CARACAS, SENIN— Di tengah meningkatnya ketegangan, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengirim surat kepada Paus Fransiskus, berisi permintaan bantuan kepada Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik itu agar membantu dirinya berdialog dengan oposisi. Maduro setuju mengadakan percepatan pemilu parlemen, tetapi menolak digelar pemilihan presiden.
Maduro, dalam wawancara yang disiarkan televisi, Senin (4/2/2019), mengungkapkan tentang surat yang baru dia kirim kepada Paus Fransiskus. Vatikan belum merespons. Sebelumnya, Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Panama meminta adanya solusi ”yang adil dan damai” di Venezuela.
Maduro, yang bulan lalu dilantik untuk kedua kali sebagai presiden, mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri agar segera mengadakan pilpres ulang yang bebas. Meski mendapat ultimatum, Maduro menolak permintaan menggelar pilpres. Dia mendukung rencana pertemuan negara-negara Amerika Latin dan Uni Eropa di Montevideo, Uruguay, Kamis, dan mengatakan, pertemuan itu harus mengarah ke ”dialog”.
Pemerintahan Maduro—di tengah krisis ekonomi yang melanda Venezuela saat ini—tinggal mengandalkan kekuatan militernya yang masih loyal. Juan Guaido, pemimpin oposisi yang mengklaim diri sebagai penjabat presiden, dalam pesannya, Senin (4/2/2019), meminta kepada militer agar mendukung pemerintah transisi.
”Para prajurit, kami terus menunggu. Momennya sekarang,” kata Guaido yang juga Ketua Majelis Nasional.
Oposisi menolak semua tawaran dialog tanpa poin tuntutan awal, yakni mundurnya Maduro dari jabatan presiden. Oposisi menganggap pilpres tahun 2018 sebagai pemilihan tidak sah. Pada pemilihan itu, oposisi melancarkan boikot.
Pertikaian politik tampaknya semakin hari semakin runcing dengan merapatnya dukungan luar kepada Guaido dan juga kepada Maduro. Kelompok Lima yang terdiri dari 14 negara, seperti Argentina, Brasil, dan Kanada, kembali menegaskan dukungan kepada Guaido sebagai pemimpin sementara yang sah. Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, dan sejumlah negara lain di Eropa juga ikut memberikan dukungan kepada Guaido sejak dia memproklamasikan diri memimpin Venezuela pada 23 Januari.
Sementara Rusia yang berada di pihak Maduro menyatakan, krisis hanya bisa diselesaikan melalui perundingan. Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengatakan hal itu, Selasa. ”Kita tetap yakin bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis adalah pemerintah dan oposisi duduk di meja perundingan,” kata Lavrov sebagaimana dikutip kantor berita RIA. ”Jika tidak (dilakukan perundingan), akan sama saja perubahan rezim yang sudah banyak terjadi dilakukan Barat.”
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, pejabat PBB tidak akan ikut dalam inisiatif internasional di Venezuela demi tetap bersikap netral.
Pemerintahan Maduro tengah meninjau hubungan diplomatik dengan negara-negara Uni Eropa yang mengakui Guaido. Dia menyebut negara-negara itu mendukung rencana kudeta.
Bantuan kemanusiaan
Senin lalu, kubu oposisi menyebut adanya sekitar 300.000 jiwa yang kini terancam malnutrisi akibat kurangnya bahan pokok dan obat. Amerika Serikat dan sejumlah negara lain sudah menjanjikan bantuan kemanusiaan untuk ”pemerintahan” Guaido, tetapi masih kesulitan mengirimkannya masuk ke Venezuela tanpa bantuan militer. PM Kanada Justin Trudeau menjanjikan bantuan 53 juta dollar AS. Seorang anggota parlemen menuduh militer ingin mengalihkan bantuan negara tetangga, lalu membagikannya kepada rakyat seolah- olah bantuan itu subsidi program makanan dari pemerintah.
Maduro menolak tawaran bantuan kemanusiaan. ”Kami bukan pengemis,” ucapnya dalam pidato di depan pasukan.
Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, pekan lalu, mengatakan, boks-boks bantuan dari AS berupa susu formula dan pasokan untuk anak-anak malnutrisi sudah siap dibawa ke Venezuela. Namun, belum jelas bagaimana pengiriman bisa masuk Venezuela dengan aman.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengingatkan bahaya pengiriman tanpa persetujuan pemerintahan Maduro. Apalagi Maduro menyangkal terjadi krisis kemanusiaan.
Guaido, dalam jumpa pers, meminta militer terketuk hati nuraninya. ”Para prajurit negeri, kami perlu bantuan kemanusiaan datang untuk ibu kalian, saudara kalian, dan semua keluarga kalian,” ucapnya.
David Lipton, Deputi Pertama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), menyebut krisis yang ditandai dengan kurangnya makanan, hiperinflasi, dan membanjirnya emigrasi merupakan ”badai ekonomi yang langka”.
(AFP/AP/REUTERS/RET)