Pekan depan, pada 14 November, putra mahkota Inggris, Pangeran Charles, akan genap berusia 70 tahun. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda Ratu Elizabeth II yang berusia 92 tahun akan mengundurkan diri. Artinya, penantian Charles untuk menjadi raja Inggris akan menjadi yang terlama sepanjang 1.000 tahun sejarah kerajaan Inggris.
Berbeda dengan sang ibunda yang dicintai rakyatnya, prospek Charles sebagai raja Inggris tidak disambut antusias. Persepsi publik terhadap Charles tidak membaik sejak jajak pendapat tahun 1990-an.
Pada survei di Januari 2018, Charles hanya memperoleh suara 9 persen sebagai anggota kerajaan yang menjadi favorit publik. Sementara ibunya serta kedua anaknya, William dan Harry, difavoritkan oleh lebih dari 80 persen responden.
Perceraiannya dengan Putri Diana, perselingkuhannya dengan Camilla Parker Bowles (istrinya saat ini), dan kematian Diana dalam kecelakaan lalu lintas di Paris, Perancis, berdampak terhadap popularitas Charles. Bagi sejumlah pihak, Charles dianggap bakal membawa ”ketidakberuntungan” di Istana Windsor.
”Jujur saja, kami bersyukur dia (Charles) tidak menjadi raja. Sebab, jika Ratu merupakan contoh monarki yang paling dihormati dan selama ini berjasa dalam membuat publik mencintai monarki, sebaliknya saya merasa Charles akan merusaknya,” kata Tom Bower, penulis Rebel Prince, biografi Charles yang tidak diotorisasi.
Buku itu menggambarkan Charles sebagai sosok yang arogan, lemah, dan menyukai gaya hidup yang relatif mewah. Misalnya saja, ia memiliki pemain harpa pribadi untuk tampil di istana. Charles juga dianggap tak toleran atas kritik dan menyukai teori-teori eksentrik.
Sementara para pendukung Charles menyebut dirinya sebagai sosok yang mudah jadi sasaran tembak media. ”Banyak hal (di media) yang tidak benar. Buku Bower hanya cocok bagi orang-orang yang suka mengeluh,” kata seorang sumber yang pernah bekerja pada Charles selama bertahun-tahun.
Ruwet
Namun, sumber itu pun menyebut Charles sebagai pribadi yang ”ruwet” (complicated). ”Saya jarang bertemu dengan seseorang yang sangat ingin tahu tentang dunia seperti Charles, selalu ingin tahu apa yang terjadi dan mengapa demikian. Ia juga seorang pekerja keras,” katanya.
Namun, kawan ataupun lawan sepakat bahwa Charles sangat bertanggung jawab pada tugasnya. Setiap hari, ia memulai kerja pada jam sarapan pagi (Charles tidak pernah makan siang) dan selesai menjelang tengah malam.
Salah satu karyawannya mengatakan, Charles pernah meneleponnya untuk urusan pekerjaan di hari Natal.
Di luar urusan publik, Charles sangat tertarik pada seni, budaya, teater, sastra, opera, dan aliran pop. Ia juga senang berada di taman, mencintai karya-karya Shakespeare, senang melukis dengan cat air, dan pernah menulis buku cerita anak-anak.
Meski Charles disebut-sebut ”tak antusias” menjadi raja, di belakang layar pihak kerajaan telah mempersiapkan proses tersebut dengan kode ”Operation London Bridge”. Namun, sampai dengan saat tibanya kematian Ratu Elizabeth, Charles akan tetap menjadi pangeran dalam penantian. (REUTERS/MYR)