Venezuela, yang dulu kaya dan makmur, kini terbelah. Negara-negara luar turut campur tangan. Semua mengklaim bergerak di jalur demokrasi. Demokrasi mana yang akan menyelamatkan negara sosialis itu?
Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Sebab, pemilu adalah ciri mendasar demokrasi. Bahkan negara-negara yang digolongkan tidak demokratis sekalipun menyelenggarakan pemilu. Di antara banyak fungsinya, pemilu dipakai sebagai alat menyeleksi pemimpin. Banyak negara sepakat, pemimpin yang tidak terpilih melalui pemilu bukanlah pemimpin demokratis.
Di Irak dan Korea Utara, Amerika Serikat mengampanyekan prinsip itu. Uni Eropa juga melakukan hal serupa. Buku, laman internet, hingga pamflet yang memuat prinsip tersebut dibuat AS dan sekutunya, lalu disebar ke berbagai penjuru bumi.
Kondisi berbeda terjadi di Venezuela. Rabu (23/1/2019) siang, setelah aksi unjuk rasa berhari-hari, Ketua Majelis Nasional Venezuela Juan Guaido (35) mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara negara itu. Lulusan George Washington University, AS, ini menyatakan ada kekosongan kekuasaan di Venezuela. Sebab, parlemen tidak mengakui pelantikan Nicolas Maduro sebagai presiden oleh Mahkamah Konstitusi, 10 Januari 2019.
Parlemen—106 dari 167 kursinya diduduki oposisi—beralasan, pelantikan presiden harus di parlemen. Karena itu, bagi parlemen, tidak ada presiden Venezuela dan, sesuai konstitusi, Ketua Majelis Nasional atau parlemen menjadi presiden sementara.
Oposisi yang menguasai parlemen tidak hanya menafikan pelantikan Maduro. Oposisi juga menolak mengakui pemilihan presiden pada Mei 2018. Mereka menyebut pemilu, yang diikuti empat calon, termasuk Maduro sebagai petahana dan pemenang, itu curang.
Maduro menyebut Guaido melakukan kudeta. Pengambilan kekuasaan melalui kudeta dan tidak melalui pemilu adalah hal yang bertentangan dengan demokrasi.
Reaksi internasional
Deklarasi Guaido disambut Presiden AS Donald Trump. Hanya membutuhkan beberapa jam bagi Trump untuk mengakui pemerintahan sementara Venezuela pimpinan Guaido. Sejumlah negara di Amerika Latin dan Eropa melakukan hal senada, mengakui pemerintahan Venezuela pimpinan Guaido. Mereka menolak mengakui pemerintahan Maduro, yang sejak awal berkuasa pada 2013 bermusuhan dengan AS dan sejumlah negara Barat.
Sejumlah negara Eropa mengajukan syarat tambahan: hanya mengakui pemerintahan Maduro apabila pemilihan presiden segera digelar. Maduro, politikus yang pernah menjadi pengemudi bus itu, menolak permintaan tersebut. ”Venezuela tidak akan tunduk pada ultimatum siapa pun,” ujar pria yang lama menjadi aktivis serikat buruh itu.
Pendukung Hugo Chavez, mendiang Presiden Venezuela, sejak awal dekade 1990-an itu beralasan, Venezuela sudah menyelenggarakan banyak pemilu. Salah satunya adalah pilpres, Mei 2018. Meski hanya 46 persen pemilih menggunakan haknya, komisi pemilihan umum dan Pemerintah Venezuela menyatakan pemilihan itu sah.
Maduro menegaskan, pemilihan presiden hanya akan digelar sesuai jadwal, yakni pada 2023. Sikap berbeda ditunjukkan Guaido. Ia berjanji segera menggelar pemilu. Baginya, krisis politik Venezuela hanya bisa diselesaikan lewat pemilu.
Maduro tidak mau dan menawarkan dialog kepada oposisi. Meksiko pun mendorong dialog itu. Sikap Meksiko menguatkan Maduro yang didukung China dan Rusia di pentas internasional.
Guaido mengaku sudah menyurati Rusia dan China untuk meminta pengakuan. Penarikan dukungan Beijing dan Moskwa terhadap Maduro, bagi Guaido, penting. Sebab, Caracas mendapat banyak sokongan dari Beijing dan Moskwa sejak Hugo Chavez berkuasa pada 1999.
Berebut militer
Tak hanya di pentas internasional, Guaido dan Maduro juga berebut dukungan domestik. Keduanya berupaya menarik dukungan militer. Padahal, dalam kampanye demokrasi AS, Eropa, dan banyak pihak lain selalu dinyatakan bahwa militer harus dijauhkan dari politik.
Maduro mendapat dukungan dari komandan militer. Sementara Guaido, lewat berbagai orasi di serangkaian aksi unjuk rasa, meminta militer menarik dukungan dari Maduro dan mendukung pemerintahan sementara. Ia berjanji mengampuni tentara yang menarik dukungan terhadap Maduro.
Guaido tidak hanya menyerukan lewat orasi. Ia juga ingin menguji loyalitas militer lewat pengiriman bantuan kemanusiaan. Konvoi bantuan akan melewati penjagaan tentara. Jika bisa lewat, kesetiaan tentara kepada Maduro bisa mulai dipertanyakan. Sebab, pemerintahan Maduro melarang bantuan, yang sebagian dari AS dan negara yang memusuhi pemerintahan Maduro. ”Dalam beberapa pekan, mereka (tentara) harus memilih: membiarkan bantuan yang sangat dibutuhkan ini masuk ke negara ini atau berpihak kepada Nicolas Maduro,” kata Guaido.
Venezuela, yang dilanda krisis ekonomi parah, memang membutuhkan bantuan internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hanya mau menyalurkan bantuan ke Venezuela jika ada pengesahan dari pemerintah. Terlepas dari dukungan AS dan Inggris kepada Guaido, PBB masih mengakui pemerintahan Maduro.
Langkah Guaido dan Maduro serta para pendukung internasional mereka membuat demokrasi mendapat ujian keras di negara yang pernah disebut oleh penjelajah Italia sebagai ”Venesia Kecil” itu.