Tembok ”Penolak” Kulit Coklat
Belum tampak titik terang kapan kegiatan pemerintahan Amerika Serikat bisa dipulihkan. Nasib 800.000 pegawai pemerintah yang dirumahkan sementara juga belum jelas. Negosiasi untuk pembukaan kegiatan pemerintahan pun terhenti. Berlangsung sporadis aksi saling serang antara kubu Demokrat dan Republikan.
Ini bermula dari penghentian kegiatan pemerintahan yang dipicu Presiden Donald Trump pada 22 Desember 2018. Trump tidak mau meneken anggaran untuk sembilan departemen dan lembaga karena Demokrat tidak menyetujui 5,7 miliar dollar AS untuk pembangunan tembok di sebagian perbatasan AS-Meksiko yang memiliki panjang 3.126 kilometer itu.
Trump mencoba menyeret Demokrat sebagai penyebab kisruh, padahal dia yang menyatakan pada 11 Desember 2018 kegiatan pemerintah dihentikan jika dana tak disetujui Demokrat. Ini dinyatakan di hadapan Ketua DPR AS (House of Representatives) Nancy Pelosi (Demokrat-California) dan Ketua Minoritas Senat AS Chuck Schumer (Demokrat-New York).
Kubu Demokrat menyatakan tembok personifikasi tindakan immoral.
Kubu Demokrat menyatakan tembok personifikasi tindakan immoral. Itulah alasan Demokrat tak menyetujui anggaran untuk tembok. Dan tembok merupakan bagian dari persoalan implisit tentang penolakan Republikan terhadap imigran Latin. Isu tembok ini juga merupakan kelanjutan dari pembatasan dan penghapusan Trump dan Republikan atas fasilitas perlindungan terhadap imigran Latin di AS, yang pernah diperkenalkan di era Presiden Barack Obama.
Mencegah kulit coklat
Penolakan ini merupakan pelestarian atas hal yang sudah lama diincar Republikan, antara lain lewat Steve King, anggota DPR AS (Republikan-Iowa). King ingin mempertahankan sivilisasi Amerika Serikat berdasarkan kulit putih. King mendukung imigran yang biasa berasimilasi penuh. Ini berbasis kultur Amerika, di atas kepentingan ras, yang telah dibawa ke AS oleh kulit putih Eropa.
King dicecar banyak pihak karena ucapannya ini, termasuk beberapa rekannya sendiri. ”Nasionalisme kulit putih, sivilisasi Barat, bagaimana bahasa ini bisa dianggap menyerang?” kata King. Dia mengaku sebagai seorang nasionalis tetapi membantah sebagai nasionalis kulit putih dan juga bukan seorang penganut supremasi kulit putih. ”Saya menolak label itu,” kata King.
Mantan Ketua DPR AS John Boehner (Republikan) pernah menentang keras King. Namun, King adalah pendukung Trump soal tembok. Dia diundang menghadap Trump yang mencuatkan isu tembok.
Hal inilah yang ditolak Pelosi dengan mengatakan tembok adalah simbol imoralitas. ”Tembok bukan semata-mata tentang perbatasan AS-Meksiko. Dan ini adalah masalah antara realitas dengan Trump dan pendukungnya yang tidak mau tahu dengan realitas. Trump sangat pintar memelintir realitas dengan menonjolkan isu tembok, yang jelas tidak efektif dan bukan cara paling pas untuk melindungi warga AS,” kata Pelosi.
Jelas ini bukan cara Amerika Serikat. Ini adalah sudut pandang lama. Tembok menghabiskan uang. Namun, Trump telah menjadikan ini sebagai alat penyandera negara. Inilah yang membuat Demokrat bertahan menolak.
Seiring dengan itu adalah kelompok ekstrem kanan penyebab terhentinya pemerintahan. Jika tidak ada tembok, lebih bagus kegiatan pemerintahan ditutup sebagian. Tuduhan pun muncul pada Ann Coulter, seorang tokoh kelompok ekstrem kanan. Bagi kubu ini lebih bagus menutup pemerintahan ketimbang mengalah.
Perubahan demografi
Alasan lain di balik sikap kukuh Republikan ini terkait dengan basis pemilih untuk Pemilu 2020 dan seterusnya. Adalah Demokrat yang diuntungkan secara politik karena Hispanik, julukan bagi imigran Latin. Mayoritas kaum ini merupakan pendukung Demokrat.
Tembok mencuat sebagai garis penegas fundamental yang memisahkan garis biru dan merah. ”Tembok menjadi semacam isu sempurna bagi Trump. Sejak lama dia memosisikan diri sebagai penentang kultur ini dan menolak perubahan demografi yang ditakutkan sebagian kulit putih,” kata Robert P Jones, pimpinan Public Religion Research Institute, sebuah organisasi non-partisan yang mendalami perilaku publik tentang agama dan budaya.
Lepas dari itu, Hispanik memberikan keuntungan ekonomi. Mereka adalah pekerja pertanian di California, Iowa, dan lainnya. Mike McCarville, mantan Wali Kota Fort Dodge, Iowa, mengatakan, jika masalah ini tentang warga Latin yang bekerja di pengepakan daging, konstruksi, dan pertanian di kawasan ini, warga asli Iowa bersikap mendua.
