Perlawanan ”Jaket Kuning” terhadap Kebijakan Macron
Oleh
·3 menit baca
PARIS, SENIN - Pemerintah Perancis siaga setelah kerusuhan terburuk melanda ibu kota Paris, sepanjang akhir pekan, yang mengakibatkan lebih dari 400 orang ditahan dan rusaknya wilayah pertokoan kelas atas di area Champs-Elysees.
Meskipun belum memutuskan perlunya menyatakan negara dalam keadaan darurat, Presiden Emmanuel Macron memerintahkan Perdana Menteri Édouard Philippe bertemu dengan para pemimpin partai politik untuk membicarakan kerusuhan ini.
Dalam pertemuan terkait pembahasan keamanan, Senin (3/12/2018), Macron meminta Mendagri mempertimbangkan ”penyesuaian” prosedur keamanan untuk menanggulangi aksi protes yang terus berlanjut. Rencana pertemuan PM Philippe dengan para tokoh di belakang gerakan ini sebelumnya gagal karena mereka meminta agar pertemuan itu disiarkan secara langsung, yang ditolak oleh Philippe.
Kerusuhan berlangsung sejak Sabtu (1/12), di mana pengunjuk rasa yang menamakan dirinya ”Jaket Kuning” mengamuk di area pertokoan mewah di Paris. Mereka menghancurkan etalase toko dan butik, seperti Chanel dan Dior, serta menjarah sejumlah toko dan memasang blokade di jalan-jalan. Para pengunjuk rasa juga melakukan vandalisme terhadap monumen Arc de Triomphe serta membakar motor- motor dan mobil. Sedikitnya 133 orang terluka, termasuk 23 polisi, dan 112 kendaraan hangus terbakar.
Gerakan Jaket Kuning muncul mendadak pada 17 November lalu dengan agenda utama menentang kebijakan kenaikan harga BBM yang diterapkan pemerintah sebagai bagian dari upaya memerangi perubahan iklim.
Mereka juga menentang kebijakan liberal Macron yang dianggap menguntungkan kelompok menengah atas dan semakin membuat kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Jaket kuning merupakan perlengkapan wajib para pengendara motor di Perancis.
Imbauan Jaket Kuning ini langsung viral di media sosial dan dengan cepat mendapat dukungan dari berbagai pelosok di Perancis. Mereka lalu merancang demonstrasi besar-besaran di Paris pada 1 Desember yang berujung kerusuhan dan membuat polisi antihuru-hara kewalahan. Polisi menyatakan, demonstrasi itu telah disusupi para perusuh.
Unjuk rasa dimotori oleh kelompok ekstrem kiri, La France Insoumise, dengan pemimpinnya, Jean-Luc Melenchon, yang juga menjadi salah satu kandidat presiden dalam pemilu lalu. Di lapangan, kelompok ini bertemu dengan kubu ekstrem kanan yang dipimpin Marine Le Pen.
Selain itu, para perusuh (casseurs), yang sudah berpengalaman, melakukan aksi-aksi protes ataupun bentrokan dengan otoritas keamanan, ikut menyusup dalam gerakan ini, dan menjadi provokator utama dalam kerusuhan. Mereka fasih dalam mengatur taktik dan strategi ”pertempuran jalanan”.
Macron, yang baru tiba dari KTT G-20 di Argentina saat kerusuhan berlangsung, kemarin menyatakan siap berdialog, tetapi tidak akan mengubah kebijakannya. Macron memahami kemarahan para pemilih di luar kota-kota besar Perancis akibat kenaikan harga BBM. Namun, ia menegaskan tidak akan mengubah kebijakan hanya karena gertakan para ”penjahat”.
Aksi unjuk rasa ini telah menjatuhkan popularitas Macron ke titik terendah dan ia berada dalam situasi yang buntu. ”Opsinya, Macron tunduk pada tuntutan publik atau ia memberangus para pemberontak. Dalam kedua skenario itu, Macron akan tetap jadi sosok yang kalah,” kata Gael Sliman, Ketua Institut Polling Odoxa. (AP/AFP/REUTERS/MYR)