Konferensi damai Libya di Italia menyepakati pelaksanaan rekonsiliasi nasional dan pemilu 2019. Melihat perpecahan tajam dan keamanan di Libya, ada keraguan kesepakatan itu bisa terlaksana.
Konferensi damai Libya telah digelar selama dua hari, Senin dan Selasa (12-13/11/2018), di Palermo, Italia. Tiga tokoh penguasa Libya saat ini hadir dalam konferensi itu, yaitu Perdana Menteri Fayez al-Sarraj dari pemerintahan kesepakatan nasional (Government of National Accord/GNA) yang diakui internasional, Ketua Dewan Tinggi Negara (High State Council/HSC) Khaled al-Mishri, dan Ketua Parlemen (hasil pemilu 2014) Aqila Salah, yang bermarkas di kota Tobruk, Libya timur.
Panglima militer Libya, Jenderal Khalifa Haftar, tidak hadir dalam konferensi tersebut. Namun, ia datang ke Palermo dan hanya menghadiri pertemuan soal keamanan Libya di sela-sela konferensi, Selasa. Haftar sempat bertemu dengan lawan politiknya, PM Sarraj, di forum pertemuan soal keamanan itu.
Konferensi di Palermo juga dihadiri jajaran pejabat tertinggi dari negara-negara tetangga, seperti Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi, Utusan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salame, PM Rusia Dmitry Medvedev, Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian, dan PM Italia Giuseppe Conte selaku tuan rumah, serta utusan khusus dari Aljazair dan Maroko.
Namun, konferensi tersebut tidak mengeluarkan rekomendasi atau kesepakatan khusus terkait masa depan Libya. Konferensi itu hanya mengandalkan program damai Libya yang dicanangkan Ghassan Salame, dan telah disampaikan ke forum Dewan Keamanan PBB.
Program damai Libya itu terdiri dari dua butir besar, yaitu pertama, menggelar konferensi rekonsiliasi nasional Libya pada Januari atau Februari 2019; kedua, menggelar pemilu parlemen dan presiden pada April atau Mei 2019.
Pesimisme
Meski demikian, rasa pesimisme masih mewarnai masa depan Libya. Rasa pesimisme itu muncul lantaran perbedaan pendapat masih tajam antara Jenderal Haftar dan PM Sarraj soal siapa pemegang jabatan panglima tertinggi militer Libya.
Dalam forum pertemuan tentang keamanan Libya, Haftar masih menolak mengakui Sarraj sebagai panglima militer. Ia meminta jabatan panglima tertinggi militer harus dipegang oleh panglima militer, yakni Haftar sendiri, dan kemudian akan diserahkan kepada presiden terpilih hasil pemilu 2019.
Haftar juga menolak rencana anggota milisi bersenjata yang tersebar di seantero Libya dengan jumlah diperkirakan 80.000 personel untuk digabung atau direkrut ke dalam militer Libya.
Sebaliknya Sarraj menuntut penyatuan institusi militer dan berada di bawah wewenang dan komando pemerintah sipil, seperti yang berlaku di negara-negara maju. Menurut Sarraj, jabatan panglima tertinggi militer tetap harus dipegang oleh PM sebagai pemimpin pemerintah sipil.
Sarraj, seperti diberitakan harian Asharq al-Awsat, Sabtu (17/11), bersedia menempuh jalan tengah dengan Haftar soal siapa yang akan menjabat panglima tertinggi militer Libya dan juga wewenangnya.
Namun, ia belum menjelaskan secara rinci soal solusi jalan tengah terkait siapa yang berhak menjabat panglima tertinggi militer.
Perbedaan pendapat antara Haftar dan Sarraj menghambat penyatuan pemerintah dan militer Libya yang berdampak pada berlanjutnya kekacauan dan aksi kekerasan bersenjata di negeri berpenduduk sekitar 6 juta jiwa itu. Pemerintah Tobruk yang didukung Haftar dan pemerintah PM Sarraj di Tripoli sama-sama mengklaim paling sah dan memegang legitimasi.
Mantan Menlu Libya pada era Moammar Khadafy, Abdel Rahman Shalgham, menyatakan pesimistis terhadap masa depan Libya pasca-konferensi Palermo.
Menurut dia, dalam artikelnya di Asharq al-Awsat edisi 15 November lalu, kesepakatan di Palermo tidak akan mampu membawa perdamaian di Libya. Ia menyebut akan sulit digelar konferensi rekonsiliasi nasional dan pemilu tahun 2019 di tengah adanya dua pemerintahan dengan masing-masing birokrasi dan militer serta tiadanya keamanan di Libya dan sebagian besar kota yang dikontrol milisi bersenjata yang saling bersaing.