Gencatan Senjata di Jalur Gaza Picu Pengunduran Diri Menhan Israel
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Mesir kembali berhasil menciptakan gencatan senjata di Jalur Gaza. Gencatan senjata di Jalur Gaza antara faksi-faksi bersenjata Palestina dan Israel berlaku secara resmi mulai pukul 00.01 hari Rabu (14/11/2018) dini hari, menyusul proses mediasi Mesir secara intensif sejak hari Selasa lalu.
Pascagencatan senjata disepakati, Rabu kemarin, Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengumumkan pengunduran dirinya sebagai protes atas gencatan senjata itu. Ia menyebut gencatan senjata tersebut sebagai "tanda menyerah kalah terhadap teror". Kelompok Hamas menyatakan, pengunduran diri Lieberman sebagai "kemenangan politik Gaza".
Gencatan senjata antara faksi-faksi bersenjata Palestina dan Israel disepakati setelah Israel sejak Minggu malam menggempur sekitar 150 sasaran di seantero Jalur Gaza, dan faksi-faksi bersenjata Palestina menembakkan sekitar 400 roket ke desa dan kota Israel yang berdekatan dengan Jalur Gaza.
Ketahanan Gaza telah membawa guncangan politik di Israel.
Di antara sasaran strategis gempuran Israel di Jalur Gaza adalah kantor intelijen militer Hamas dan kantor stasiun televisi Al Aqsa milik Hamas. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Palestina, eskalasi militer di Jalur Gaza telah membawa korban 7 warga Palestina tewas dan 25 lainnya luka-luka. Dari pihak Israel, telah jatuh korban tewas seorang warga Israel dan beberapa lainnya luka-luka di kota Ashkelon.
Sumber di kementerian kesehatan dan keamanan di Gaza mengatakan, seorang lagi Palestina tewas akibat tembakan Israel di perbatasan. Pria itu diidentifikasi bernama Nawaf al-Aatar (20). Menurut sumber keamanan di Gaza, Aatar sedang memancing di dekat pagar pembatas Israel-Jalur Gaza.
Kantor bersama faksi-faksi bersenjata Palestina, Selasa malam, mengumumkan tercapainya gencatan senjata di Jalur Gaza dengan mediator Mesir. Hamas, faksi terbesar dan berkuasa di Jalur Gaza menegaskan kesediaannya melaksanakan gencatan senjata jika Israel menghentikan agresi di Gaza.
Mundurnya Lieberman sebagai menteri pertahanan menjadi pukulan bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniya dalam keterangan persnya menyampaikan, jika Israel menghentikan agresinya, mungkin bisa kembali ke kesepahaman gencatan senjata di Jalur Gaza.
Haniya menegaskan, gerakan perlawanan Palestina telah berkorban untuk rakyat Palestina dan diri mereka dalam menghadapi agresi Israel. Rakyat Palestina, lanjut Haniya, selalu melindungi serta menjadi basis massa gerakan perlawanan dengan penuh kebanggaan dan kesabaran.
Hamas menyatakan kesediannya atas gencatan senjata itu sejak Selasa siang melalui mediasi Mesir, namun saat itu masih menunggu sikap Israel. Israel kemudian memberi isyarat menerima upaya gencatan senjata tersebut pada Selasa malam, setelah mendapat tekanan dari Mesir agar Israel segera memberi sikap positif.
Setelah ada isyarat positif dari Israel untuk menerima gencatan senjata itu, Hamas dan kamar bersama faksi-faksi bersenjata Palestina mengumumkan secara resmi tercapainya gencatan senjata di Jalur Gaza.
Turut membantu Mesir dalam upaya mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza, adalah Qatar, Norwegia, dan Utusan Khusus PBB untuk Timur Tengah, Nikolai Miladinov. Norwegia sempat mengancam Hamas, Nowergia akan menghentikan suplai bahan bakar untuk pembangkit listrik di Jalur Gaza jika Hamas tidak segera menerima upaya gencatan senjata.
Pukulan bagi Netanyahu
Di pihak Israel, mundurnya Lieberman sebagai menteri pertahanan menjadi pukulan bagi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemerintah koalisi konservatif pimpinan Netanyahu menjadi terlemahkan.
Hilangnya dukungan lima kursi partai Yisrael Beiteinu, yang dipimpin Lieberman, membuat Netanyahu menguasai hanya 61 dari 120 kursi di parlemen Israel, setahun menjelang pemilihan umum.
Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri, mengatakan, pengunduran diri Lieberman menjadi tanda "pengakuan kekalahan dan kegagalan menghadapi perlawanan Palestina. "Ketahanan Gaza telah membawa guncangan politik" di Israel.