Selama masa kampanye pemilu 2018, koalisi yang dipimpin Mahathir Mohamad menjanjikan Malaysia Baru. Salah satu poinnya adalah kesetaraan untuk semua warga Malaysia, tidak ada hak istimewa berdasar etnis.
Setelah memenangi pemilu, Mahathir mulai berusaha memenuhi janji kampanye itu. Pemerintahan Mahathir berniat meratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD). Sampai sekarang, ratifikasi memang belum dilakukan.
Bagi warga etnis Melayu, ratifikasi konvensi itu berarti ancaman, dan mereka menentangnya. "Bagi saya, ICERD buruk. Sebab, itu akan menggerus posisi Melayu. Ini adalah negara untuk orang Melayu. Kami ingin orang Melayu unggul, akan tetapi kenapa ada yang mau membuat Melayu setara dengan (warga keturunan) China dan (warga keturunan) India?” kata Nurul Qamariah, salah satu mahasiswi di Kuala Lumpur.
Bersama puluhan ribuan orang lainnya, Nurul berunjuk rasa pada Sabtu (8/12/2018) di Kuala Lumpur. Mereka menolak rencana ratifikasi ICERD. "Betul kita belum meratifikasi ICERD. Akan tetapi, kami tetap di sini untuk menyatakan kami menolaknya. Bahkan, jika pemerintah menyatakan tidak akan mengesahkan, kami akan tetap berunjuk rasa,” kata Rosli Ikhsan, penjaga toko yang ikut berunjuk rasa.
Para petinggi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan oposisi, termasuk mantan PM Najib Razak, juga ikut berunjuk rasa. Sejumlah pihak menyebut kehadiran politisi kubu oposisi itu memperlihatkan bahwa UMNO memanfaatkan unjuk rasa tersebut untuk mengalihkan perhatian dari penyelidikan korupsi terhadap Najib dan para tokoh UMNO.
Hak istimewa
Orang Melayu Malaysia memang terbiasa mendapat keistimewaan sejak negara itu dibentuk pada 1957. Secara tegas, pasal 153 pada konstitusi Malaysia memerintahkan kepala negara Malaysia menjamin posisi istimewa etnis Melayu dan suku-suku asli Sabah, Serawak, dan Semenanjung Malaysia. Konstitusi juga melarang pasal itu dihapus dengan cara apa pun.
Sejak 1971, lewat Program Ekonomi Baru (NEP), hak istimewa itu lebih ditegaskan lagi. Orang Melayu mendapat diskon 15 persen saat membeli rumah. Jabatan tinggi di berbagai lembaga negara diprioritaskan untuk orang Melayu. Ada pula sekolah-sekolah khusus Melayu.
NEP adalah jawaban pemerintah atas kerusuhan rasial 13 Mei 1969. Kerusuhan itu dipicu parade pendukung Partai Aksi Demokrasi (DAP) dan Partai Gerakan yang mendapat 21 dari 144 kursi di parlemen. Selama masa kampanye, kedua partai itu menjanjikan amandemen pasal 153 pada konstitusi Malaysia.
Perolehan kursi dari hasil pemilu 1969 membuat orang Melayu khawatir kedua partai itu akan bisa mengamandemen konstitusi. Sebaliknya, walau 21 kursi di parlemen sangat tidak cukup untuk membawa dampak pada kebijakan negara, pendukung DAP dan Gerakan amat bergembira dan meluapkannya lewat parade di Kuala Lumpur. Massa parade dan anti-kedua partai itu bentrok, dan kerusuhan pun pecah di berbagai penjuru Malaysia. Akibat kerusuhan itu, ratusan orang tewas.
Bukan hanya DAP dan Gerakan yang memanfaatkan pasal 153 sebagai bahan kampanye. Penguasa Malaysia periode 1957-2018, UMNO, secara terbuka dan terus-menerus memanfaatkannya untuk mempertahankan kekuasaan. Kala masih menjadi Presiden UMNO, Mahathir pun melakukan itu.
Di masa pemerintahannya sebagai Perdana Menteri Malaysia periode 1981-2003, ia membuat banyak kebijakan dengan alasan mengutamakan Melayu. Bahkan, sejak 1990, seluruh perusahaan diwajibkan mengalokasikan minimal 30 persen saham untuk dipegang etnis Melayu.
Kini, Mahathir menunjukkan pandangan berbeda. Pemerintah Mahathir ingin Malaysia Baru yang memperlakukan semua warganya secara setara.