Oktober 2017, radio CBS yang berpusat di New York menyiarkan bincang-bincang yang dipandu mantan Pelaksana Tugas Direktur CIA Michael Morell. Bintang tamunya adalah warga Venezuela yang dikenal Morell sejak lama dan tinggal di Amerika Serikat puluhan tahun, Pedro Burelli.
Pria yang jadi konsultan di Washington itu adalah lulusan John F Kennedy School of Government di Universitas Harvard, AS. Ia pernah bekerja di bank investasi AS, JP Morgan, dan perusahaan minyak Venezuela, Petróleos de Venezuela, S.A atau lebih dikenal sebagai PDVSA. Di PDVSA, ia pernah memegang sejumlah jabatan tinggi.
Dalam bincang-bincang itu, Morell dan Burelli mengupas berbagai hal soal krisis ekonomi dan politik Venezuela. Kala bincang-bincang itu disiarkan, sudah tiga tahun Leopoldo Lopez dipenjara di Caracas. Lopez adalah yunior Burelli di John F Kennedy School of Government dan PDVSA.
Majalah Foreign Affairs pada 2015 menulis Burreli sudah bekerja di AS kala berkenalan dengan Lopez yang masih kuliah. Mereka disebut terus berhubungan sejak perkenalan itu.
Elite teratas
Dalam laporan Foreign Affairs itu, Lopez mengakui dirinya bagian dari elite teratas Venezuela. Ia termasuk keturunan Simon Bolivar, pembebas Amerika Latin, dan Cristobal Mendoza, presiden pertama Venezuela. Ibunya, Antonieta Mendoza de López, adalah mantan pejabat di PDVSA dan anak usaha BUMN Venezuela itu selama belasan tahun.
Selama sekolah di AS, ia berteman dengan anak para pimpinan perusahaan terbesar di Bumi, pangeran-pangeran, hingga keluarga para Presiden AS. Teman akrabnya antara lain Leonardo Alvicar, pejabat Partai Republik AS untuk urusan komunikasi, dan Rob Gluck, konsultan politik di AS. Belakangan, Alvicar dan Gluck menjadi corong utama pembebasan Lopez kala Lopez dipenjara lalu dikenai tahanan rumah mulai 2014.
Lopez, ibunya, dan Burelli hengkang dari PDVSA kala Hugo Chavez menjadi Presiden Venezuela setelah menang Pemilu 1998. Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas di Padang, Virtuous Setyaka, menyebut Chavez kerap dipersonifikasikan sebagai wakil rakyat kebanyakan. Sementara Lopez dan para politisi Venezuela digambarkan sebagai elite. ”Chavez dan Lopez sebenarnya sama-sama sosialis. Bedanya, Chavez lebih radikal dan Lopez cenderung moderat,” ujarnya.
Lopez, yang menjadi atlet semasa sekolah dan kuliah, tidak hanya menjadi ekonom kampus dan bekerja PDVSA. Ia terjun ke politik selepas dari PDVSA dengan mendirikan dan terlibat di sejumlah partai oposisi bagi Chavez.
Lopez punya banyak pendukung dan kader, salah satunya Juan Guaido (35). Seperti Lopez, Guaido juga pernah kuliah di AS, yakni di George Washington University.
Cantrik
Soal dukungan inilah yang menyamakan Guaido dengan Nicolas Maduro, pendukung Chavez sejak puluhan tahun lalu. Mereka sama-sama jadi cantrik atau pengikut bagi politisi terdahulu. Maduro dan Guaido sama-sama menyokong dan mengampanyekan pembebasan selama mentor masing-masing dipenjara.
Sebagai cantrik setia Chavez, Maduro ditunjuk menjadi presiden kala Chavez meninggal. Selain jabatan, Maduro juga mewarisi pertarungan politik Chavez, termasuk dengan Lopez dan pengikutnya.
Aktivitas politik Lopez memang berlanjut meski ia ditahan bertahun-tahun. Dari tahanan rumah, Lopez melobi para oposan Maduro di parlemen dan menjadikan Guaido sebagai Ketua Majelis Nasional Venezuela. Dengan jabatan itu, Guaido terus menentang Maduro. Puncaknya adalah 23 Januari 2019, kala ia mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Venezuela dengan alasan kekosongan kekuasaan. Sebab, parlemen tidak mengakui pelantikan Maduro sebagai presiden oleh Mahkamah Konstitusi pada 10 Januari 2019. Parlemen—106 dari 167 kursinya diduduki oposisi—beralasan, pelantikan presiden harus di parlemen.
Oposisi yang menguasai parlemen tidak hanya menafikan pelantikan Maduro. Oposisi juga menolak mengakui pemilihan presiden pada Mei 2018. Mereka menyebut pemilu, yang diikuti empat calon—termasuk Maduro sebagai petahana dan pemenang—itu curang. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda kapan pertarungan yang diwarisi para cantrik itu berakhir.(AFP/REUTERS/RAZ)