Pelajaran Sangat Berharga bagi Trump
”Hargai identitas dan konstituenmu. Akan tetapi, sebagai pemimpin sebuah bangsa, hargai juga seluruh warga bangsa yang tidak memilihmu”. Inilah salah satu pesan inti bagi Presiden AS Donald Trump. Sebab, tidak ada pemimpin satu bangsa yang dicintai semua warganya. Namun, seorang pemimpin setelah terpilih wajib menghormati semua warga.
”Warga AS menuntut pertanggungjawaban untuk memastikan bahwa para pemimpin berkarya untuk warga bukan demi kepentingan dan keuntungannya sendiri. … Dan harus menegaskan bahwa kita adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” demikian pernyataan Jerrold Nadler, anggota DPR AS dari Partai Demokrat yang mewakili wilayah Negara Bagian New York.
Nadler mengatakan hal itu setelah pemilu sela tengah waktu (midterm election) pada 6 November 2018. Pemilu ini berhasil memecah kekuatan Republiken yang sejak November 2016 menguasai Gedung Putih dan Kongres AS (DPR dan Senat). Pemilu sela tersebut mengantar Partai Demokrat sebagai penguasa DPR setelah berhasil meraih lebih 218 kursi dari 435 kursi.
Penguasaan Gedung Putih dan Kongres AS oleh satu partai memberi kekuasaan mutlak. Inilah kekuasaan yang sempat dinikmati penuh oleh Trump. Akan tetapi, kekuasaan mutlak ini rupanya tidak berkenan bagi hati semua warga AS. Trump berkuasa tanpa kendali signifikan para wakil rakyat dari Partai Republik.
Trump pun dianggap tidak menunaikan janjinya untuk mempersatukan bangsa. Saat inaugurasi pelantikan jabatannya pada 21 Januari 2017, Trump sebagai presiden baru berpidato dengan tema yang menekankan kesatuan AS setelah warga negara itu terpecah sepanjang kampanye. Dia menegaskan, sebagai presiden, dirinya akan melayani seluruh lapisan warga AS.
Hanya saja, dalam perjalanan kepresidenannya, muncul nuansa ketidakberpihakan kepada sebagian kelompok warga. Memang Trump mengajak Kanye West, penyanyi kulit hitam, untuk berkampanye bahwa dirinya bukan presiden sektarian. Dia juga berpidato tentang lapangan pekerjaan, yang dia sebutkan bahwa minoritas pun turut terangkat.
Akan tetapi, warna sektarian dari Trump tidak terlupakan. ”Sebab, warga Amerika keturunan Afrika Amerika terlalu bodoh memilih saya,” demikian kesaksian mantan pengacara Trump, Michael Cohen, pada 2 November 2018. Ini ucapan Trump sebelum pidato inaugurasi, menggambarkan nuansa rasis. Jelas Trump membantah kesaksian Cohen tersebut dengan mengatakan pemilih keturunan Afrika banyak yang mendukungnya.
Isu sektarian ini terungkap juga lewat pernyataan Nadler, ”Amerika penat menyaksikan Kongres Republiken … supremasi kulit putih leluasa memiliki senjata tanpa pemeriksaan saksama.” Ada pembiaran pada intimidasi terhadap mereka yang bukan konstituen atau pemilih Trump atau Republiken.
Tentu tidak semua kubu Republiken berpikiran sempit. Dan, tentu Trump juga beberapa kali menyerukan persatuan negara. Hanya saja, kembali lagi, nuansa keberpihakan kepada konstituennya semata tidak bisa ditepis. Media utama di AS sering kali menyebut AS saat ini sebagai negara yang divisif.
Rakyat telah menegaskan
Oleh sebab itulah, pemilu sela tengah waktu pada 6 November lalu menjadi momen sangat penting. Keunggulan Demokrat merupakan pesan tentang keinginan warga AS untuk menjadi negara dengan moto ”E Pluribus Unum”. Dan, keberhasilan Demokrat diharapkan bisa mengendalikan Trump.
Pemilu ini menghasilkan nuansa lain yang juga menjadi bahan refleksi penting bagi Trump. Ada lebih banyak perempuan serta lebih banyak kaum minoritas yang menang di kursi DPR AS. Kaum kulit putih yang berusia tua pun dikabarkan tidak memilih Trump dengan alasan mereka memerlukan Obamacare, sebuah perundang-undangan jaminan kesehatan nasional yang sangat diperlukan warga lansia. Undang-undang ini telah diubah oleh Kongres AS lewat kekuasaan Republiken di Kongres AS.
