Kubu Nasionalis Bergerak
Kubu nasionalis di Taiwan langsung bergerak mempererat relasi dengan China dan mendobrak sekat-sekat penghalang hubungan Taiwan-China. Beijing pun bersukacita.
TAIPEI, MINGGU Ketua Partai Nasionalis atau Kuomintang, Wu Den-yih, menyatakan bahwa partainya akan terus berupaya menghindari perselisihan diplomatik dengan China dan memastikan perdagangan dua arah yang mulus.
Hal itu langsung ditanggapi dengan antusias oleh Beijing. Situasi tersebut berpotensi mengubah komposisi dukungan politik domestik di Taiwan, termasuk posisi kebijakan Taiwan terhadap China.
”Kami berharap kedua belah pihak (Taiwan dan China) akan segera kembali ke tren hubungan yang damai dan stabil,” kata Wu di Taipei, Sabtu (24/11/2018).
Partai yang berkuasa di Taiwan, Partai Progresif Demokratik (DPP), pada akhir pekan lalu, harus menghadapi kekalahan besar dalam pemilu daerah. Pemilihan itu dipandang sebagai referendum atas posisi presiden Taiwan di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi dan tekanan politik dari Beijing.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang bakal menghadapi pemilihan kembali dalam waktu kurang dari setahun, langsung mengundurkan diri sebagai ketua DPP beberapa saat setelah hasil pemilu keluar.
Dia akan tetap menjabat sebagai presiden. Pengunduran dirinya tidak akan memiliki efek langsung pada urusan pemerintah. Namun, hasil pemilu daerah itu menandakan bahwa peluangnya untuk terpilih kembali pada pemilu mendatang menipis.
Presiden Tsai mengambil tanggung jawab atas kekalahan besar partainya pada pemilihan wali kota dan pemilu daerah. DPP kini hanya tersisa berkuasa di enam kota dan daerah, sementara Kuomintang menguasai setidaknya 15 kota dan daerah.
Secara signifikan, DPP juga harus kehilangan salah satu benteng yang paling kuat dalam posisinya ”menghadapi” Beijing, yakni Kaohsiung, kota pelabuhan di wilayah selatan.
Pemerintah China pada Minggu kemarin menyatakan, kekalahan DPP yang pro-kemerdekaan Taiwan pada pemilihan daerah itu menunjukkan bahwa warga Taiwan menginginkan hubungan damai dengan Beijing.
”Hasil (pemilu) mencerminkan kemauan yang kuat dari masyarakat Taiwan dengan harapan untuk terus berbagi manfaat dari hubungan damai di Selat Taiwan, dan keinginan kuat mereka untuk berharap meningkatkan ekonomi pulau dan kesejahteraan masyarakat,” demikian pernyataan Kantor Urusan Taiwan di Beijing.
Sejak Tsai mengambil alih pemerintahan pada 2016, Pemerintah China telah meningkatkan tekanan terhadap Taiwan. Sosok Tsai yang dicurigai Beijing menginginkan kemerdekaan secara resmi di Taiwan.
China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Namun, Tsai selama ini mengatakan, dia hanya menginginkan status quo, tetapi tetap akan mempertahankan keamanan Taiwan.
Isu berita palsu
Ketegangan di Selat Taiwan dalam perkembangannya telah meningkat akhir-akhir ini. China menggelar latihan militer di sekitar pulau dan merenggut sejumlah negara mitra diplomatik Taiwan.
Menjelang pemilu, Tsai dan pemerintahnya mengatakan bahwa China berusaha memengaruhi pemilih dengan ”penindasan politik” dan penyebaran ”berita palsu”. Namun, tuduhan- tuduhan itu dibantah Beijing.
Sekretaris Jenderal DPP Hung Yao-fu menanggapi pertanyaan media tentang apakah faktor China telah memainkan peran dalam memengaruhi proses dan hasil pemilihan. Ia menegaskan kembali adanya dugaan terkait dengan penyebaran ”berita palsu”.
”Saya pikir, hal ini memberi pelajaran yang mendalam terkait berita palsu yang mengacaukan banyak penilaian orang yang tak mendapatkan informasi jelas,” kata Hung kepada media.
Partai Nasionalis (Kuomintang) melalui pemimpinnya, Chiang Kai-shek, membangun kembali pemerintahan mereka di Taiwan dari daratan China pada 1949 di tengah perang saudara dengan Mao Zedong dari Partai Komunis.
Partai tersebut memerintah di bawah darurat militer sampai akhir 1980-an ketika penduduk asli Taiwan mulai mengambil jabatan politik melalui DPP.
Pasca-pemilu kali ini, ujian pertama atas posisi politik Taiwan—terutama terkait dukungan terhadap isu kemerdekaan—juga tergambar pada penentuan suara dalam pemilihan nama yang akan digunakan Taiwan dalam ajang olahraga internasional.
Pemilih telah menolak referendum yang bisa menetapkan nama ”Taiwan”, bukan ”China Taipei” seperti selama ini, dalam Olimpiade Tokyo 2020.
Sabtu lalu, para pemilih juga menolak referendum legalisasi pernikahan sesama jenis. Hal ini juga menjadi pukulan bagi Tsai, yang dalam kampanyenya pada 2016, ia menjanjikan persamaan dalam pernikahan.
Namun, tidak banyak kemajuan dalam isu tersebut. Hasil referendum terkait isu pernikahan sesama jenis itu juga sekaligus memupus harapan warga Taiwan yang menjadi pemerintahan pertama di Asia yang melegalisasi pernikahan sejenis.
Para aktivis HAM menyebut hukum khusus untuk pernikahan sejenis bersifat diskriminatif. Mereka menganggap referendum terkait hal itu sebagai sesuatu yang ilegal dan bertentangan dengan konstitusi. Puluhan pendukung persamaan pernikahan berunjuk rasa di Taipei, Minggu dini hari.
(AP/AFP/REUTERS/BEN)