TOKYO, RABU—Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengingatkan Korea Selatan bahwa pembatalan perjanjian pemberian kompensasi kepada korban Perang Dunia II berpotensi merusak hubungan kedua negara.
Dalam keterangan kepada pers dari kediamannya di Tokyo, Rabu (21/11/2018), Abe menyatakan, perjanjian internasional tak bisa dilanggar. Ia juga mendesak Pemerintah Korsel agar bertindak secara bertanggung jawab. Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Takeo Akiba sudah memanggil Duta Besar Korsel Lee Su-hoo untuk menyampaikan protes.
Ketegangan ini dipicu oleh keputusan Pemerintah Korsel untuk mengakhiri perjanjian yang disepakati pada 2015 tentang pemberian dana untuk membantu para korban kerja paksa dan bekas perempuan penghibur saat Perang Dunia II. Dana yang kemudian dikelola sebuah yayasan ini pada bulan Oktober tercatat mencapai 14,21 juta dollar AS.
Kementerian Persamaan Jender dan Keluarga Korsel menegaskan akan membubarkan Yayasan Rekonsiliasi dan Penyembuhan setelah berkonsultasi dengan korban, pengacara, serta dinas terkait. ”Kami akan melakukan upaya terbaik untuk melaksanakan kebijakan yang bisa membantu korban mendapatkan penghargaan dan kehormatan mereka,” ujar Menteri Persamaan Jender dan Keluarga Jin Sun-mee. Kementerian ini hendak berkonsultasi dengan Tokyo mengenai apa yang akan dilakukan dengan uang yang sudah dipegang oleh yayasan.
Perjanjian itu sejak awal menyimpan kontroversi di pihak Korsel. Kelompok aktivis menolak kesepakatan. Presiden Korsel Moon Jae-in yang menggantikan pendahulunya, Park Geun-hye, pada Mei 2017 tak bisa mengubah kesepakatan yang telah ditandatangani.
”Kami menang, tetapi ini baru awal,” kata Yoon Mehyang, ketua kelompok aktivis yang mewakili korban perbudakan seks. ”Kami katakan menang maksudnya adalah kami kembali pada sejarah sebelum 28 Desember 2015. Kami akan menanam semua kegairahan untuk menulis sejarah ketika para korban masih mempunyai kesempatan dan bisa melewati masa tiga tahun yang hilang.”
Para ahli sejarah mengatakan, puluhan ribu perempuan Asia dikirim ke rumah-rumah bordil untuk melayani serdadu Jepang pada PD II. Jumlah terbesar berasal dari Korsel, mencapai sekitar 150.000 orang. Kebanyakan korban kini sudah meninggal. Diperkirakan tinggal 5.000 orang yang masih hidup.
Selain memberi dana yang dimasukkan ke yayasan, Pemerintah Jepang dalam perjanjian juga resmi menyatakan meminta maaf kepada para ”perempuan penghibur”.
Namun, para mantan korban merasa tidak diajak komunikasi. Kim Bok-dong, seorang korban perbudakan seks yang masih hidup, menyatakan menyambut baik keputusan untuk membubarkan yayasan. ”Satu-satunya yang masih tersisa adalah pertobatan Pemerintah Jepang dan kompensasi,” katanya, seperti dikutip dalam pernyataan kelompok aktivis.
Nasib uang yang tersimpan menjadi dilema bagi pemerintahan Moon yang selama ini menahan diri untuk menyatakan secara formal mundur dari perjanjian. Pemerintah Tokyo menyatakan akan merespons ”tegas” pembatalan, yang mereka sebut sebagai pelanggaran atas pakta tahun 1965 tentang pemulihan hubungan diplomatik kedua negara.(AFP/AP/REUTERS/RET)