Setelah Uni Soviet bubar pada 1991, muncul pandangan, demokrasi liberal tidak lagi memiliki ”lawan”. Semua negara di dunia ditengarai akan melakukan perjalanan sejarah yang sama untuk mencapai tujuan akhir yang juga sama, yaitu penerapan demokrasi liberal dengan pelaksanaan pemilu multipartai secara reguler dan pers yang bebas.
Hampir 30 tahun setelah Uni Soviet yang komunis terpecah menjadi sejumlah negara, situasi dunia justru sangat berkebalikan. Demokrasi liberal kini menghadapi tantangan sangat berat. Berbagai kalangan mempertanyakan benarkah sistem demokrasi liberal bisa menjadi solusi untuk membawa umat manusia kepada kesejahteraan?
Pertanyaan itu muncul saat kebebasan berpendapat dan berekspresi di negara-negara demokrasi telah mencapai tingkat yang tidak pernah terbayangkan siapa pun, tiga dekade silam.
Kemajuan teknologi informatika dan komunikasi telah menciptakan ruang interaksi yang sangat cair dan terbuka. Siapa saja bisa mengutarakan pendapat kepada siapa pun.
Ternyata dalam perkembangannya, kebenaran ilmiah dan disiplin nalar menjadi tidak penting. Hoaks pun bertaburan. Demokrasi yang mengandaikan dibangun di atas argumen-argumen rasional mulai limbung karena sekarang argumen sudah tidak perlu lagi rasional, apalagi benar.
Meski penuh kebohongan, asalkan disukai kelompok masyarakat tertentu, sebuah argumen akan dianggap sebagai ”kebenaran”.
Gugatan terhadap demokrasi liberal multipartai sebenarnya juga muncul saat China sekarang tampil sebagai raksasa. Kontestasi di Laut China Selatan, perang dagang, dan pertarungan Amerika Serikat-China di bidang teknologi merupakan gejala dari kehadiran kekuatan raksasa baru itu. Setelah menjadi bulan-bulanan kekuatan asing pada abad-abad silam, China sekarang menjadi ”penantang utama” negara adidaya AS.
Namun, selain menunjukkan diri sebagai kekuatan raksasa militer, ekonomi, dan teknologi, China juga memperlihatkan diri sebagai negara yang menerapkan sistem alternatif dari demokrasi liberal yang dikampanyekan Barat. Dalam ”The Life of the Party: The Post-Democratic Future Begins in China” (Foreign Affairs, January/February 2013), Eric X Li menolak penilaian ilmuwan politik Francis Fukuyama bahwa dunia akan menjadi tempat yang membosankan karena semua negara bakal menganut demokrasi liberal. Menurut Eric, era sekarang justru lebih menarik karena kesuksesan China memberikan contoh kepada banyak negara berkembang bahwa demokrasi liberal bukan satu-satunya cara menuju keberhasilan.
Dalam artikel itu, Eric yang merupakan ilmuwan politik serta investor menguraikan bahwa sistem satu partai di China membuat negara itu berhasil seperti sekarang. Lewat sistem satu partai, meritokrasi, atau pemberian penghargaan terhadap pejabat berdasarkan kinerja dan kemampuan, berjalan sangat baik.
Diuraikan, penjenjangan pejabat berjalan sangat baik. Sebelum duduk di jajaran elite Partai Komunis dan menjadi pejabat tinggi negara, seseorang harus merangkak dari bawah, mulai dari memimpin wilayah dengan penduduk sedikit dan menanjak hingga wilayah yang kian luas dan padat.
Para pejabat karier itu juga melewati proses memimpin perusahaan milik negara mulai dari yang memiliki valuasi kecil hingga sangat besar. Hanya orang-orang yang berpengalaman dan teruji akan melangkah ke jenjang lebih tinggi. Dengan kata lain, sistem ini memastikan siapa pun yang menjadi pemimpin negara China, ia adalah orang yang teruji integritasnya dan pasti berpengalaman.
Eric menyebut bahwa sistem atau model pemilu Barat kini terlihat hanya bertujuan demi pemilihan itu sendiri. Maka, bukannya menghasilkan pemimpin yang memiliki kemampuan, politik pemilihan justru membuat para pemimpin yang baik mengalami kesulitan untuk mendapatkan kekuasaan.
Karena itu, bagi negara yang sedang mendekati pemilihan umum, tidak ada salahnya untuk merenungkan kembali apa tujuan demokrasi?