May ”Menunda” Kekalahan
Upaya May meminta bantuan kepada Brussels untuk merevisi kesepakatan Brexit ditanggapi dingin oleh Uni Eropa. Masa depan Brexit ataupun karier May di ambang ketidakpastian.
LONDON, SENIN Setelah menunda pemungutan suara kesepakatan Brexit di parlemen yang sedianya dilaksanakan pada Selasa (11/12/2018), Perdana Menteri Inggris Theresa May pergi ke Brussels, Belgia, untuk membujuk para pemimpin Uni Eropa agar mereka bersedia mengubah kesepakatan terkait perbatasan Irlandia Utara.
Penundaan dilakukan setelah May meyakini kesepakatan itu akan ditolak di parlemen dengan selisih suara yang signifikan. Langkah May tersebut dikecam para penentangnya yang menuntut May mundur.
Salah satu poin kesepakatan yang ditentang mayoritas anggota parlemen adalah backstop di perbatasan Irlandia Utara. Poin itu dianggap bakal membuat Inggris terbelenggu dalam waktu tak terbatas pada aturan bea cukai Uni Eropa (UE).
Backstop merupakan komitmen Inggris dan UE untuk menghindari penjagaan di perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia, terlepas apakah Brexit terjadi dengan atau tanpa kesepakatan. Seperti apa bentuknya masih akan dirundingkan pasca-Brexit. Selama kesepakatan itu belum tercapai, barang-barang dari Irlandia Utara masih masuk dalam bea cukai UE dalam waktu tak terbatas.
Karena itu, May memilih lebih dulu membujuk para pemimpin UE agar mau membantunya dengan merevisi kesepakatan backstop. May menginginkan jaminan dari UE bahwa rencana terkait perbatasan Irlandia Utara tidak bersifat permanen. Baru setelah itu, May akan kembali ke parlemen dengan membawa kesepakatan yang telah direvisi.
Namun, UE secara tegas menolak renegosiasi kesepakatan Brexit. Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker kemarin menyatakan bahwa tak akan ada ruang lagi untuk menegosiasikan apa pun. Akan tetapi, Juncker mengatakan, UE bersedia memberikan klarifikasi ataupun interpretasi tanpa harus membuka kembali kesepakatan yang tebalnya 585 halaman itu.
”Kesepakatan yang telah kita setujui merupakan kesepakatan terbaik yang paling mungkin dicapai,” kata Juncker yang dijadwalkan bertemu May pada Selasa malam.
Sebelumnya, May bertemu dengan PM Belanda Mark Rutte di Den Haag, kemudian berlanjut ke Berlin untuk bertemu Kanselir Jerman Angela Merkel, dan berikutnya melanjutkan perjalanan ke Brussels untuk bertemu Juncker. May juga berharap isu itu bisa dibicarakan di KTT Uni Eropa pada 13-14 Desember ini.
Tanpa kesepakatan
Krisis politik di Inggris membuat Uni Eropa siaga untuk menghadapi kemungkinan Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (no deal Brexit). Menteri Perancis Urusan Eropa Nathalie Loiseau kembali mengungkapkan kekhawatirannya bahwa proses Brexit akan berujung tanpa kesepakatan.
”Brexit tanpa kesepakatan akan berdampak buruk bagi Inggris dan juga Perancis. Tetapi, opsi ini bukannya mustahil sehingga kita harus bersiap-siap,” kata Loiseau.
Pernyataan senada juga dikemukakan Menlu Irlandia Simon Coveney. Ia mempersiapkan penjelasan yang lengkap bagi kabinet Irlandia sehingga Irlandia dan UE siap mengantisipasi Inggris keluar dari UE pada 29 Maret 2019 tanpa kesepakatan.
Namun, di dalam negeri, tantangan bagi May lebih berat lagi. Para pembangkang dari Partai Konservatif mengecam langkahnya membatalkan voting di parlemen dan menuntut agar posisi May sebagai perdana menteri diganti.
Steve Baker, anggota parlemen dari Konservatif, kepada BBC mengatakan, parlemen tidak bisa membiarkan situasi tak jelas seperti saat ini. Ia mengusulkan agar anggota parlemen beramai-ramai menyampaikan mosi tidak percaya pada kepemimpinan May.
”Jika kita tidak bisa melangkah dengan kesepakatan May, saya rasa satu-satunya cara untuk mengubah kebijakan adalah dengan mengganti perdana menteri. Adalah tanggung jawab May untuk mundur,” kata Baker.
Ketidakpastian
Waktu yang dimiliki Inggris untuk menyelesaikan proses Brexit kurang dari empat bulan, tetapi sejumlah kemungkinan bisa terjadi di masa depan. Jika permintaan May untuk merevisi kesepakatan Brexit ditolak oleh UE, May hanya menunda kekalahannya di parlemen. Menurut rencana, parlemen akan melakukan voting terhadap kesepakatan Brexit sebelum 21 Januari 2019.
Situasi yang dihadapi May juga akan lebih sulit karena dia sudah tidak mungkin lagi meminta bantuan kepada Brussels. Jika parlemen menolak kesepakatan, ada sejumlah opsi yang mungkin diajukan, di antaranya mosi tidak percaya yang bisa mengarah pada percepatan pemilu, pelaksanaan referendum kedua, atau keluar dari UE tanpa kesepakatan. (AP/AFP/REUTERS/MYR)