LONDON, SELASA— Perdana Menteri Inggris Theresa May masih berjuang meyakinkan Brussels agar mengubah kesepakatan Brexit terkait backstop Irlandia Utara. Namun, untuk kesekian kalinya, Uni Eropa menegaskan tidak akan mengubah kesepakatan yang ditandatangani pada November lalu itu.
Backstop adalah semacam komitmen Inggris dan Uni Eropa (UE) bahwa tidak akan ada penjagaan militer di perbatasan Irlandia Utara, terlepas apakah pada akhirnya Brexit akan mencapai kesepakatan atau tidak (Kompas, Selasa, 6 November 2018).
Dinamika politik Inggris bergeser sedikit setelah faksi yang terpecah dalam tubuh Partai Konservatif pada akhir Januari lalu menyatakan akan mendukung kesepakatan yang ditandatangani May apabila UE mau mengubah pernyataan tentang backstop di perbatasan Irlandia Utara. Parlemen Inggris menginginkan pelaksanaan backstop berlangsung dalam batas waktu tertentu.
Backstop di perbatasan baru diterapkan jika UE dan Inggris belum menemukan formula untuk mengatur masa depan perdagangan kedua pihak.
”Apa yang dibutuhkan saat ini adalah kita semua tetap tenang agar perubahan yang diminta parlemen kepada UE bisa dikabulkan pada waktunya. Pembicaraan saat ini berada di tahap yang krusial,” kata May kepada parlemen.
”Dengan mengubah backstop, dengan melindungi dan memperkuat hak para pekerja dan lingkungan, juga memperkuat peran parlemen dalam tahap negosiasi lanjutan, saya yakin kita dapat mencapai kesepakatan yang akan didukung parlemen,” tutur May.
Urusan Inggris
Juru runding Brexit dari UE, Michel Barnier, dan PM Luksemburg Xavier Bettel dalam jumpa pers sebelumnya menyebutkan, kesepakatan Brexit yang ditandatangani UE dan Inggris adalah ”jalan terbaik” yang bisa menjamin Inggris keluar dari UE dengan teratur.
Barnier memahami bahwa May tidak ingin memperpanjang proses Brexit yang akan berakhir pada 29 Maret 2019. ”Waktu yang tersisa sangat pendek. Langkah selanjutnya terserah London. Kami tidak pernah mendorong agar terjadi Brexit dan tak pernah menuntut Brexit. Tanggung jawab berawal di London dan tetap di London,” tutur Bettel.
Para peneliti dari Institut IWH, di Halle, Jerman, memperkirakan akan ada sekitar 600.000 pekerjaan yang terdampak jika Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan. Jerman diprediksi akan merasakan dampak Brexit yang paling keras. Ada sekitar 103.000 pekerjaan terdampak di Jerman dan sekitar 50.000 di Perancis.
Namun, optimisme muncul dari bidang pertahanan Inggris. Menurut The Guardian, Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson meyakini, Brexit akan mendorong kemampuan militer Inggris ke tingkat global. Inggris akan mampu meningkatkan kemampuan serangan yang ”mematikan” guna menghadapi ancaman yang datang dari Rusia dan China.