Perpecahan Koalisi Memaksa PM Netanyahu Gelar Pemilu Dini
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Pemerintahan koalisi di Israel pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kini hanya menguasai mayoritas tipis, yakni 61 dari 120 kursi Knesset (parlemen), akhirnya ambruk. Pemerintahan Netanyahu, Senin (24/12/2018), seperti diberitakan harian The Jerusalem Post, mengumumkan digelarnya pemilu dini pada 9 April 2019. Jadwal reguler pemilu parlemen Israel itu semula tercatat digelar, November 2019.
Netanyahu tidak bisa mempertahankan pemerintah koalisinya setelah partai-partai anggota koalisi dari partai agama mengancam mundur dari koalisi jika draf undang-undang (UU), yang akan mewajibkan para pelajar dan mahasiswa sekolah agama (haredim) mengikuti wajib militer, diajukan ke Knesset.
Selama ini, partai-partai agama menolak draf UU tersebut. Sebaliknya, partai-partai sekuler mendukungnya. Pemerintahan koalisi pimpinan Netanyahu, yang hanya menguasai 61 kursi Knesset, didukung lima partai politik yang terdiri dari tiga partai agama, yaitu partai Shas (7 kursi), partai United Torah Judaism (6), dan The Jewish Home (8); serta dua partai sekuler, yakni partai kanan Likud (30) dan partai kanan tengah Yes Atid atau Kulanu (10).
Dari komposisi koalisi itu, partai agama memiliki 21 kursi di Knesset. Jika partai-partai agama itu melaksanakan ancamannya, otomatis pemerintahan Netanyahu akan ambruk. Akibat perbedaan pendapat antara partai agama dan sekuler kanan terkait draf UU itu, pemerintahan Netanyahu secara de facto ambruk.
Dalih ancaman keamanan terhadap Israel yang sering didengungkan PM Netanyahu, tidak dapat lagi mencegah pemilu dini di Israel.
Proses pelemahan pemerintah koalisi pimpinan Netanyahu sudah terjadi sejak Menteri Pertahanan Israel Avigdor dan partai yang dipimpinnya, Yisrael Beiteinu (6 kursi), mundur dari koalisi pada pertengahan November lalu sebagai protes atas kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas di Gaza.
Mundurnya Lieberman membawa pemerintahan Netanyahu ke ujung tanduk karena menjadi mayoritas tipis, dengan hanya menguasai 61 kursi setelah sebelumnya mengontrol 67 kursi Knesset. Pasca-mundurnya Lieberman, sejumlah pengamat dan politisi Israel mengimbau Netanyahu menggelar pemilu dini. Namun, Netanyahu saat itu menolak imbauan tersebut dengan dalih Israel sedang menghadapi ancaman serius dari Iran, Hezbollah, dan Hamas.
PM Netanyahu saat itu menegaskan, Israel kini sedang berjuang mencegah keberadaan Iran di Suriah. PM Israel itu juga menegaskan, Israel ingin menghancurkan senjata Hezbollah, yaitu senjata terowongan yang sedang digali Hezbollah seperti terowongan milik Hamas yang telah berhasil dihancurkan Israel.
Israel sampai saat ini mengklaim, telah berhasil menemukan empat terowongan milik Hezbollah di perbatasan Israel-Lebanon. Empat terowongan tersebut diduga kuat digali Hezbollah untuk dapat menembus lewat bawah tanah dari Lebanon menuju wilayah Israel.
Israel pada awal Desember lalu telah mengumumkan menggelar operasi militer yang diberi sandi “Perisai Utara” untuk menghancurkan terowongan-terowongan lintas batas tersebut.
Akan tetapi, dalih ancaman keamanan terhadap Israel yang sering didengungkan PM Netanyahu, tidak dapat lagi mencegah pemilu dini di Israel setelah perbedaan pendapat antara anggota koalisi PM Netanyahu dari partai agama dan kanan sekuler terkait draf UU wajib militer bagi pelajar/pemuda dari sekolah agama.
Dalam jajak pendapat sementara ini, partai kanan Likud pimpinan PM Netanyahu akan kembali menang pada pemilu dini nanti. Adapun PM Netanyahu berjanji, akan membentuk pemerintah koalisi seperti komposisi koalisi saat ini jika memenangkan pemilu dini.
Pemerintah koalisi PM Netanyahu yang didominasi partai agama dan kanan dikenal pemerintah Israel paling radikal sejak berdirinya negara Israel tahun 1948.