Ketika kami memasuki ruang tamu Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Karachi, Pakistan, pada Selasa (27/11/2018), Abid Nisar, importir kertas Indonesia selama 20 tahun ini telah ada di sana. Mengenakan batik lengan panjang berwarna coklat hitam, Nisar dengan hangat mengulurkan tangan menyambut kami.
Nisar, yang merupakan CEO ATC Pakistan (Pvt) Ltd, perusahaan yang mengimpor kertas dari Indonesia, Jerman, Korea, dan Jepang, ini baru saja menerima penghargaan Primaduta Award dari Kementerian Perdagangan Indonesia atas peningkatan jumlah impor kertas dari Indonesia selama lima tahun terakhir.
”Saya warga Pakistan pertama yang mendapatkan penghargaan ini setelah berbisnis dengan Indonesia selama 20 tahun. Sebanyak 42 negara yang memperoleh penghargaan dan saya salah satunya tentu ini hal yang sangat membanggakan. Kami akan teruskan bisnis kertas ini, begitu pun anak saya juga sudah ikut serta di bisnis ini,” kata Nisar.
Menurut Nisar, kualitas kertas Indonesia sangat bagus. ”Saya impor dalam gelondongan, dan menjualnya dalam bentuk lembaran kertas kepada pelanggan saya di Pakistan. Produk kertas Indonesia ini biasanya digunakan untuk bungkus boks.
Kalau kertas Jepang yang tipis biasanya untuk mencetak Al Quran, produk Jerman untuk membungkus butter. Untuk cetak koran, Pakistan impor kertas dari Rusia, tetapi saya tidak jual kertas Rusia,” kata Nisar.
Saat ini ada 10 perusahaan di Pakistan yang mengimpor kertas dari Indonesia dan menguasai 20-25 persen pasar Pakistan. ”Setiap tahun belanja kertas 3 juta dollar AS dari Indonesia. Tiap tahun saya tiga kali datang ke Indonesia. Saya harap volume impor kertas Indonesia ini bisa terus bertambah setelah kesepakatan free trade agreement,” kata Nisar.
Tak hanya kertas yang diimpor Pakistan dari Indonesia, pengusaha Abdul Rasheed Jan Mohammed adalah importir minyak sawit Indonesia sejak 1980 mengikuti usaha kakaknya yang telah mengimpor sawit sejak 1965.
Mohammed yang merupakan Presiden Bin Qasim Association of Trade and Industry (BQATI) ini memiliki gudang penyimpanan dan penyulingan minyak sawit di Karachi, bahkan dia membangun pelabuhan sendiri untuk menurunkan minyak sawit yang diimpornya.
”Vanaspati ghee (minyak solid) bahan bakunya dari minyak sawit yang diimpor dari Indonesia, 80 persen pemakaian minyak sawit untuk ghee. Sisa 10-20 persen campuran bahan lain,” katanya.
Warga Pakistan yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan lebih memilih menggunakan vanaspati ghee untuk menggoreng makanan karena lebih murah harganya dibandingkan minyak soyabean, cottonseed, canolla ataupun bunga matahari.
Tantangan
Sekarang minyak sawit Indonesia mendapatkan tantangan di Pakistan dengan adanya larangan penggunaan vanaspati ghee oleh Punjab Food Authority (PFA) mulai Juli 2020 dengan alasan membahayakan kesehatan.
Pelarangan menggunakan vanaspati ghee tentu akan memukul ekspor minyak sawit Indonesia ke Pakistan yang, menurut Duta Besar Indonesia untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri, mencapai 1,4 miliar dollar AS. Pakistan adalah pembeli minyak sawit Indonesia terbesar ketiga setelah China dan India.
Menurut Sekretaris Jenderal Pakistan Vanaspati Manufacturer Association (PVMA) Umer Islam Khan, pelarangan vanaspati ghee ini sepertinya konspirasi internasional dan perang dagang agar PVMA beralih menggunakan minyak-minyak lain yang diimpor dari Amerika Serikat, Argentina, Eropa, yang lebih mahal harganya dibandingkan minyak sawit.
Untuk menghadapi larangan ini, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pakistan pun menemui PFA bersama para pakar dan menjelaskan bahwa minyak sawit tidak membahayakan kesehatan. Yang berbahaya untuk kesehatan adalah proses hidrogenisasi saat memproduksi vanaspati ghee.
Untuk itu perlu diberikan penyuluhan bagi para produsen vanaspati ghee agar memproses minyak sawit sesuai dengan prosedur dan standar kesehatan.
”Untuk mengatasi propaganda buruk tentang minyak sawit, semua stakeholder perlu bersatu menghadapi tantangan itu. Di Uni Eropa, minyak sawit menghadapi isu lingkungan, di Pakistan minyak sawit menghadapi isu kesehatan. Ini harus diatasi bersama,” kata Duta Besar RI untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri.
Konsul Jenderal Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Karachi Totok Prianamto mengatakan, Pakistan merupakan pasar yang baik bagi Indonesia karena letaknya di dekat negara-negara Teluk. Karachi pun merupakan pintu gerbang perdagangan dengan Pakistan dengan dua pelabuhan besar.
KBRI dan KJRI di Pakistan pun juga berupaya meningkatkan investasi dan perdagangan antara Pakistan dan Indonesia. Pada April 2019 akan ada pameran My Karachi untuk memamerkan produk-produk perdagangan dan Indonesia pun sudah ikut serta sejak tahun 2007.
”Kami sedang mendata pengusaha-pengusaha yang kami nilai bisa ikut serta dalam acara ini karena ini adalah pameran terbesar dan akan banyak pengunjungnya,” kata Totok Prianamto.
Terkait propaganda buruk tentang produk Indonesia, seperti minyak kelapa sawit, hal itu harus diatasi bersama.