Israel Terus Caplok Tepi Barat
Israel telah menyetujui perluasan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan di Tepi Barat sebanyak 2.200 rumah. Langkah ini berlangsung di tengah krisis politik di Palestina.
RAMALLAH, KAMIS Otoritas Israel menyetujui pembangunan permukiman Yahudi sekitar 2.200 rumah di wilayah pendudukan Tepi Barat yang merupakan wilayah Palestina. Rencana ini sudah disetujui sebuah komite di kementerian pertahanan Israel yang bertanggung jawab atas proyek permukiman.
Sebanyak 1.159 rumah sudah memperoleh persetujuan final untuk dibangun, sementara 1.032 rumah lainnya masih menunggu persetujuan.
Pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu awal pekan ini membubarkan parlemen dan mengumumkan percepatan pemilu pada 9 April 2019. Masalah permukiman merupakan isu penting dalam kampanye partai Netanyahu, Partai Likud.
Netanyahu memulai masa kampanye dengan bertemu sejumlah pemimpin permukiman di Jerusalem. ”Kami melihat adanya upaya dari partai-partai sayap kiri untuk menggulingkan kekuasaan kami yang dibantu oleh media dan pihak lain. Mereka tidak akan berhasil karena jika mereka berhasil, mereka akan membahayakan gerakan permukiman,” kata Netanyahu.
Pejabat senior Palestina, Saeb Erakat, mengecam kebijakan Israel yang disebutnya ”pencuri wilayah Palestina dan sumber dayanya untuk perluasan permukiman ilegal yang merupakan kampanye Netanyahu”. Menurut Erakat, langkah itu jelas menjadi bagian dari daftar panjang pelanggaran Israel terhadap hukum internasional.
Permukiman Israel dinyatakan ilegal berdasarkan hukum internasional karena dibangun di tanah Palestina dan di wilayah masa depan negara Palestina. Perluasan permukiman ini menjadi penghalang besar bagi upaya perdamaian di Timur Tengah.
Saat ini lebih dari 400.000 warga Israel tinggal di permukiman Tepi Barat yang merupakan wilayah Palestina. Sementara 200.000 warga Israel lainnya menempati wilayah pendudukan di Jerusalem Timur yang juga merupakan wilayah Palestina.
Terbelah
Krisis di Tepi Barat ini terjadi saat situasi politik di Palestina sedang terbelah. Pekan lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang berasal dari Partai Fatah, membubarkan parlemen yang dikuasai Hamas. Hal ini membuat perseteruan di antara kedua kubu politik Palestina itu semakin meruncing.
Perpecahan dan persaingan antara Fatah dan Hamas sudah berlangsung sejak tahun 2007. Hamas saat ini mengontrol wilayah Gaza dan sebagian wilayah Tepi Barat. Sejak perseteruan tersebut, Dewan Legislatif Palestina (PLC) nyaris tidak berfungsi.
”Kami merujuk pada Pengadilan Konstitusi yang memutuskan untuk membubarkan PLC dan melaksanakan pemilu legislatif dalam enam bulan ini,” kata Abbas dalam pertemuan di Ramallah.
Abbas menuduh Hamas telah menghalangi upaya Mesir mengembalikan persatuan Palestina. Akan tetapi, tuduhan tersebut dibantah keras oleh Hamas. Menurut Abbas, pembubaran parlemen dimaksudkan untuk menekan Hamas agar menerima proposal rekonsiliasi nasional.
Mesir telah berkali-kali menjadi mediator antara Fatah dan Hamas, tetapi selalu kandas.
Di Gaza, para anggota parlemen asal Hamas bertemu dengan PLC. Namun, pertemuan itu diboikot oleh Fatah dan kubu Front Populer untuk Pembebasan Palestina. ”Membubarkan PLC adalah menghancurkan sistem politik dan membuka pintu bagi kekacauan di Palestina,” kata Yehiha Moussa, anggota parlemen dari Hamas.
Kejahatan Israel
Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, Kamis (26/12/2018), mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengajak masyarakat internasional melawan kejahatan Israel. Raja Salman juga menegaskan, Palestina merupakan isu prioritas bagi Arab Saudi.
Disebutkan, Arab Saudi tidak pernah mengubah komitmen terhadap Palestina dan khususnya Masjid Al Aqsa. Riyadh menjadikan isu Palestina dan Masjid Al Aqsa sebagai kewajiban yang harus dituntaskan. Arab Saudi berjanji mengerahkan segala upaya untuk menjaga kemuliaan Masjid Al Aqsa dan menghapus penindasan terhadap Palestina.
Raja Salman juga mengajak masyarakat internasional melawan pelanggaran Israel terhadap hukum dan konvensi internasional. Ia mengingatkan pentingnya persatuan sebagai syarat pokok mewujudkan Palestina merdeka dan berdaulat.
Palestina harus bersatu di bawah lembaga yang sah secara hukum demi kebaikan rakyatnya. Palestina juga harus menghindari ketegangan yang bisa melumpuhkan upaya meraih haknya.
Raja Salman juga mengajak masyarakat internasional untuk lebih berpihak kepada Palestina. Ajakan itu antara lain disampaikan kepada Amerika Serikat yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Riyadh terus mendesak Washington agar meninjau keputusan tersebut. (AP/AFP/RAZ/MYR)