Dunia Memuji Deklarasi Bersejarah Al-Azhar dan Vatikan
KAIRO, KOMPAS — Penandatanganan dokumen persaudaraan manusia antara Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (4/2/2019), menuai pujian di sejumlah negara.
Bagi Indonesia, momentum itu bermakna dan penting untuk mengingatkan kembali akan persatuan kita, kebinekaan, serta perlunya kerja sama antargama, antarpemeluk agama demi kemajuan dan kesejahteraan.
Ulama dan pakar tafsir Al Quran asal Indonesia, Quraish Shihab, hadir dalam penandatanganan dokumen tersebut sebagai anggota Majelis Hukama Al-Islam (Majelis Orang-orang Bijak Muslim) dan memberikan ceramah dalam forum itu.
”Deklarasi ini baru peletakan tonggak. Kita masih perlu kerja keras bersama-sama untuk mewujudkan cita-cita itu,” kata Quraish saat dihubungi via sambungan aplikasi percakapan.
”Ini baru langkah pertama untuk mengingatkan kita semua tentang prinsip ajaran agama. Kita berbeda-beda, tetapi tujuan kita semua ingin mencapai kedamaian dalam kehidupan di dunia dan di hari kemudian nanti,” katanya.
Pemerintah Lebanon dan komunitas Kristen Koptik di Mesir, Rabu (6/2/2019), menyambut positif penandatanganan dokumen persaudaraan manusia tersebut. Lebanon dan Mesir adalah dua negara Arab yang terdapat komunitas Kristen dalam jumlah besar.
Mereka memuji kunjungan Paus Fransiskus ke Abu Dhabi yang merupakan kunjungan pertama kalinya bagi pemimpin Gereja Katolik ke negara Arab Teluk. Para pemimpin Lebanon sangat berharap dokumen persaudaraan manusia yang ditandatangani Al-Azhar dan Vatikan bisa segera diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari di Lebanon dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang sudah sekian lama tercabik-cabik oleh perang saudara dan aksi terorisme.
Baca juga: Al-Azhar-Vatikan Membuat Sejarah
Lebanon menjadi salah satu negara yang sangat berkepentingan dengan dokumen persaudaraan manusia antara Al-Azhar dan Vatikan itu. Lebanon dengan penduduk sekitar 6 juta jiwa adalah negara dengan komposisi penduduk yang terbelah secara agama. Jumlah kaum Muslim di Lebanon sekitar 60 persen (Sunni, Syiah, dan Druz) dan kaum Kristen sekitar 40 persen (Maronit, Katolik, Protestan, dan Ortodoks).
Lebanon pernah dilanda perang saudara antara kaum Muslim dan Kristen dari tahun 1975 hingga 1990. Perang saudara tersebut berakhir setelah tercapai kesepakatan damai di Taif, Arab Saudi, tahun 1989.
Presiden Lebanon yang berasal dari Kristen Maronit, Michel Aoun, berharap bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke Abu Dhabi serta penandatangan dokumen persaudaraan manusia bisa berandil terhadap semakin terbukanya hubungan antara dunia Arab dan Eropa.
Pemimpin kaum Druz di Lebanon, Walid Jumblatt, mengatakan bahwa kunjungan Paus Fransiskus ke UEA serta penandatanganan dokumen persaudaraan manusia antara Al-Azhar dan Vatikan merupakan pesan perdamaian dan persaudaraan kepada dunia Arab yang tercabik-cabik oleh perang, kekerasan, penindasan, dan kezaliman.
Pemimpin partai pasukan Lebanon (LF), Samir Geagea yang berasal dari komunitas Kristen Maronit, juga mengatakan bahwa dokumen persaudaraan manusia yang dideklarasikan di Abu Dhabi itu bisa disebut konstitusi dunia yang dapat menjadi fondasi bagi persaudaraan manusia, di mana mereka bisa hidup berdampingan dengan damai, aman, dan saling menghormati.
Menurut Geagea, dokumen persaudaraan manusia bisa menjadi pijakan etika bagi para pemimpin dunia untuk segera turun tangan menghentikan konflik dan perang, serta bekerja menyebarkan nilai-nilai kebebasan, perdamaian, dan saling menghormati.
