Blokade Arab Saudi atas Qatar berbuntut panjang. Qatar absen dari Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerja Sama Teluk Ke-39 di Riyadh. Perseteruan itu berpotensi melumpuhkan GCC.
KAIRO, KOMPAS Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerja sama Teluk (GCC) Ke-39 dibuka Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud di Riyadh, Minggu (9/12/2018), di tengah absennya Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani dalam forum KTT tersebut. Emir Qatar, seperti dilansir kantor berita Turki, Anadolu, pada Sabtu lalu tidak ikut serta dalam forum KTT itu.
Absennya Emir Qatar dalam forum itu memberi pesan, Emir Qatar menolak undangan Raja Salman yang disampaikan secara resmi pada Selasa lalu. Dalam KTT kali ini, Qatar hanya mengirim delegasi setingkat menteri urusan negara.
Sebelumnya, pada KTT GCC di Kuwait, Desember 2017, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani memimpin sendiri delegasi Qatar.
GCC yang dibentuk pada 1981 itu beranggotakan enam negara Arab kaya Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Kesultanan Oman, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Absennya Emir Qatar dalam KTT di Riyadh membuyarkan teka-teki tentang kemungkinan rekonsiliasi antara Qatar-Arab Saudi melalui forum itu.
Sejumlah media di Timur Tengah (Timteng), beberapa hari terakhir, berspekulasi tentang adanya kemungkinan rekonsiliasi di antara kedua negara jika Emir Qatar Sheikh Tamim hadir dalam forum KTT GCC di Riyadh.
Namun, Emir Qatar memilih tidak hadir pada forum KTT GCC di Riyadh tanpa ada penjelasan dari pihak Pemerintah Qatar tentang alasan Emir Qatar tidak bisa memenuhi undangan Raja Salman tersebut.
Emir Qatar memilih berkunjung ke Malaysia, pekan lalu, untuk mengakhiri teka-teki kemungkinan ia bersiap menuju Riyadh menghadiri KTT.
Seperti diketahui, Arab Saudi pada Juni 2017 memimpin aksi blokade darat, laut, dan udara terhadap Qatar dengan tuduhan Qatar mendukung dan mendanai jaringan teroris.
Meskipun Qatar telah membantahnya, blokade tetap dijalankan hingga saat ini. Bahkan, beberapa negara Timteng, seperti Mesir, Bahrain, dan UEA, turut memblokade Qatar.
Aksi blokade terhadap Qatar tersebut merupakan aksi blokade pertama kali atas anggota GCC sejak organisasi itu dibentuk. Aksi tersebut membuat GCC melalui sejarah terburuk sejak berdiri karena kinerja GCC praktis lumpuh, bahkan secara de facto GCC telah ambruk.
Sebelum aksi blokade terhadap Qatar, GCC menjadi contoh sukses organisasi kerja sama regional. Kesuksesan itu disetarakan dengan kesuksesan Uni Eropa dan ASEAN.
Lumpuh
Namun, pascablokade terhadap Qatar, GCC segera disebut sebagai organisasi regional yang gagal menyusul kegagalan organisasi regional lainnya di dunia Arab, seperti Liga Arab dan Arab Maghreb Union (AMU). AMU, yang dibentuk pada 1989, beranggotakan Maroko, Mauritania, Aljazair, Tunisia, dan Libya. Organisasi itu lumpuh akibat konflik Maroko-Aljazair soal Gurun Sahara Barat.
Aljazair mendukung kemerdekaan Gurun Sahara Barat dan mendeklarasikan sebagai negara independen. Namun, Maroko pada 1975 justru menganeksasi Gurun Sahara Barat dan dideklarasikan sebagai bagian dari wilayah negara Maroko.
Adapun Liga Arab lumpuh sejak invasi Irak ke Kuwait pada 1990, dan mencapai puncak kelumpuhan Liga Arab—yang didirikan pada 1945—terjadi saat meletusnya Musim Semi Arab pada 2011 yang berlanjut sampai saat ini.
GCC kini ikut lumpuh, seperti AMU dan Liga Arab, sejak aksi blokade kuartet Arab (Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir) terhadap Qatar mulai Juni 2017.