Trump dan Kim Gagal Meredupkan "Nyanyian" Cohen
Presiden Amerika Serikat Donald Trump agaknya terlalu naif. Dia kira akan bisa mendikte Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Ini terbukti, pertemuan dua hari di Hanoi, Vietnam, yang berakhir Kamis (28/2/2019) tidak menghasilkan apa pun. Korut tidak mau melakukan denuklirisasi total.
Pada hari Kamis, Kim hanya menawarkan denuklirisasi atas salah satu fasilitas pengembangan senjata nuklir, tetapi dengan imbalan AS mencabut penuh sanksi ekonomi.
Dari kejadian ini, bisa dikatakan Trump naif atau pura-pura naif.
Dari kejadian ini, bisa dikatakan Trump naif atau pura-pura naif. Trump yang biasanya garang dan galak menyerang orang yang tidak dia sukai kini lembut. Padahal, media Barat, seperti CNN, setiap menyebut nama Kim hampir selalu mengawali dengan sebutan pemimpin diktator Korut, Kim.
Trump berbeda dari sebelumnya yang begitu garang tentang Korut. ”Kami memutuskan untuk mengakhiri saja pertemuan, bukan berarti mundur sebab Kim orang yang bersahabat. Kita mengakhiri pertemuan dengan semangat akan ada langkah lanjutan,” kata Trump berkelit.
Kim tidak akan pernah bisa didikte. Denuklirisasi Korut diduga kuat tak akan pernah terjadi hanya karena desakan Trump.
Mengapa demikian? Trump masih bermimpi seakan AS masih seperti era dulu, sangat kuat. Ini yang pernah dikritik Gary Cohn, mantan penasihat ekonomi Gedung Putih, bahwa Trump harus mengubah persepsi usang. Trump memiliki nostalgia usang, seperti saat Norman Rockwell (pelukis dan penulis legendaris AS) memandang Amerika.
Kini ada China dengan kekuatan ekonomi dan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi Korut. Sanksi ekonomi AS tidak lagi seefektif seperti dulu. Ada sumber investasi lain dan mitra dagang lain di dunia yang besar di luar AS, China.
Tidak berwibawa
Di dalam negeri, Trump tidak berwibawa. Kesaksian mantan pengacaranya, Michael Cohen, di hadapan Kongres AS telah menelanjangi Trump sedemikian rupa. Ini terjadi saat berlangsung pertemuan puncak dengan Trump. Di hadapan Kongres AS, Cohen menyebut Trump sebagai tidak bisa diandalkan, rasis, dan penuh tipu-tipu.
Bagaimana Kim yang cerdik bersedia meneken denuklirirasi dengan pemimpin yang di dalam negeri tidak didukung penuh rakyatnya?
Trump datang sendirian dengan ”meninggalkan” sekutu tradisional di Eropa dan Asia. Kekuatan AS ada karena aliansi tradisionalnya.
Atas dasar ini jugalah John Mattis menyatakan pengunduran dirinya sebagai Menteri Pertahanan AS. Untuk itu, Mattis berpesan dengan tujuan agar para pendukung Trump paham, AS telah lari dari aliansi lama, yang justru dibutuhkan saat Rusia dan China tampil sebagai kekuatan yang makin mengancam posisi aliansi lama.
”Kita tidak bisa melindungi atau melayani kepentingan kita secara efektif tanpa mempertahankan aliansi kuat dan memberi respek terhadap sekutu,” demikian isi surat pengunduran diri Mattis.
Faktor China
Berbicara soal pertemuan Trump dan Kim, tidak mungkin tidak bicara tentang peranan China. Hal ini jelas dinyatakan oleh Menlu Korut pada 14 Februari 2019. ”Korut, China, dan AS adalah pemeran penting,” kata Wakil Menlu Korut Cho Hyun. ”Tiga negara ini harus memperkuat kerja sama trilateral dan memainkan peran terpisah, tetapi terkoordinasi baik,” lanjut Cho.
Korut tidak bisa lepas dari China, halaman belakang China. Korut tergantung pada China dan sama-sama berideologi komunis. China tentu tak mau denuklirisasi Korut yang begitu mudah tanpa kalkulasi dan Semenanjung Korea rujuk.
