Sejak kecil, Song Yadong terobsesi dengan seni bela diri. Bahkan, pada usia sembilan tahun, ia bisa meyakinkan ibunya agar Song berlatih kungfu di perguruan Shaolin.
”Saya gemar sekali menonton film kungfu dan saya bercita-cita menjadi seperti idola kungfu saya, Jet Li. Saya merantau ke Shaolin dan berlatih di sana. Setiap hari, saya bangun pukul lima pagi. Ternyata suasana di sana lebih berat daripada yang saya bayangkan,” kata Song.
Sepuluh tahun kemudian, Song mulai mencari tempat untuk menyalurkan hasratnya bertanding. ”Saya meninggalkan Shaolin setelah dua tahun terakhir dan kemudian saya mulai mengenal MMA (mixed martial art).
Saya suka berlaga karena setiap pertarungan akan menguji kemampuan saya, dan Anda selalu dituntut untuk menjadi petarung yang terbaik,” kata Song yang kini berusia 20 tahun.
Song kini bergabung dengan Ultimate Fighting Championship (UFC), yang merupakan panggung terbesar untuk seni bela diri campuran. Song merupakan ”magnet” bisnis UFC yang ingin melebarkan sayapnya ke China, negara yang dianggap menjadi ”rumah spiritual” semua seni bela diri.
Song, yang berasal dari Tianjin, merupakan satu dari sembilan petarung lokal yang mengambil bagian dalam pertarungan awal UFC di Beijing, China.
Di Cadillac Arena, Beijing, juga tampil dua petarung kelas berat, yaitu Francis ”The Predator” Ngannou dan Curtis ”Razor” Blaydes asal Amerika Serikat.
Namun, tak diragukan lagi, para penonton China sangat menantikan penampilan Song. ”Ini akan menjadi kesempatan bagi kami, para petarung dari China, juga bagi cabang olahraga ini untuk berkembang di China,” kata Song sebelum berhadapan dengan Vince ”Vendetta” Morales asal AS.
Palsukan umur
Perjalanan Song menjadi petarung di UFC telah menyedot perhatian warga China, termasuk pengalamannya ketika ia berumur 15 tahun. Saat itu, dirinya sangat fokus untuk menjadi petarung profesional MMA sehingga ia memalsukan umurnya. Song bisa meyakinkan promotor lokal bahwa ia berusia 18 tahun, batas umur legal bagi seseorang untuk bertarung.
”Pada saat itu, saya sangat agresif. Yang saya inginkan hanya bertarung. Itu mendorong saya untuk memalsukan identitas. Mereka memercayai saya karena saya kelihatan kuat,” kata Song.
Setelah bertarung malang melintang dan bisa naik peringkat ke level regional dengan rekor 10 kali menang dan tiga kali kalah, Song menerima telepon yang mengejutkan pada awal November lalu.
Ia ditawari menggantikan seorang petarung UFC yang cedera. Dalam pertandingan itu, Song hanya butuh waktu empat menit untuk mengalahkan lawannya, Barat Khandare, dari India.
Sejak itu, Song tak terbendung. Namun, Song merasa dirinya masih harus terus
belajar. ”Para petarung China masih membutuhkan lebih banyak pengalaman. Namun, tak lama lagi, kami akan menjadi kekuatan besar,” kata Song.
Di UFC saat ini ada 11 petarung China, campuran antara petarung yang sudah mapan dan petarung baru, seperti Song. Pekan ini, UFC mengumumkan investasi sebesar 13 juta dollar AS untuk akademi MMA terbesar di dunia, di Shanghai, yang akan membantu para petarung China berpindah dari level pertarungan skala kecil sampai puncaknya ke UFC.
Song kini mengganti julukannya dari ”The Terminator” menjadi ”The Monkey King”. Julukan barunya itu merujuk pada sosok dalam mitos China, Sun Wukong. ”Kami memiliki sejarah panjang di China. Ini barulah permulaan,” kata Song.(AFP/MYR)