Para Pemimpin Menyukai Deklarasi Bernuansa “Genit”
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Setiap kali Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) bertemu, setiap kali pula muncul deklarasi yang indah. Akan tetapi, bagi wartawan yang rutin menghadiri atau memantau pertemuan APEC, isi deklarasi indah itu terasa hampa. Deklarasinya sekedar “genit” dan tidak membumi atau tidak didalami dalam kehidupan nyata dengan serius.
Sebagai contoh, APEC tidak asing dengan deklarasi yang menekankan pertumbuhan inklusif atau menjangkau ke daerah-daerah pinggiran. APEC tidak asing dengan penegasan tentang keberpihakan pada kesetaraan gender. APEC getol menyuarakan pemberdayaan usaka skala menengah dan kecil (UKM). Namun, lain yang dideklarasikan, lain pula yang dijalankan.
Papua Nugini, tuan rumah APEC pun telah mempertontonkan hal yang ironis dan kontradiktif. Negara yang dipimpin Perdana Menteri Peter O’Neill ini telah mendatangkan mobil-mobil dengan merek Maserati dan Bentley untuk melayani para pemimpin APEC yang datang pada pertemuan puncak di Port Moresby pada 18 November.
Maka harian AS The New York Times meledek lewat sebuah artikel berjudul “Tuan Rumah APEC Memiliki Sedikit Saja Jalan tetapi Ada Maserati.” Papua Nugini adalah negara kaya sumber daya alam tetapi hasilnya tidak dinikmati rakyat kebanyakan dan pemerintahan sarat skandal.
Kritikan domestik dan internasional mencuat tentang Papua Nugini soal korupsi itu. Hingga Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menegaskan tidak akan memakai Maseratitidak akan memakai Maserati sepanjang pertemuan APEC.
APEC adalah kawasan yang paling bertumbuh pesat di dunia. Kawasan yang beranggota 21 negara atau teritori ini juga mencatatkan prestasi dengan penurunan angka kemiskinan. Ini adalah hasil dari reformasi struktural, sebagaimana dinyatakan dalam pertemuan APEC tingkat pejabat di Port Moresby, 17 Agustus 2018 yang diselenggarakan oleh APEC Policy Support Unit.
“Reformasi struktural bertujuan mendorong persaingan, mempermudah pendirian izin perusahaan dan mempermudah bisnis serta menjamin semua warga memiliki akses atas pelayanan dasar,” kata Robert Logie, Ketua Komite Ekonomi APEC.
Terjadi pertumbuhan ekonomi yang timpang serta kesenjangan pendapatan.
Namun, Logie juga mengakui bahwa telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang timpang serta kesenjangan pendapatan.
Hal lain yang juga suka didengungkan APEC adalah, dukungan pada usaha skala menengah dan kecil (SME). Ini masuk akal karena SME merupakan bagian dari mesin pertumbuhan dan inovasi di APEC. SME merupakan 97 persen dari seluruh perusahaan yang beroperasi di APEC, dan mempekerjakan setengah dari total angkatan kerja.
Akan tetapi, sumbangan SME hanya berkisar antara 20 – 50 persen terhadap produksi domestik bruto (PDB) APEC. Ini artinya produktivitas SME relatif rendah. Sumbangan SME terhadap total ekspor APEC juga hanya 35 persen, selebihnya sebesar 3 persen dimiliki oleh kelompok bisnis besar. Hal ini dinyatakan oleh salah satu unit atau organisasi di APEC bernama Small and Medium Enterprises Working Group (SMEWG).
Pencanangan peran SME ini sudah lama dilakukan, yakni sejak pertemuan APEC di Bogor, Indonesia, pada pertemuan APEC 1994. Selama 24 tahun kemudian, prestasi dan kinerja SME tidak sedahsyat kinerja usaha berskala besar.
Meski pada pertemuan tingkat menteri APEC ke-24 di Ho Chi Minh City pada September 2017 dinyatakan, “SME adalah mesin untuk pertumbuhan yang berkualitas dan kemakmuran.” Akan tetapi, fakta menunjukkan peran dan kontribusi SME belum seiring dengan semangat deklarasi. Ini merupakan kesimpulan dari pandangan APEC pada September 2018.
Kondisi yang kondusif
Masalah-masalah signifikan di APEC ini tenggelam dengan kinerja ekonomi makro. APEC jelas memiliki rata-rata pertumbuhan di atas rata-rata dunia. Namun, APEC dibuai iklim kondusif soal pertumbuhan didukung keberadaan penduduk muda.
APEC dibuai iklim kondusif soal pertumbuhan didukung keberadaan penduduk muda.
Padahal, AEPC masih memiliki ruang yang besar untuk bertumbuh. APEC berbeda dengan negara-negara maju dengan penduduk menua dan mencapai titik jenuh pertumbuhan.
APEC merupakan forum yang juga sedang naik daun dan merupakan forum pendorong perdagangan bebas. Pertumbuhan yang menggeliat disertai konflik politik yang minim memungkinkan APEC bertumbuh pesat.
Dan, tentu APEC 2018 juga akan menjadi ajang pembantaian “proteksionisme” yang didengungkan Presiden AS Donald Trump. Trump sendiri tidak hadir, dan diwakili Wapres AS Mike Pence.
APEC bergairah yang diperlihatkan lewat indikator-indikator makro, termasuk arus ekspor yang meningkat demikian juga arus investasi. Akan tetapi, kondisi ekonomi makro yang kondusif itu belum diarahkan untuk pemerataan hasil pembangunan secara serius.
APEC merasakan desakan itu sehingga pada pertemuan tingkat menteri pada hari Kamis (15/11/2018) ditekankan perlunya program demi kesinambungan pertumbuhan. Di dalamnya termasuk pemerataan pendapatan, pertumbuhan inklusif dan lainnya.
Apakah APEC akan bisa mewujudkan itu?
Jawaban dari pertanyan itu, kembali ke negara masing-masing anggota APEC. Kawasan ini jelas tidak memiliki deklarasi yang mengikat sesama anggota. APEC hanya berperan sebagai ajang “tunjuk hidung” seperti pernah dikatakan ekonom almarhum DR Hadi Soesastro.
Apakah negara-negara anggota APEC serius menjalankan program yang dideklarasikan? Beberapa negara/teritori melejit seperti China. Namun, tidak semua pemimpin mengarahkan negaranya dengan benar secara ekonomi. Kini, APEC diwarnai dengan negara/teritori sarat kemiskinan dan warga yang tertinggal.
Dengan demikian, lebih tepat bila APEC mengakhiri deklarasinya yang "genit" semata. (AP/AFP/REUTERS)