Pertimbangan bagi China, jika Korut-Korsel rujuk, AS akan merangsek hingga memajang senjata lebih mendekat ke daratan China lewat wilayah Korut jika Korea bersatu. ”Secara moral tak diterima dan salah bagi China jika menerima hal itu,” kata Yun Sun, direktur program China di Stimson Center, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington, Rabu (27/2/2019).
Sejak pertemuan puncak pertama Trump dan Kim sudah ada analis yang mengatakan, denuklirirasi Korut merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Paling tidak hasil maksimal tidak akan bisa dicapai segera seperti disampaikan Dr Sue Mi Terry, pakar tentang Korea dari Center for Strategic and International Studies, yang juga bermarkas di Washington.
Mengapa mendekati diktator?
Dengan segala premis itu, mengapa Trump mau mendekati diktator yang susah didikte? ”Saya pun bingung dan tidak bisa memahami, mengapa hal itu dilakukan Trump,” kata mantan Wapres AS Joe Biden. Pertemuan puncak Trump-Kim hanya menaikkan pamor Kim. Dia (Kim) telah mengeksploitasi kesenjangan yang terjadi antara AS dan sekutu tradisional.
Trump telah merendahkan martabat AS dengan melakukan itu. Presiden Trump menyerahkan kepemimpinan global kepada para tiran, demikian pernah dikatakan Biden.
Profesor ahli sejarah dari Princeton University, Julian Zelizer, mengatakan, ”Hal yang dikhawatirkan adalah pertemuan puncak itu merupakan taktik pengalihan isu.” Tujuannya, agar tenggelam semua berita tentang tugas special counsel dengan tebaran berita dunia berisikan pertemuan puncak.
Televisi CNN menangkap upaya pengalihan isu. Sejarah seperti terulang kembali. Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) dikatakan mengalihkan perhatian atas skandal Watergate terkait manipulasi pemilu presiden. Untuk itu, Nixon menjalankan kebijakan luar negeri dengan China, mendatangkan Deng Xiaoping hingga Uni Soviet. Hanya, CNN mengingatkan, diplomasi luar negeri AS ketika itu, meski dipandang sebagai terobosan besar, tidak berhasil mencegah Nixon dari kejatuhan politik akibat skandalnya.
Saat skandal Nixon mencuat, Kongres AS, hakim John Sirica, jaksa penuntut khusus Leo Jaworski, serta wartawan dari The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, tidak berhenti mendalami skandal politik Nixon. Ini termasuk soal korupsi dan strategi Nixon dengan mengintai strategi musuh politik dari Demokrat. Nixon pun mundur sebagai Presiden AS.
Trump sedang menantikan nasib baik atau berujung pada pemakzulan, seperti yang menimpa Nixon.
Kini, Kongres AS, special counsel Robert Mueller, dan Cohen sedang mendalami konspirasi Trump dengan Rusia (Presiden Vladimir Putin). Pendalaman konspirasi, yang diduga telah menyebabkan Hillary Clinton kalah dari Trump pada pemilu 2016, adalah tujuan dari kolaborasi Kongres, Muller, dan Cohen.
Biden pun sudah pernah menyatakan, aksi Trump menyerang FBI, Departemen Kehakiman AS, adalah hal yang diinginkan oleh Presiden Putin. ”Biden: Trump Sedang Melakukan Apa Pun yang Diinginkan Trump”, demikian artikel di CNN.
Akhirnya benar juga, pertemuan puncak gagal. Trump sedang menantikan nasib baik atau berujung pada pemakzulan, seperti yang menimpa Nixon. Pertemuan puncak tak menenggelamkan penyelidikan Kongres AS. Telah terdengar meluas segala ”nyanyian buruk” Cohen soal Trump sehubungan dengan perannya sebagai pengacara Trump selama 10 tahun. Cohen telah mengutarakan banyak hal soal Trump, termasuk proyek besar di Rusia dan nuansa koneksinya dengan Putin. (AP/AFP/REUTERS)