Perang dagang dengan Amerika Serikat membuat gerah banyak pihak di China. Para wiraswasta, penasihat pemerintah, dan para cendekiawan menyerukan agar dilakukan percepatan reformasi untuk meredakan ketegangan dan mengamankan peningkatan ekonomi China jangka panjang secara simultan.
”Ini merupakan kesempatan bagi China saat tekanan dari AS bisa mendorong reformasi,” ucap seorang penasihat pemerintah. ”Tekanan terhadap China sangat besar dan kita harus mempunyai persiapan jangka panjang,” lanjutnya.
AS telah meminta China mempercepat reformasinya, termasuk membuka pasar terhadap produk AS dan meningkatkan perlindungan terhadap hak milik intelektual. ”Kami akan mendorong reformasi yang berorientasi pasar, tetapi kami tidak bisa terlalu tergesa dan kami tidak ingin sepenuhnya meniru model Barat,” kata penasihat pemerintah lagi.
Hari Selasa (18/12/2018), China akan memperingati 40 tahun reformasi dan keterbukaan China yang digagas Deng Xiaoping. Presiden Xi Jinping direncanakan menyampaikan pidato peringatan tersebut di Beijing.
Setelah 40 tahun berjalan, sebagian rakyat China merasakan perubahan besar. Namun, sebagian warga lain melihat reformasi di bidang politik dan kebebasan masih jauh dari harapan.
Ou Banlan (52), pensiunan pekerja garmen di Shenzhen, masih ingat betapa sulit hidupnya semasa kecil di kampung nelayan di wilayah selatan. ”Hidup sangat keras. Saat itu semua orang merasakan seperti itu, sangat miskin. Kita cukup makan, tetapi sangat minim,” kenang Ou.
Dia masih ingat akan keinginannya bekerja di kota. Pilihannya jatuh ke Shenzhen yang dibangun sebagai zona ekonomi khusus pada 1980. Pada awal menjadi pekerja, hidupnya pas-pasan saja. Makan di kantin, tinggal di asrama.
Namun, dalam 40 tahun belakangan, ekonomi China bertransformasi. ”Setelah beberapa tahun bekerja, saya mempunyai rumah, saya bisa melakukan hobi-hobi saya atau bepergian. Waktu luang saya gunakan untuk makan di restoran atau berbelanja,” ungkap Ou yang sebelumnya tidak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi.
Pendek kata, kualitas hidup berubah. Namun, Ou menambahkan, ”Perlindungan terhadap hak-hak warga miskin masih menjadi masalah besar.”
Bagi orang muda seperti Zhao Chen (34), reformasi memberinya banyak kemungkinan lebih baik dibandingkan dengan orangtuanya dulu. Zhao membayangkan suatu ketika bekerja di perusahaan pemerintah seperti orangtuanya. Ternyata dia mendapat kesempatan mengenyam pendidikan master komputer ke AS. Setelah delapan tahun merantau, dia kembali dan membangun perusahaan investasi Plug and Play.
”Di China, orang haus kesuksesan dan bersedia bekerja keras,” kata Zhao. Dengan jam kerja dari pukul 09.00 hingga 21.00 selama enam hari seminggu, perusahaan meraup kemajuan. ”Kami menikmati keuntungan dari reformasi China,” kata Zhao.
Bagi seniman seperti Jin Shan (41), selain kemakmuran, dia juga merasa diuntungkan bisa berekspresi lebih bebas. Jin, yang berayah juga seorang seniman, membandingkan era Mao Zedong yang begitu memuliakan komunisme. Ayahnya ketika itu hanya bisa menggambar poster-poster propaganda atau gambar untuk latar belakang panggung.
Kebebasan terbatas
Meski begitu, di bidang seni jangan berharap juga semua bisa dilakukan secara bebas. Seni yang terang-terangan menyangkut politik atau menyerang Partai Komunis tetaplah hal tabu. Tidak jarang pihak berwenang menutup pameran yang memamerkan hal-hal seperti ini. ”Saya tidak membuat figur-figur politik sehingga tidak banyak pembatasan atas konten yang saya buat. Ada tingkat kebebasan tertentu. Namun, ini akan menimbulkan masalah kalau Anda melakukan hal yang sensitif,” kata Jin.
Kini China merupakan salah satu negara dengan pasar seni terbesar di dunia. Seniman-seniman besar China juga menghasilkan jutaan dollar.
Masa reformasi dibayangi oleh masa gelap dan berdarah dalam sejarah China. Wu’er Kaixi, misalnya, masih berusia 21 tahun saat ikut aksi protes menuntut reformasi demokrasi di Lapangan Tiananmen tahun 1989. Wu’er bergabung dengan rekan-rekannya yang melakukan mogok makan dan menyaksikan penumpasan militer yang menewaskan ribuan orang,
Wu’er kini tinggal di Taiwan. Dari luar, ia melihat keterbukaan yang dicanangkan 40 tahun lalu itu, dalam hal reformasi politik, tidak terlalu banyak berubah. Setelah peristiwa pembunuhan massal, Wu’er melarikan diri ke Hong Kong, lalu ke AS, sebelum tinggal di Taiwan. Reformasi politik harus terjadi dari bawah, bekerja sama dengan orang-orang di atas, demikian kata Wu’er yang tak berhasil kembali ke China. (AFP/REUTERS/RET)