”Momen Kebenaran” Emmanuel Macron
Presiden Emmanuel Macron tak memiliki opsi banyak untuk mengakhiri gelombang protes yang telah berlangsung selama sebulan. Macron akan lebih banyak memberikan konsesi.
PARIS, SENIN Tekanan terhadap Presiden Perancis Emmanuel Macron untuk membuat keputusan yang cepat, tegas, dan konkret untuk mengakhiri aksi-aksi unjuk rasa di seluruh Perancis semakin menguat.
Macron, yang dijadwalkan berpidato terkait masalah ini, Senin (10/12/2018) malam waktu setempat atau Selasa dini hari WIB, sebelumnya berkonsultasi dengan jajaran serikat buruh dan para pejabat lokal.
Surat kabar Le Parisien menyebut pidato itu sebagai ”momen kebenaran” bagi Macron. Disebutkan, jika pidato Macron gagal menghentikan gelombang protes yang telah melumpuhkan Perancis, negeri itu akan memasuki periode instabilitas politik yang berbahaya.
Namun, sejumlah kalangan menilai langkah Macron telah terlambat. Meski pemerintah akan semakin banyak memberikan konsesi terhadap tuntutan para pengunjuk rasa, gelombang protes kemungkinan akan tetap berlanjut.
Pekan lalu, misalnya, pemerintah mengumumkan akan menunda kebijakan kenaikan pajak BBM yang berdampak pada naiknya harga BBM sebanyak 6 sen euro per liter. Keputusan itu diambil setelah kerusuhan besar di Paris yang menyebabkan lebih dari 100 orang terluka dan lebih dari 1.200 orang ditahan.
Namun, keputusan itu tidak menghentikan gelombang protes. Pada Sabtu (8/12), sekitar 130.000 orang turun ke jalan di sejumlah kota di Perancis. Unjuk rasa yang berlangsung di Paris kembali rusuh, meskipun jumlah petugas keamanan telah dilipatgandakan.
Tuntutan para pengunjuk rasa juga telah berubah. Jika awalnya gerakan bertajuk ”Rompi Kuning” ini hanya memprotes kenaikan harga BBM, kini tuntutan berubah menjadi: dari kenaikan upah minimum pegawai sampai tuntutan agar Macron mundur.
Bagi para pengunjuk rasa, Macron, yang sejak awal kekuasaannya mencoba merevitalisasi perekonomian Perancis dengan melakukan reformasi di berbagai bidang, dianggap sombong dan semakin jauh dari rakyat jelata.
Sejumlah kebijakan Macron, seperti reformasi UU perburuhan dan reformasi aturan perkeretaapian, secara tidak langsung berdampak pada kaum pekerja dan para pensiunan. ”Macron ada untuk kaum kaya, bukan untuk semua warga Perancis,” kata Jean-Pierre Meuneur (68), pensiunan yang terdampak oleh kebijakan Macron.
Gelombang protes di akhir pekan yang sudah berlangsung selama sebulan itu telah berdampak negatif terhadap ekonomi Perancis. Bank Sentral Perancis, Senin kemarin, harus mengurangi prediksi pertumbuhan kuartal keempat, dari 0,4 persen menjadi 0,2 persen sebagai dampak aksi protes.
Malapetaka
Menteri Keuangan Bruno Le Maire yang menyebut gerakan ”Rompi Kuning” itu sebagai ”malapetaka”, menyebutkan bahwa industri pelayanan, seperti transportasi, restoran, dan otomotif, mengalami kemunduran akibat aksi-aksi tersebut. ”Ini malapetaka bagi perdagangan, malapetaka bagi perekonomian kita,” kata Le Maire.
Bank Sentral Perancis menargetkan pertumbuhan kuartal keempat sebesar 0,8 persen untuk mencapai target pertumbuhan 1,7 persen tahun 2018. Namun, dengan peristiwa ”Rompi Kuning” itu, target tersebut tidak akan tercapai.
”Ini kenyataan bagi para pengusaha kecil yang toko-toko mereka dijarah, dibakar. Ini juga kenyataan bagi para investor asing yang awalnya mengincar Perancis. Ini dampak yang buruk bagi Perancis di panggung internasional,” kata Le Maire.
Kekhawatiran juga disampaikan Menteri Tenaga Kerja Muriel Penicaud yang menolak gagasan kenaikan upah minimum pekerja. Alasannya, jika semua gaji pegawai naik secara otomatis, para pengusaha akan kewalahan. Hal itu akan berujung pada pengurangan karyawan, pengangguran, atau kenaikan harga barang. (AP/AFP/REUTERS/MYR)