Mendayung di Antara (Lebih Banyak) Karang
Dunia sedang mencari bentuk baru setelah tatanan lama semakin mendekati berantakan. Pencarian itu diikuti persaingan kekuatan besar dengan dampak yang harus semua.
Selama puluhan tahun, dunia terbiasa dengan kepemimpinan Amerika Serikat. Semua berubah setelah Donald Trump menjadi Presiden AS. Ia menarik AS dari berbagai forum multilateral, memicu perang dagang, dan menekan para sekutu tradisional AS.
Perekonomian dunia yang terhubung satu sama lain membuat Asia Tenggara ikut terimbas. Pasalnya, Asia Tenggara menempatkan China dan AS sebagai mitra dagang besar untuk aneka komoditas. Perseteruan Beijing-Washington tentu membuat ASEAN, jalur bagi 30 persen komoditas perdagangan global, jadi tertekan.
Perebutan
Hadirnya pemimpin dunia, seperti Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri India Narendra Modi, PM China Li Keqiang, PM Jepang Shinzo Abe, hingga PM Australia Scott Morrison dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Singapura, November 2018, menunjukkan pentingnya ASEAN. Namun, ketidakhadiran Presiden Trump dalam KTT Itu membuat ASEAN gusar.
Bahkan, Singapura yang secara tradisional dianggap sekutu terdekat AS di Asia Tenggara pun tidak bisa menutupi kegusarannya. PM Singapura Lee Hsien Loong sampai menyatakan, ASEAN pada akhirnya harus memutuskan akan berpihak kepada siapa dalam persaingan negara besar. Pokok kegusaran Lee, juga pemimpin ASEAN lain, adalah kekhawatiran: AS tidak serius dengan Asia Tenggara.
Bagaimanapun, persaingan AS-China bisa memicu konflik bersenjata di kawasan. Dunia tidak bisa menutup mata pada serangkaian insiden di Laut China Selatan (LCS) yang melibatkan AS dan China, di mana kapal perang dan pesawat tempur mereka sering bersemuka.
Di sisi lain, setelah belasan tahun berunding, ASEAN dan China tidak kunjung menyepakati panduan tata perilaku di LCS. Padahal, panduan itu diharapkan bisa menjadi pencegah konflik bersenjata di perairan itu. Beijing selalu beralasan, pembahasan panduan itu tidak boleh disusupi kepentingan negara lain yang tidak ada kaitannya dengan LCS. Meski tidak menyebut secara jelas, Beijing mengarahkan telunjuknya ke Washington.
Melihat kegusaran itu, Wapres Mike Pence berusaha meyakinkan ASEAN, Washington tetap memandang penting Asia Tenggara. Kemlu AS juga berulang kali mengumumkan AS, melalui unit keuangan bernama OPIC dan aneka lembaga bantuan seperti USAID, telah menginvestasikan miliaran dollar AS sejak puluhan tahun lalu di Asia Tenggara.
Memang, belakangan gaung OPIC kalah dibandingkan dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang diusung China.
Perselisihan
Singapura yang dianggap paling makmur di kawasan pun ikut menyokong BRI lewat proyek kereta Singapura-Malaysia. Belakangan, setelah Mahathir Mohammad kembali menjadi PM, proyek itu terancam dibatalkan. Mahathir tengah menegosiasikan ulang proyek itu karena terlalu mahal.
Selain itu, dengan Singapura pun ada perubahan arah hubungan. Kuala Lumpur ingin perundingan ulang kerja sama pasokan air dari Johor Bahru ke Singapura dan Kuala Lumpur juga ingin merebut kendali lalu lintas udara Johor dari Singapura. Soal lain adalah sengketa wilayah di atas gugusan karang di ujung Selat Philips.
Kuala Lumpur tidak hanya bersitegang dengan Singapura. Isu Rohingya membuat relasi Malaysia-Myanmar tegang.
Di sisi lain, dalam sejumlah isu, seperti terorisme dan radikalisme, kerja sama ASEAN teruji. Indonesia-Malaysia-Filipina, misalnya, menggelar patroli terkoordinasi di perairan Sulu dan Sabah. Keamanan dan perdamaian memang jadi modal penting ASEAN untuk tumbuh seperti sekarang.
Mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengatakan, terlepas apa pun pendapat banyak orang, ASEAN tetap penting bagi kawasan dan global. ASEAN teruji sukses mendorong dialog dalam situasi apa pun. Jika Mohammad Hatta menyebut diplomasi Indonesia seperti mendayung di antara dua karang, diplomasi ASEAN ke depan adalah mendayung di antara lebih banyak karang.
(Kris Razianto Mada)