Pemimpin kaum Kristen Maronite di Lebanon, Patriarch Bechara al-Rahi, menyebut, penandatanganan dokumen persaudaraan manusia oleh Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Paus Fransiskus itu merupakan peristiwa bersejarah yang diharapkan bisa berandil membawa kebaikan di kawasan Timur Tengah yang terus dilanda perang, ketegangan, dan juga sering terjadi gesekan antara kaum Muslim dan Kristen.
Rahi juga menyebut, dokumen persaudaraan manusia itu ditujukan secara khusus kepada rakyat di Timur Tengah, baik Muslim maupun Kristen, supaya mereka menangkap dan melaksanakan pesan dari dokumen persaudaraan manusia tersebut.
Adapun pemimpin komunitas Kristen Koptik di Mesir, Youhanna Ooltah, dalam artikelnya di harian Al Ahram edisi Rabu (6/2/2019), menyebut, dokumen persaudaraan manusia yang dikeluarkan Al-Azhar dan Vatikan di Abu Dhabi adalah sangat historis karena dideklarasikan di wilayah Timur Tengah, tempat lahirnya tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.
Menurut Ooltah, pertemuan Barat dan Timur untuk membahas ekonomi, politik, dan keamanan sudah sering terjadi. Namun, pertemuan Barat dan Timur untuk membahas peran agama dan etika sangat jarang terjadi. ”Pertemuan Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed al-Tayeb merupakan pertemuan Barat-Timur dalam isu agama dan etika yang diharapkan bisa berandil membawa kebaikan bagi manusia,” tulis Ooltah.
Mesir juga sangat berkepentingan dengan dokumen persaudaraan manusia. Di negara itu terdapat minoritas kamunitas Kristen Koptik dalam jumlah besar. Diperkirakan 10-15 persen jumlah kaum Kristen Koptik dari 96 juta jiwa penduduk Mesir. Kaum Kristen Koptik di Mesir merupakan terbesar dalam jumlah di kawasan Timur Tengah.
Pesan dari Indonesia
Dalam forum penandatangan dokumen persaudaraan manusia tersebut, ulama dan pakar tafsir Al Quran asal Indonesia, Quraish Shihab, menyampaikan ceramah tentang ”Persaudaraan Manusia: Tantangan dan Kesempatan”. Sesuai materi ceramah yang dikirimkan ke Kompas, dia menjelaskan ajaran agama yang menekankan persaudaraan antarmanusia.
Quraish menyitir pesan Imam Ali bin Abi Thalib saat menjabat sebagai khalifah pada abad ke-7 Masehi (656-661 M) lewat sepucuk surat yang dia kirimkan kepada Gubernur Mesir Al-Asytar an-Nakha’i. ”Manusia ada dua: saudaramu dalam agama atau mitramu dalam kemanusiaan,” kata Ali, yang dikutip Quraish dalam ceramahnya.
Baca juga: Wawancara dengan Quraish Shihab: ”Agama Rentan untuk Dijadikan Dalih Politik”
”Substansi dari deklarasi itu harus disebarkan dan diingatkan pada semua pihak. Karena itulah substansi agama,” ujar Quraish dalam wawancara dengan Kompas.
”Kita di Indonesia, alhamdulillah, dibandingkan negara-negara lain, Timur Tengah khususnya, kita jauh lebih baik. Tetapi, itu bukan berarti bahwa kita telah mencapai kesempurnaan dalam melaksanakan tuntunan agama untuk hidup berdampingan dengan agama-agama lain,” katanya.
”Saya ketika dalam rapat terbatas dengan Paus, saya sampaikan bahwa kesepakatan pertemuan antara Paus dan Grand Sheikh itu mengingatkan saya pada hubungan yang demikian harmonis pada masa Nabi antara umat Kristiani dan umat Islam. Kaum Muslimin di Mekkah yang tertindas mendapat perlindungan dari Nagashi di Etiopia yang saat itu beragama Kristen. Delegasi Kristen yang datang ke Madinah disambut hangat oleh Nabi. Masih banyak contoh lain,” ujar Quraish.
Tidak harus dari nol
Pujian dan sambutan positif terhadap penandatangan dokumen persaudaraan manusia oleh Al-Azhar dan Vatikan juga disampaikan sejumlah tokoh agama dan ormas keagamaan di Indonesia, seperti Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj, rohaniwan Katolik Franz Magnis-Suseno, dan mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (2000-2005) Natan Setiabudi.
