Awalnya, forum negara-negara G-20 di Buenos Aires, Jumat (30/11/2018), dihelat di bawah bayang-bayang kegagalan forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) mencapai komunike bersama di Port Moresby, Papua Niugini. Ketegangan di antara dua raksasa dunia, yaitu Amerika Serikat dan China, karena perang dagang membuat sejumlah pertemuan yang dibangun dalam kerangka multilateral menjadi rentan.
Sebelumnya, ketidaksepakatan di antara kedua negara di APEC telah membuat forum itu mencatat ”sejarah baru”, yaitu untuk pertama kali sejak dibentuk pada tahun 1989, APEC tidak menghasilkan komunike. Sikap keras mereka untuk mempertahankan kepentingan masing-masing membuat dunia gagal mengambil satu langkah bersama.
Dalam sejumlah kesempatan—dalam forum yang berbeda— AS ataupun China juga sering tampil dengan pendekatan unilateral, hal yang biasa dilakukan negara-negara adidaya. Salah satu contohnya adalah saat AS memutuskan mundur dari Kesepakatan Nuklir Iran yang ditandatangani tahun 2015 dan mundur dari donor untuk pengungsi Palestina.
Situasi yang menunjukkan kecenderungan serupa muncul saat Deklarasi G-20 hendak disepakati. Presiden Amerika Serikat Donald Trump enggan menggunakan kata multilateral dan memintanya diganti dengan kata bersama. Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan mengatakan, salah satu alasan mengapa kata multilateral ditolak adalah sifatnya yang lebih—cenderung—mengikat dibandingkan dengan kata bersama yang jauh lebih longgar.
Merujuk pada keterangan pers Kementerian Luar Negeri, pada hari kedua KTT G-20, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan di hadapan para kepala negara G-20 dan pimpinan organisasi internasional agar kembali dengan komitmen bersama mewujudkan kemitraan multilateral yang kuat.
Pandangan Indonesia tersebut senada dengan sebagian besar negara G-20 lainnya yang menginginkan kondisi global yang kondusif untuk memperbaiki pertumbuhan pembangunan yang menyeluruh.
Menurut Kalla, berbagai persoalan yang dihadapi dunia, seperti perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan, perlu diatasi secara bersama-sama. Pernyataan itu dilontarkan Kalla saat menjadi pembicara utama dengan tema ”Building Consensus”.
Apa yang menjadi pernyataan Wapres Jusuf Kalla merepresentasikan lagi posisi Indonesia dalam berbagai forum global. Sebagai kekuatan regional di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bersama mitra kawasan, khususnya ASEAN, berhasil mendorong forum itu menjadi tempat yang nyaman bagi negara mitra, seperti China, AS, Jepang, Korea, Uni Eropa, dan Australia, lewat forum, seperti East Asian Summit.
Dalam KTT ASEAN di Singapura dan EAS beberapa waktu lalu, ASEAN berhasil mengajak China menyepakati target waktu pembicaraan Kode Tata Perilaku (COC) di kawasan Laut China Selatan. Selain itu, dalam forum itu, konsep Indo-Pasifik yang diajukan Indonesia—mengedepankan prinsip terbuka, transparan, dan inklusif—diterima banyak pihak.
Merujuk pada pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri yang disampaikan pada 9 Januari lalu disebutkan bahwa banyak negara mulai menarik diri dari komitmen internasional mereka. Menlu Retno LP Marsudi mengatakan, berhadapan dengan situasi itu, Indonesia berupaya keras mendorong semangat kerja sama di tengah dunia yang kompetitif.
Semangat itu telah diupayakan di banyak kesempatan oleh Indonesia dengan terus mendorong semangat kemitraan, sikap saling percaya, dan dialog. Menurut Retno, demokrasi harus dihormati dan dilaksanakan pada tatanan dunia.
”Kemitraan harus diperkuat untuk mencegah yang kuat mengambil semua,” kata Retno. Dan di situlah peran negara- negara menengah dan kecil diperlukan untuk menjaga stabilitas dunia.