BEIJING, SENIN— China memprotes Amerika Serikat, Senin (11/2/2019). Penyebabnya, dua kapal perang AS berlayar di dekat perairan yang diklaim China di Laut China Selatan.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan, kapal-kapal perusak itu masuk ke perairan China tanpa izin. China sangat menentang dan tidak puas dengan perilaku AS itu. Kapal perang China segera mendekati dan memperingatkan kapal-kapal AS untuk pergi. Beijing menuding Washington bersikap provokatif dan membahayakan kedaulatan China.
Kapal-kapal yang dilengkapi rudal itu, USS Spruance dan USS Preble, berlayar sekitar 22 kilometer dari Kepulauan Spratly yang diklaim China, Minggu (10/2) malam. Washington beralasan manuver tersebut adalah bagian dari prinsip kebebasan berlayar.
Juru bicara armada ketujuh AS, Letnan Kolonel Clay Doss, menyatakan, operasi bertujuan menantang klaim perairan laut secara berlebihan. Operasi juga bermaksud menjaga alur pelayaran sesuai aturan hukum internasional.
”Semua operasi dirancang sesuai hukum internasional dan menunjukkan AS akan terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan. Hal itu seharusnya berlaku di Laut China Selatan, seperti juga di bagian lain di bumi,” ujar Doss.
Bukan kali ini saja AS mengerahkan kapal ke area Laut China Selatan yang diklaim Beijing. Pada Januari 2019, kapal perusak USS McCampbell berlayar sekitar 22 km dari Kepulauan Paracel. Seperti Spratly, Paracel pun diklaim China.
Pada September 2018, USS Decatur berlayar sekitar 22 km dari karang Gaven dan Johnson di Kepulauan Spratly. Kala itu, USS Decatur hampir bertabrakan dengan kapal perusak China, Luyang. China mengerahkan Luyang untuk mengusir Decatur dari Spratly.
Kapal selam
Sementara itu, dari Sydney dilaporkan, Australia menandatangani kontrak pembelian kapal selam dari Perancis. Galangan Perancis, Naval Group, akan membuat 12 kapal selam senilai total 35,3 miliar dollar AS bagi Australia. Penandatanganan kontrak pada Senin (11/2) itu mengakhiri perundingan selama dua tahun terakhir. Perusahaan Jepang, Kawasaki Heavy Industries, dan perusahaan Jerman, ThyssenKrupp AG, pernah mengajukan penawaran untuk proyek itu. Canberra akhirnya memilih Naval Group.
Pengadaan kapal selam diwarnai dugaan penggelembungan harga dan penundaan produksi. Meskipun demikian, proses itu akhirnya rampung. ”Hal ini berarti kami memastikan bahwa kami terdepan pada hal kekuatan angkatan laut dan daya serang,” ujar Perdana Menteri Australia Scott Morrison.
Ia menyebutnya sebagai investasi pertahanan terbesar Australia di masa damai. Proyek itu juga menjadi penjualan terbesar Naval Group kepada negara asing. Pengadaan selusin kapal selam adalah bagian dari rencana Canberra melindungi kepentingan strategis dan perdagangannya di Asia Pasifik. Kapal selam pertama dijadwalkan diterima pada 2030 dan kapal terakhir pada 2050. (AFP/REUTERS/RAZ)