KAIRO, KOMPAS Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman atau MBS, Senin (3/12/2018), di ibu kota Algier, Aljazair, mengadakan pembicaraan dengan Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika, membahas hubungan bilateral serta situasi regional Timur Tengah dan Afrika Utara.
MBS tiba pada Minggu malam lalu di kota Algier dan disambut menteri utama Aljazair, Ahmed Ouyahia. Aljazair merupakan persinggahan keenam dalam lawatan MBS ke negara-negara Arab. Sebelumnya, MBS mengunjungi Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Tunisia, dan Mauritania.
Keterangan pers kantor kepresidenan Aljazair menyatakan, kunjungan MBS ke Aljazair merupakan kesempatan untuk membahas situasi politik dan ekonomi di dunia Arab dan internasional. Neraca perdagangan Aljazair-Saudi saat ini mencapai 619 juta dollar AS. Nilai investasi Saudi di Aljazair mencapai 3 miliar dollar AS.
Aljazair, berpenduduk sekitar 42 juta jiwa, merupakan negara Arab terbesar di Afrika Utara. Aljazair, sejak meraih kemerdekaan dari Perancis tahun 1962, hanya tiga tahun di bawah pemerintah sipil, yakni pada masa Presiden Ahmed Ben Bella, 1962- 1965. Pasca-Presiden Ben Bella dikudeta Menteri Pertahanannya, Houari Boumediene, pada 1965, negeri itu sampai saat ini dikontrol militer.
Hubungan Saudi-Aljazair kurang baik pada era Presiden Boumediene (1965-1978). Sebab, Presiden Boumediene saat itu lebih dekat dengan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, yang kurang mesra dengan Riyadh.
Arab Saudi saat itu menganggap rezim militer di dunia Arab yang dipimpin Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser merupakan ancaman terhadap kekuasaan keluarga besar Al Saud. Pascarevolusi Iran tahun 1979, pandangan Saudi berubah setelah melihat gerakan Islam politik.
Pandangan Saudi itu semakin kuat setelah Presiden Mesir Anwar Sadat meninggal pada 1981 di tangan aktivis gerakan Islam radikal yang bisa menyusup ke tubuh militer.
Perubahan pandangan itu berandil terhadap semakin membaiknya hubungan Aljazair-Saudi. Puncaknya terjadi ketika militer Aljazair membatalkan hasil pemilu parlemen pada 1991 yang dimenangi partai Islam, yaitu Front Penyelamat Islam (FIS).
Arab Saudi kini menganggap sangat penting posisi dan kapasitas Aljazair yang menolak peran gerakan Islam politik. Seperti diketahui, Aljazair terlibat perang sengit melawan milisi radikal selama 10 tahun, 1991-2001, yang menewaskan 100.000 jiwa. Aljazair berada di depan perang melawan Tanzim al Qaeda di Maghrib Arab (AQIM) yang berbasis di Aljazair bagian selatan.
Untuk memperkuat poros Riyadh, posisi dan kapasitas Aljazair bisa disebut kedua terpenting setelah Mesir. Posisi tersebut semakin penting setelah tewasnya wartawan Jamal Khashoggi, awal Oktober lalu.