Secara umum, sebesar 39 persen warga pemilih AS menyatakan mereka memilih untuk menyatakan penolakan kepada Presiden Trump. Sebesar 26 persen menyatakan pemilu sela ini adalah ajang mereka untuk terus mendukung Trump. Sebesar 33 persen menyatakan pemilu ini tidak berkaitan dengan Trump.
Trump tidak bersedia jika dikatakan pemilu sela ini secara implisit merupakan referendum terhadap dirinya. ”Saya tidak melihat pemilu ini sebagai wujud ekspresi terhadap saya,” kata Trump, Minggu (4/11/2018). Namun, terlepas dari itu, pemilu ini telah memecah kekuatan Republiken.
Demokrat lewat kekuasaan di DPR akan bisa memanggil Trump atas segala tuduhan tentang persekongkolan di balik segala keputusan yang dia ambil, termasuk campur tangan Rusia dalam pemilu 2016. Demokrat pun kini bisa memaksa Trump mengumumkan catatan soal pembayaran pajak selama ini.
Peran putranya, Donald Trump Junior, juga bisa jadi sasaran investigasi oleh Demokrat. Tentu juga, Trump kini tidak akan mudah melahirkan undang-undang yang menguntungkan diri dan kelompoknya dengan bercokolnya Demokrat di DPR.
Maka, tidak sedikit yang menganggap bahwa kini Trump sedang panik dengan kekuasaan Demokrat di DPR AS. Ada yang menyebut Trump sedang tertekan. Hal paling membahayakan Trump adalah potensi pemakzulan oleh Demokrat untuk menjungkalkannya dari kursi kepresidenan.
Siap bernegosiasi
Seusai pemilu sela, Trump memberikan keterangan pers. Ada nuansa yang menunjukkan bahwa dia tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi seperti dalam dua tahun terakhir. Trump pun menyatakan siap berunding dengan Demokrat lewat DPR, yang diduga akan dipimpin kembali oleh Nancy Pelosi (Demokrat, California).
Trump mengatakan siap dengan kontrol yang dilakukan Demokrat terhadapnya, ”Sebagaimana kami pun akan mengontrol mereka”. Siap saling mengontrol dan dikontrol, kata Trump.
Pelosi bergembira dengan hasil pemilu ini dan menyebutnya sebagai sebuah era baru. Pelosi tidak mengucapkan ancaman apa pun yang akan diberikan Demokrat kepada Trump. Posisi baru Demokrat di DPR ini baru efektif pada awal 2019.
Meski demikian, Demokrat juga tetap memerlukan kewaspadaan. Jika terlalu agresif menyerang Donald Trump dan Republiken, hal ini bisa menjadi bumerang bagi mereka pada pemilu 2020.
Untuk potensi pemakzulan, misalnya, Pelosi menyatakan, hal itu bukan menjadi opsi utama. Demokrat memang harus ekstra hati-hati sebab Republiken masih menguasai Senat AS. Trump juga sudah menempatkan orang-orangnya dalam jajaran hakim agung di Mahkamah Agung AS. Pemakzulan harus melewati proses panjang dan memerlukan peran Senat AS dan para hakim agung.
Akan tetapi, Demokrat tetap bisa melakukan sesuatu, termasuk mengontrol etika Trump. Demokrat bisa memengaruhi kebijakan Trump soal isu imigran hingga pembangunan perbatasan Meksiko. Demokrat juga bisa memberikan pengaruh pada Trump dalam kebijakan luar negeri, yang berkembang buruk di bawah Trump dengan moto ”America First”.
”Saya sungguh berharap Demokrat bisa memengaruhi kebijakan Gedung Putih,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Akhirnya, pesan telah sampai kepada Trump. Hargai semua konstituen, baik yang memilih maupun yang tidak memilih dia saat pemilu. Tak semua rakyat AS suka dengan serangan-serangan sarkastis terhadap kaum minoritas dan Demokrat. Trump telah disadarkan dengan sendirinya tentang AS yang harus merangkul dan memimpin dunia, bukan membuang dunia, menyerang tetangga.
Pemilu sela ini juga tentu menjadi refleksi bagi politisi sektarian di negara mana pun itu berada. Nilai-nilai universal adalah kampiun di tengah dunia yang semakin tersambung erat. (REUTERS/AP/AFP)