Haedar mengatakan, penandatanganan deklarasi yang mewakili umat Islam dan Katolik tersebut menegaskan kemauan dan keyakinan bahwa seluruh umat beragama dapat hidup damai dan bekerja sama demi tegaknya peradaban dunia.
”Indonesia sebenarnya memiliki akar kuat dan pengalaman cukup kaya dalam budaya toleransi. Kini, kita hanya perlu memperluas dan mengembangkan zona toleransi ke berbagai ruang publik. Sekaligus juga mengembangkan model-model resolusi konflik yang lebih bervariasi,” ujar Haedar.
”Rusaknya toleransi di negeri ini karena tumbuhnya paham ’keras’ dan faktor politik yang sama mengerasnya. Tetapi kekuatan moderat jauh lebih besar, tinggal memobilisasinya secara lebih meluas agar kekuatan tengahan (moderat) menjadi lebih dominan di ruang publik,” katanya.
Baca juga: Kekuatan Moderat di Indonesia Jauh Lebih Besar
Romo Magnis menilai pertemuan kedua tokoh agama tersebut sebagai suatu langkah penting. Ia nilai hal itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kedua pihak dalam menjaga perdamaian dan memerangi radikalisme di dunia.
”Saya mengharapkan hal itu bisa memberikan pengaruh positif terhadap hubungan antara gereja Katolik dengan umat Islam sedunia,” kata Romo Magnis.
”Di Indonesia, kita tidak perlu memulai semuanya dari titik nol. Misalnya hubungan antara organisasi Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, umat Kristen Katolik, dan Kristen Protestan sekarang jauh lebih baik. Kami bicara satu sama lain. Kami mengemban tanggung jawab bersama untuk saling terbuka, toleran, dan damai,” ujar Romo Magnis.
”Kita hendaknya membaca teks itu dan berusaha membuat apa yang ada dalam teks tersebut menjadi nyata di Indonesia,” katanya.
Baca juga: Pertemuan Al-Azhar dan Vatikan Sebarkan Budaya Toleransi
Said Aqil Siroj menilai pertemuan itu merupakan momen yang sangat bersejarah. Kedua belah pihak yang mewakili dua agama besar tersebut memberi teladan bagi umatnya untuk kembali kepada bibit kebersamaan.
”Agama diturunkan untuk menata kehidupan manusia agar lebih harmonis. Melalui para nabi, Tuhan mengetuk hati nurani manusia untuk bersama-sama mewujudkan kedamaian demi hidup yang lebih sejahtera,” kata Said.
”Semangat keberagaman harus dibangun dari institusi terkecil, contohnya masjid di perkampungan. Bagi NU (Nahdlatul Ulama), hal ini sudah diupayakan sejak sebelum Indonesia terbentuk. Para kiai NU yang hidup di kampung sejak dulu telah berusaha menanamkan semangat kebersamaan itu. Mereka mendorong warga mengutamakan terwujudnya kerukunan dan semangat tolong-menolong tanpa memandang bulu,” ujar Said.
Baca juga: Pertemuan Al-Azhar dan Vatikan Perkuat Kebersamaan
Pendeta Natan Setiabudi mengatakan, pertemuan Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed al-Tayeb menunjukkan bahwa seluruh dunia menjadi tanggung jawab bersama. Seluruh umat manusia, agama ataupun kepercayaan, terutama dua kelompok agama Kristen dan Islam berupaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
”Penandatanganan dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa kedamaian dan toleransi sangat dibutuhkan di tengah tumbuh suburnya radikalisme dan terorisme,” ujar Natan.
”Dokumen tersebut menjadi peringatan sekaligus tantangan. Peringatan bahwa dunia butuh perdamaian dan toleransi sehingga hidup berdampingan tanpa sekat dan tantangan untuk mewujudkan serta menjaganya,” katanya.
Baca juga: Dunia Membutuhkan Perdamaian dan Toleransi
”Membumikannya di Indonesia bukan hal yang baru. Salah satu wujud Pancasila, yaitu persatuan dan kesatuan terwujud dalam penandatanganan dokumen tersebut. Namun, persatuan dan kesatuan harus diwujudkan sesama kita. Keimanan diuji untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan tanpa ada sekat-sekat,” kata Natan. (E02/E17/E06/E21/IAM)