Belum Ada Titik Terang di Pusat Konflik Dunia
Pada pengujung 2018, dan beberapa hari lagi memasuki 2019, kawasan Timur Tengah atau Timteng yang dikenal sebagai pusat konflik dunia masih sangat sulit menatap dan memasuki 2019. Peninggalan tahun 2018 teramat berat.
Sepanjang 2018, hampir tak ada terobosan solusi politik dalam isu-isu besar di kawasan itu, seperti isu Palestina, Suriah, Libya, dan Yaman. Sebaliknya, kawasan itu, sepanjang 2018, tersandera oleh persaingan geopolitik cukup sengit antara kubu Turki/Qatar dan kubu Arab Saudi/ Mesir/Uni Emirat Arab (UEA) yang memuncak sejak Musim Semi Arab 2011.
Kasus pembunuhan wartawan senior Saudi, Jamal Khashoggi, di kantor konsulat Saudi di Istanbul, 2 Oktober lalu, turut semakin mempersengit persaingan geopolitik itu. Situasi Timteng semakin keruh.
Ditambah lagi langkah Amerika Serikat yang mulai memberlakukan sanksi terhadap Iran pasca-keputusan Presiden AS Donald Trump membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 pada Mei 2018. Sanksi tahap I meliputi otomotif, logam mulia, dan perdagangan, dimulai sejak 7 Agustus 2018, dan sanksi tahap II meliputi migas dan bank sentral, dimulai sejak 5 November 2018.
Sanksi baru AS terhadap Iran itu tentu akan semakin meningkatkan ketegangan di kawasan. Terkait isu Palestina, sepanjang 2018 dunia hanya dihebohkan oleh iming-iming akan tiba paket solusi damai komprehensif yang populer dengan nama ”Transaksi Abad Ini” besutan pemerintahan Trump. Namun, paket damai itu ternyata hanya angin surga yang tak kunjung tiba sampai pengujung 2018 ini.
Padahal "Transaksi Abad Ini” sangat diharapkan bisa memecah kebuntuan perundingan damai Israel-Palestina yang macet total sejak April 2014 akibat Israel tidak bersedia menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur.
Bukannya menawarkan paket damai, Trump malah membuldoser isu Palestina dengan pengakuan kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel, disusul pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem pada 14 Mei 2018.
Keruan saja, tindakan Trump itu menuai kemarahan Palestina, bangsa Arab, dan dunia Islam. Reaksi Palestina cukup keras dengan memutuskan menolak AS sebagai sponsor tunggal perdamaian Timteng. Palestina menganggap AS tidak netral dalam konflik Palestina-Israel.
AS pun membalas cukup keras pula dengan menutup kantor PLO di Washington DC pada 10 September lalu. Sebelumnya pada awal September 2018, AS juga menghentikan suplai dana kepada Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA).
Menanti solusi politik
Dalam isu Suriah, memang ada penurunan tensi peperangan cukup signifikan. Namun, belum ada terobosan solusi politik akibat saling sandera antara AS dan Rusia. Persisnya, antara Forum Geneva yang didukung PBB/AS dan Forum Astana yang didukung Rusia, Turki, dan Iran.
Rusia menginginkan Forum Geneva hanya menangani urusan kemanusiaan, sedangkan isu politik diselesaikan di Forum Astana yang dibentuk Rusia, Turki, dan Iran pada Januari 2017.
Namun, AS menghendaki Forum Geneva menangani urusan kemanusiaan dan politik serta mencegah Rusia memonopoli penyelesaian politik di Suriah melalui Forum Astana.
Menurunnya peperangan di Suriah sampai saat ini, khususnya di Provinsi Idlib, Suriah barat laut, bukan hasil kesepahaman Rusia-AS, melainkan hasil kesepahaman Rusia-Turki di kota Sochi, Rusia, 17 September lalu.
Upaya mengakhiri krisis politik dan perang saudara juga telah dicoba dalam konflik di Libya. Krisis politik melilit negara itu sejak ambruknya rezim Moammar Khadafy tahun 2011. Sudah dua kali digelar konferensi damai Libya pada 2018, yaitu di Paris, 29 Mei 2018 dan di Palermo, Italia, pada 12-13 November 2018.
Konferensi di Palermo mengadopsi program damai Libya yang dicanangkan Utusan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salame. Program damai itu terdiri dari dua butir besar, yaitu menggelar konferensi rekonsiliasi nasional pada Januari atau Februari 2019 serta menggelar pemilu parlemen dan presiden pada April atau Mei 2019. Isu Libya masih menunggu pelaksanaan program damai tersebut.
Isu besar lain adalah Yaman. Serangan koalisi Arab pimpinan Saudi secara besar-besaran, baik lewat darat, laut, maupun udara, atas kota pelabuhan Hodeidah, Yaman barat, sejak 13 Juni 2018, memaksa kelompok Houthi mau berunding dengan Pemerintah Yaman.
Utusan Khusus PBB untuk Yaman Martin Griffiths, lewat perundingan alot dengan Pemerintah Yaman dan Houthi beberapa bulan terakhir ini, membawa mereka ke meja perundingan di Swedia, 6 Desember lalu.
Banyaknya isu besar di Timteng yang gagal dicarikan solusi politik pada 2018 menyebabkan situasi panas akan tetap mewarnai kawasan itu pada 2019. Isu kasus Khashoggi yang sampai saat ini belum selesai akan tetap menghiasi situasi kawasan tahun 2019.
Apalagi, Turki mengotot ingin mengadili dua pejabat teras Saudi, Saud al-Qahtani dan Ahmed Asiri, yang dituduh sebagai arsitek pembunuhan Khashoggi. Turki juga mulai menggulirkan wacana agar kasus itu dibawa ke forum penyidikan internasional.
Konflik Qatar dan kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, UEA, dan Mesir) akan berlanjut pada 2019 menyusul penolakan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al- Thani terhadap undangan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dari Saudi untuk hadir pada KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) pada 9 Desember lalu di Riyadh.
Isu Khashoggi dan konflik Qatar versus kuartet Arab itu akan jadi isu arus utama dalam percaturan geopolitik kawasan di 2019. Isu ekspansi pengaruh Iran di kawasan juga akan tetap jadi isu utama dalam konteks pertarungan geopolitik Iran-Saudi.
Isu Palestina, Suriah, Libya, dan Yaman juga menjadi pekerjaan rumah kawasan Timteng yang sangat berat di 2019. Pendek kata, sangat sulit untuk dikatakan akan segera ada titik terang di Timteng.