BEIJING, KAMIS —Hantaman tarif impor oleh Amerika Serikat diperkirakan membuat perlambatan ekonomi China tahun ini berlangsung lebih cepat. Beijing memerlukan aneka stimulus untuk mengatasi permintaan domestik sekaligus ekspor yang anjlok.
Jajak pendapat terhadap 85 ekonom global yang dilakukan kantor berita Reuters dan dirilis pada Kamis (17/1/2019) menyatakan, pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan melambat jadi 6,3 persen dari yang diperkirakan pada 2018 sebesar 6,6 persen. Angka 6,3 persen itu berarti bakal jadi pertumbuhan ekonomi China yang paling lemah dalam waktu 29 tahun terakhir. Ekonomi China tumbuh 6,9 persen pada 2017.
”Perlambatan signifikan China mungkin sudah berlangsung,” kata profesor ekonomi Universitas Harvard, Kenneth Rogoff, dalam komentarnya baru-baru ini.
Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini memulai awal yang kuat pada 2018. Namun, tekanan segera terbentuk ketika tindakan keras terhadap pinjaman berisiko mendorong biaya pinjaman dan mempersulit perusahaan-perusahaan kecil untuk mendapatkan pendanaan. Kondisi ini dinilai dapat memacu rekor gagal bayar surat utang.
Pada saat yang sama, perselisihan yang meningkat dengan AS membuat kedua belah pihak melancarkan perang tarif satu sama lain. Kondisi itu mengganggu sektor perdagangan China dan membebani bisnis sekaligus kepercayaan konsumen. Melambatnya permintaan global meningkatkan tekanan ekspor China.
Dimulainya kembali pembicaraan perdagangan China-AS pada awal tahun ini telah meningkatkan optimisme di kalangan beberapa analis atas perang dagang keduanya. Namun, kesepakatan komprehensif untuk mengakhiri perselisihan dipandang sulit tercapai hingga tenggang waktu negosiasi, yakni awal Maret, berakhir.
Bahkan, jika China-AS dapat mencapai kesepakatan perdagangan yang bertahan lama, Beijing tetap harus akseleratif mendongkrak investasi dan permintaan domestik yang lemah. ”Kami memperkirakan ekonomi melunak lebih lanjut. Hambatan domestik akan tetap kuat,” kata para analis di Capital Economics.