Membuka 2019, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengumumkan, Kemlu Chat sebagai sarana komunikasi internal Kementerian Luar Negeri RI. Pengumuman di antara pidato hampir satu jam itu menunjukkan keseriusan pada komunikasi yang aman.
Triliuner George Soros memperingatkan bahaya perangkat teknologi informasi sebagai alat mata-mata. Ia membahas kekhawatiran sejumlah negara soal pengembangan teknologi seluler 5G. Ia meminta Amerika Serikat menekan Huawei dan ZTE, raksasa telekomunikasi China. ”Jika perusahaan-perusahaan itu mendominasi pasar 5G, mereka akan menyebabkan risiko keamanan pada seluruh dunia,” ujarnya, Kamis (24/1/2019) malam, di Bern atau Jumat dini hari WIB.
Sebelum pernyataan Soros itu, sejumlah negara melarang Huawei terlibat dalam pengembangan 5G. Alasannya, produk Huawei dan produsen lain dari China dituding sebagai perangkat mata-mata Beijing. Larangan itu berbahaya bagi Huawei yang mempunyai 22 kontrak pengembangan 5G, 14 di antaranya berada di Eropa.
Triliuner George Soros memperingatkan bahaya perangkat teknologi informasi sebagai alat mata-mata.
Namun, sebelum mengkhawatirkan China, sebaiknya dunia melihat kembali ke tahun 2013. Dalam laporan pada Juni 2013, koran Hong Kong, The South China Morning Post, menyebut, AS bertahun-tahun meretas ribuan komputer di China. Laporan itu berdasarkan wawancara dengan mantan pegawai alih daya NSA, Edward Snowden, di suatu tempat yang dirahasiakan, di Hong Kong.
Kepada media lain, Snowden mengungkap aktivitas mata-mata dan penyadapan terhadap miliaran orang. Pelakunya, Badan Keamanan Nasional (NSA) AS dan lembaga intelijen dari berbagai negara. Ia mengunggah 1,5 juta berkas yang menjadi bukti kegiatan itu ke internet. Sebagian dokumen disarikan dalam buku No Place to Hide: Edward Snowden, the NSA, and the U.S. Surveillance State yang disusun Glenn Greenwald. Dalam dokumen-dokumen itu terekam AS, Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Kanada bergabung dalam aliansi ”Panca Netra”.
Mereka menyadap jaringan kabel optik yang menjadi tulang punggung telekomunikasi global, internet ataupun telepon, sejak 2010. Negara lain di Eropa melakukan hal serupa. Sasarannya, orang biasa sampai pejabat negara. Bahkan, AS mematai-matai para pejabat negara-negara sekutunya.
Ada beberapa modal AS dalam perang telik sandi itu. Pertama adalah perangkat lunak Prism yang bisa mengumpulkan data dari penyadapan internet dan telepon. AS juga mengumpulkan data para pengguna produk buatan perusahaan teknologi AS, seperti Google, Microsoft, dan Apple. Sebagian perusahaan itu membenarkannya.
Modal kedua adalah akses ke perangkat telekomunikasi dan internet buatan AS. NSA secara fisik mengakses seluruh perangkat itu sebelum diekspor ke sejumlah negara. Selama periode akses, NSA menanamkan perangkat yang memberikan lembaga itu pintu masuk ke seluruh perangkat dan data yang melewati perangkat itu. Dengan demikian, AS punya akses terhadap jaringan telekomunikasi dan komputer di seluruh negara yang menggunakan produk-produk buatan AS.
Bukti kegiatan mata-mata oleh AS dan berbagai sekutunya tersedia dalam jumlah besar. Dalam daftar bukti itu termasuk dokumen laporan dari internal lembaga intelijen AS yang mengakui aktivitas-aktivitas tersebut. (AFP/REUTERS/RAZ)