”Semua petani tidak nyaman tentang semua Hispanik tetapi menyewa mereka. Kita memang tidak dapat berjalan tanpa mereka. Jika mereka menuntaskan apa yang pernah mereka sebut soal aksi mengepung serta mengapalkan Hispanik mereka ke negara asal, ekonomi kita akan terhenti,” kata McCarville.
Tembok Trump berakar dalam pada isu xenofobia.
”Tembok Trump berakar dalam pada isu xenofobia,” kata anggota DPR AS, Ilhan Omar (Demokrat-Minnesota). ”Ada pihak dari kelompok kanan, komentator media yang berbicara tentang bagaimana imigran membuat negara ini kotor dan miskin, serta lebih berbahaya.”
Inilah yang menjadi masalah utama. Ada isu rasisme di balik isu tembok. Demokrat memahami ini dan menolak tembok. Sebagian besar Republikan menentang asimilasi Latin di AS.
Kedua kubu terus bertahan dengan sikap masing-masing, disebut sebagai clash of absolutes oleh Jones.
Tawaran Trump ditolak
Presiden Trump mencoba menawarkan pemanis. Pada pidato hari Sabtu (19/1/2019), Trump menjanjikan perpanjangan sementara program perlindungan bagi 300.000 imigran penerima program Temporary Protected Status (TPS). Ini fasilitas perlindungan bagi imigran Latin. Trump juga menjanjikan penambahan 75 hakim imigrasi untuk mempercepat proses bagi pencari suaka dari kawasan Latin di AS.
Trump mengatakan, Demokrat menyukai ini. Dia juga mendukung perpanjangan sementara fasilitas perlindungan bagi 700.000 imigran ilegal yang masuk AS saat usia anak-anak (Dreamers). Mereka ini juga akan dilindungi dari ancaman deportasi berdasarkan Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA), sebuah program di era Presiden Barack Obama.
Usulan Trump langsung ditolak mentah-mentah oleh Demokrat. Nancy Pelosi menyebutkan tidak ada hal yang bisa mendorong negosiasi. Tawaran Trump tidak menggambarkan pemulihan secara total atas kehidupan warga Latin, sekitar 11 juta jiwa. ”Tidak ada solusi permanen bagi Dreamers dan penerima TPS, yang dibutuhkan negara kita dan juga didukung negara kita,” kata Pelosi.
Ann Coulter langsung menyerang Trump dengan tawaran yang ditolak Demokrat itu. ”Kita memilih Trump tetapi kita mendapatkan Jeb Bush,” kata Coulter. Ini merupakan sindiran pada Trump yang dianggap menentang janji kampanyenya dan bertindak seperti Jeb Bush, politisi Republikan dan adik mantan Presiden George W Bush, yang simpatik pada Hispanik.
Tawaran Trump dianggap melemahkan inti perjuangan Republikan, yang sering kali menyatakan pendatang Hispanik itu kotor dan merupakan ancaman. Tom Fitton, presiden kelompok aktivis sayap kanan Judicial Watch, mengatakan, DACA dan TPS akan mendorong imigran ilegal dan melemahkan hukum. ”Amnesti bukan rencana yang baik,” katanya.
”Amnesti semacam ini merupakan insentif terhadap arak-arakan karavan,” kata Roy Beck, presiden dari organisasi anti-imigran NumbersUSA.
Trump mencoba meredam pandangan ekstrem seperti ini. Pada hari Senin, 21 Januari, dia berkunjung ke monumen Martin Luther King Jr di Washington DC. Namun, hal ini dipandang sekadar ”pemanis” di permukaan dan tidak memberikan solusi substansial untuk rekonsiliasi.
Sembari itu, nasib pekerja federal yang dirumahkan sementara tetap tak menentu. Efek ekonomi walau secara empiris tidak besar, oleh Mark Zandi, ekonom senior Moody’s Investor Service, diingatkan bahwa akan ada gangguan juga.
Mantan ahli strategi politik Gedung Putih, Karl Rove, mengingatkan para senator Republikan bahwa sikap yang lebih mendengar basis pendukung fanatik akan membuat posisi partai pada Pemilu 2020 lebih sulit. Mantan ahli strategi politik Presiden George Bush ini mengingatkan situasi yang sudah dihadapi Republikan pada pemilu November 2018.
Berbagai jajak pendapat menunjukkan pamor Trump menurun dengan sikap mempertahankan penolakan pembukaan pemerintahan. Di balik semua kisruh ini, para pakar mengatakan Trump memang seorang Presiden yang tidak memberikan ketenangan. John Brabender, seorang ahli strategi Republikan dan penasihat bagi Rick Santorum, mengatakan, Trump akan dikenang sebagai disrupter.
Masalah kepemimpinan ada pada Trump itu sendiri. Akhirnya sebuah buku baru muncul tentang Trump yang ditulis mantan ahli komunikasi Gedung Putih, Cliff Sims, berjudul Team of Vipers. Kekacauan negara barangkali menggambarkan kekacauan di Gedung putih yang terjadi di bawah Trump, seperti ditulis di dalam buku itu. (AFP/AP/REUTERS)