LONDON, SENIN -- Parlemen Inggris kemungkinan akan menolak hasil akhir perundingan Brexit antara Inggris dengan Uni Eropa (UE). Jika hal itu terjadi, kemungkinan besar akan ada pemilihan umum dipercepat atau referendum ulang.
Menjelang kurang dari lima bulan Inggris keluar dari UE, yaitu 29 Maret 2019, perundingan Brexit belum mencapai hasil final, namun perpecahan di antara politisi Inggris makin kuat.
Akhir pekan lalu, Menteri Transportasi Inggris Jo Johnson mengundurkan diri karena tak puas dengan arah perundingan Brexit yang dipimpin PM Theresa May. Jo Johnson adalah saudara kandung Boris Johnson, mantan Menlu Inggris.
Kekhawatiran bahwa perundingan Brexit akan menghasilkan kesepakatan yang buruk disampaikan mantan Menteri Pendidikan di kabinet May, Justine Greening, yang pro UE. Ia meyakini parlemen akan menolak kesepakatan yang dicapai May.
"Saya rasa apa yang terjadi saat ini adalah yang terburuk. Kesepakatan yang diperjuangkan saat ini akan membuat Inggris berkurang pengaruhnya, berkurang kontrolnya, karena banyak aturan yang harus diikuti, dan berkurang kredibilitasnya. Dengan kesepakatan yang buruk, lantas apa gunanya?" kata Greening, Senin (12/11/2018).
Ia yakin parlemen akan menolak proposal May, namun juga tidak menginginkan Brexit berakhir tanpa kesepakatan. Oleh karenanya, kata Greening, perlu ada referendum baru di mana warga Inggris memilih tiga opsi: setuju dengan kesepakatan May, mengikuti aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), atau tetap berada di Uni Eropa.
Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan oposisi Partai Buruh. Jika usulan May ditolak oleh parlemen, Buruh akan mendesak diadakan percepatan pemilu dan juga referendum baru. "Saat ini PM May sedang berada jauh dari London," kata Jubir Buruh, Keir Starmer.
Di Majelis Rendah Inggris yang terdiri dari 650 kursi, Partai Konservatif yang berkoalisi dengan Partai DUP dari Irlandia Utara (10 kursi), total hanya memiliki mayoritas 13 kursi. Sebanyak 50 anggota parlemen dari Konservatif yang pro hard Brexit menyatakan, mereka akan menolak usulan May.
Pemimpin DUP Arlene Foster juga menyatakan, partainya tidak bisa mendukung posisi May saat ini. Oleh karenanya, May kini harus meminta dukungan pada oposisi.
"Saya tak mungkin mendukung proposal May yang makin "encer" akibat negosiasi dengan UE. Saya tidak akan mendukung di parlemen," kata Andrew Bridgen, tokoh Brexit dari Konservatif.
Menyerah
Boris Johnson yang memiliki kolom tetap di Telegraph, menuntut agar May mengubah arah perundingan Brexit karena telah membuat Inggris menyerah kalah pada aturan UE. Boris mengatakan, ia sepakat dengan saudaranya, Jo Johnson, bahwa perundingan Brexit merupakan "kegagalan terbesar Inggris setelah terusan Suez". Inggris kehilangan kontrol terhadap Suez pada 1950-an.
Tekanan juga terus datang dari UE yang saat ini masih menunggu keputusan May. Dalam beberapa pekan terakhir perundingan Brussels-London berlangsung secara tertutup. "Ruang untuk bermanuver sudah sempit dan Inggris jelas mengetahui apa yang menjadi diskusi bersama," kata Michael Roth, Menteri Negara untuk Eropa dari Jerman.
UE kerap kali kecewa karena apa yang sudah dicapai di meja perundingan kemudian berubah karena May mendapat tekanan keras dari politisi dalam negeri.