada pembangunan domestik. China akan terus mengejar kemandirian di samping terus membuka diri terhadap dunia luar. “Sebab semakin baik China bertumbuh, maka AS dan dunia akan lebih memerlukan China,” kata Li. (AP/AFP/REUTERS)
Meski akan tumbuh lebih kuat lagi dari sekarang ini, China tidak mengejar hegemoni tetapi dengan mantap mengamankan perdamaian dunia dan teguh mengembangkan sebuah komunitas yang saling berbagi demi kemanusiaan.