Kematian Jakelin Caal (7), pencari suaka asal Guatemala, di rumah sakit di El Paso, Texas, awal bulan ini, mengingatkan kembali pada tragedi yang dialami Aylan Kurdi (3). Bocah pengungsi asal Kobane, Suriah, itu tewas saat perahu yang ditumpangi keluarganya dan puluhan pengungsi lain tenggelam karena dihajar gelombang Laut Tengah, tahun 2015.
Kala itu, saat sejumlah negara Eropa dan dunia tengah berdebat tentang siapa yang harus menerima dan bertanggung jawab atas krisis pengungsi Suriah, kematian Aylan Kurdi memberi ”tamparan” keras bahwa siapa pun warga dunia harus turut mengambil bagian dalam upaya menyelamatkan korban konflik.
Tiga tahun setelah tragedi itu, kisah Jakelin menorehkan keprihatinan yang sama. Gadis kecil asal Guatemala itu adalah salah satu dari ribuan warga Amerika tengah yang berupaya mencari suaka di Amerika Serikat. Hampir 80 persen penduduk pribumi Guatemala adalah orang miskin, separuh dari mereka hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Di Afrika, warga mengalami situasi yang tidak jauh berbeda. Konflik, kekeringan, dan banjir telah mendorong ratusan ribu warga Somalia berpindah ke Mogadishu. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat, di dunia, peperangan, penganiayaan, dan kekerasan lainnya mendorong 68,5 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dari jumlah itu, sebanyak 25 juta menjadi pengungsi di negara lain dan sebanyak 3,1 juta orang menjadi pencari suaka.
Sayangnya, di tengah situasi penuh keprihatinan itu, sejumlah negara justru mengambil kebijakan keras terhadap pengungsi. AS di bawah Presiden Donald Trump menutup perbatasan untuk pengungsi asal Guatemala dan Honduras. AS juga menolak Pakta Migrasi yang disepakati PBB.
Global Compact on Refugees menetapkan langkah untuk berbagi tanggung jawab guna membantu pengungsi atau migran yang lari karena konflik atau penganiayaan, serta membantu meringankan beban negara-negara kecil yang menjadi tuan rumah bagi pengungsi. Dalam pemungutan suara, AS dan Hongaria menolak, sementara Republik Dominika, Eritrea, dan Libya abstain. Sebanyak 181 negara lainnya menyetujui pakta itu.
Sikap AS dan Hongaria sudah diduga sebelumnya. Saat arus pengungsi Suriah membanjiri Eropa pada 2015, Hongaria menutup perbatasan mereka untuk pengungsi. AS menarik diri dari UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina. Selain itu, saat beberapa negara mencoba mencari jalan keluar untuk meringankan beban pengungsi akibat naiknya permukaan laut dan bencana alam, Washington justru menarik diri dari Perjanjian Paris 2015 yang bertujuan membatasi kenaikan suhu rata-rata dunia di bawah 2 derajat celsius.
Dalam pertarungan itu, menarik memperhatikan pesan Paus Fransiskus bahwa sangatlah berbahaya mengeksploitasi nasionalisme dan rasa takut terhadap orang asing. Sikap itu mencederai persaudaraan global dan kepercayaan antarmanusia.
Paus pun berharap pakta PBB tentang migran menjadi salah satu langkah untuk mendorong solidaritas terhadap para pengungsi, pencari suaka, dan migran. Paus menilai, pakta itu menjadi titik referensi bagi masyarakat internasional, yang ia harap akan bertindak dengan ”tanggung jawab, penuh solidaritas, dan kasih sayang terhadap mereka, yang, karena berbagai alasan, meninggalkan negara mereka sendiri”.