Pemilihan umum tanpa ada persaingan dari kubu oposisi, apakah ada maknanya bagi proses demokrasi? Ini salah satu pertanyaan elementer terkait pelaksanaan pemilu di beberapa negara. Pada 29 Juli 2018, Kamboja menggelar pemilu nasional. Partisipasi pemilih tinggi, disebutkan lebih dari 80 persen.
Dari hasil penghitungan suara, Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang dipimpin Perdana Menteri Hun Sen memenangi keseluruhan 125 kursi parlemen.
Hun Sen melanggengkan kekuasaan secara mulus. Dalam pemilu itu, praktis tak ada perlawanan. Partai oposisi, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), yang memberikan perlawanan tangguh pada pemilu 2013, dibubarkan lewat keputusan MA sebelum pemilu.
Tanpa oposisi di parlemen, maka mudah saja baginya pada awal November ini mengangkat tiga anak laki-lakinya pada posisi tinggi di militer dan parlemen.
Hari Sabtu (24/11/2018), Bahrain menggelar pemilu parlemen. Setali tiga uang dengan kasus di Kamboja, pemilu di negara teluk itu juga tak diikuti kelompok oposisi, termasuk dua partai oposisi utama, Al-Wefaq yang berhaluan Syiah dan Waad yang berhaluan sekuler. Kedua kelompok oposisi itu tidak berkesempatan mengirim para kandidatnya bertarung memperebutkan kursi di parlemen.
Al-Wefaq dibubarkan pada 2016 melalui keputusan pengadilan. Partai itu dituduh menjadi ”pangkalan terorisme” dengan memantik kekerasan dan demonstrasi yang mengancam perpecahan sektarian. Senasib dengan Al-Wefaq, Partai Waad juga dilarang setelah dituduh terlibat dalam terorisme.
Bahrain, negara berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa yang mayoritas pemeluk Syiah—estimasi tidak resmi yang ditentang pemerintah setempat berhaluan Sunni—sempat mencicipi dampak Musim Semi Arab pada 2011.
Kala itu, negara di tepi Teluk Persia—atau Teluk Arab, menurut negara-negara Arab Teluk—dilanda unjuk rasa. Demonstrasi massa bisa dipadamkan dengan bantuan Arab Saudi, salah satu mitra terdekatnya.
Kecemasan belum hilang. Pemberian ruang kepada oposisi dianggap seperti memelihara bara dalam sekam. Karena itu, oposisi dibungkam. Aktivis politik yang berseberangan dengan pemerintah ditangkap. Pemilu pun digelar tanpa perlawanan dari oposisi.
Dari pemungutan suara, Sabtu lalu, otoritas di Bahrain mengumumkan angka partisipasi pemilih mencapai 67 persen, atau lebih tinggi dibandingkan pada pemilu 2014 sebesar 53 persen.
”Komitmen rakyat Bahrain untuk melakukan pemungutan suara merupakan indikasi yang jelas tentang dukungan rakyat Bahrain terhadap proses demokrasi,” kata Sheikh Khalid bin Ali al-Khalifa, Menteri Keadilan, Urusan Islam dan Wakaf, dalam pernyataan tertulis, Sabtu.
Di Bahrain, parlemen terdiri dari majelis rendah dan majelis tinggi. Majelis rendah beranggotakan 40 orang, sedangkan majelis tinggi—atau disebut Dewan Konsultasi—berisi anggota- anggota yang ditunjuk Raja Bahrain.
Majelis rendah berwenang memeriksa dan mengesahkan perundang-undangan yang diusulkan raja atau kabinet. Namun, keputusan mereka bisa dimentahkan oleh majelis tinggi.
Kembali ke pertanyaan di awal catatan, apakah ada makna dalam pemilu seperti itu? ”Pemilu Bahrain telah kehilangan seluruh makna praktis dan makna politiknya,” kata Neil Partrick, analis politik Arab Teluk, kepada kantor berita AFP.
Pemilu seperti di Kamboja atau Bahrain itu tentu tidak layak disebut sebagai ”pesta demokrasi”. Kalaupun, toh, ingin disebut pesta demokrasi, namanya adalah sebuah pesta semu.