Eropa Rentan Didera Demonstrasi
Kerusuhan di Paris merupakan satu dari rentetan unjuk rasa yang sejak beberapa tahun terakhir terus menerpa sejumlah negara di Eropa.
Minggu (9/12/2018) pagi, di Paris, tidak seperti biasanya. Para karyawan toko yang berderet di kawasan Champs Elysees membersihkan sampah berupa puing-puing, pecahan kaca, dan batu-batu peninggalan aksi unjuk rasa yang berlangsung pada hari Sabtu dan juga pekan-pekan sebelumnya.
Kementerian Dalam Negeri Perancis, menurut Associated Press, telah menahan lebih dari 1.200 orang pasca-kerusuhan 1 Desember lalu dengan korban luka-luka lebih dari 130 orang, ratusan mobil dan motor dibakar, puluhan gedung dan monumen dirusak. Setelah ditutup beberapa lama, kemarin Museum Louvre dan Menara Eiffel kembali dibuka bagi wisatawan.
Perancis sudah terbiasa dengan demonstrasi dan pemogokan. Masyarakatnya toleran, bahkan cenderung ”bangga” dengan kebiasaan berunjuk rasa. Sejak serikat buruh Perancis dibentuk tahun 1884, demonstrasi dan pemogokan menjadi alat signifikan bagi publik untuk menekan atau memprotes kebijakan pemerintah.
Masih jelas dalam ingatan bagaimana Perancis nyaris lumpuh menjelang penyelenggaraan Piala Eropa 2016 akibat para pekerja kereta api dan pesawat udara melakukan pemogokan, termasuk juga para petugas kebersihan.
Situasi tersebut membuat wajah Paris yang pada November 2015 diserang aksi terorisme menjadi kumuh dan bau, yang langsung berdampak terhadap industri pariwisatanya.
Kerusuhan di Paris pada 1 Desember lalu mencapai skala serius karena terjadi di era Presiden Emmanuel Macron yang baru menjabat selama 1,5 tahun dan partainya menguasai parlemen. Dengan kata lain, meskipun Macron memperoleh dukungan besar sewaktu pemilu, tidak demikian dengan kebijakannya.
Selama memerintah, Macron tak henti melakukan reformasi di bidang perburuhan, transportasi, dan pendidikan. Reformasi terakhir yang ingin diterapkan Macron adalah menaikkan pajak bahan bakar yang berdampak pada naiknya harga BBM sekitar 6 sen euro per liter.
Alhasil, serikat buruh, mahasiswa, dan warga yang terdampak kebijakan itu, seperti para pensiunan, bersatu padu menentang Macron dalam gerakan ”rompi kuning”.
Macron memang bisa melakukan hal yang mustahil dilakukan para pendahulunya, antara lain mereformasi Undang- Undang Perburuhan, yang dicoba pada 1986, 1994, 1995, 2006, dan 2016, tetapi semuanya kandas akibat aksi pemogokan dan demo besar-besaran.
Paling sering
Di antara negara-negara di Eropa, warga Perancis, Spanyol, Yunani, dan Siprus adalah yang paling sering turun ke jalan. Dan jika ditengarai lebih jauh, negara-negara ini tergolong yang relatif stagnan pertumbuhan ekonominya dengan tingkat pengangguran cukup tinggi.
Meski demikian, unjuk rasa besar-besaran di sejumlah negara di Eropa umumnya disebabkan alasan khusus, bukan sebuah aksi protes terhadap kebijakan umum Eropa.
Tak lama setelah kerusuhan di Paris, misalnya, pekan lalu Yunani juga dilanda demo besar pasca-tewasnya seorang remaja Alexis Grigoropolous (15) pada 6 Desember akibat terjangan peluru nyasar anggota polisi. Kejadian di kota Exarchia itu menimbulkan protes yang berlanjut dengan demo-demo di sejumlah kota di Yunani dan berujung dengan kerusuhan di ibu kota Athena.
Mirip dengan di Paris, kemungkinan besar aksi unjuk rasa ini telah disusupi kelompok anarkis yang memprovokasi massa untuk melawan polisi, membakar kendaraan-kendaraan, menghancurkan toko-toko, ataupun gedung-gedung. Ini merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Yunani.
Gelombang protes yang berlangsung dengan bentrokan juga terjadi di Catalonia, Spanyol, sepanjang akhir 2017-2018. Protes itu terjadi setelah referendum kemerdekaan Catalonia dari Spanyol dibubarkan polisi dan menyebabkan ratusan orang luka-luka. Kemarahan terhadap pemerintah pusat menyulut gelombang protes berkepanjangan dan menimbulkan krisis politik serius di Spanyol.
Kalaupun ada demo-demo besar di sejumlah negara dengan sentimen serupa, hal itu terjadi di timur Eropa. Bagai kartu domino, ribuan warga di Romania, Serbia, Hongaria, dan Slowakia turun ke jalan untuk menentang korupsi yang masif di pemerintahan.
Khusus di Romania, demonstrasi di negara ini mendapat perhatian komunitas internasional karena pemerintahan Bucharest melakukan pembungkaman terhadap para aktivis demokrasi (www.opendemocracy.net, 27/8).
Ekonomi
Kerusuhan di Perancis, Yunani, dan negara Eropa lainnya telah membuat pemerintahan bersangkutan anjlok kredibilitasnya. Bagi Presiden Macron, ini merupakan tantangan terberatnya karena gelombang protes tidak akan berhenti meskipun rencana kenaikan pajak BBM sudah ditunda. Kubu oposisi dan para demonstran kini mengubah tuntutannya menjadi tuntutan Macron mundur.
Jika diurut, benang merah demo-demo itu antara lain bersumber dari ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah yang tidak mampu memperbaiki kesejahteraan. Krisis ekonomi global dan banjir imigran di Eropa berdampak pada persepsi rakyat yang merasa hidup makin sulit dan terancam.
Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah meningkat karena lapangan kerja tidak bertambah, kenyamanan kerja berkurang, penghasilan tidak bertambah, dan biaya hidup makin mahal.
Kebencian kepada kaum pendatang semakin menajam karena mereka dianggap telah merebut peluang kerja dan menyedot dana pemerintah untuk pemberian subsidi.
Tidak mengherankan jika dukungan terhadap partai populis yang antiimigran dan pro ekonomi yang protektif semakin kuat di Eropa. Rasa frustrasi rakyat dengan mudah disalurkan melalui unjuk rasa, dan di beberapa negara aksi tersebut bisa dimanipulasi menjadi kerusuhan.