Mata Uang Yuan Jadi Isu Utama Negosiasi Dagang AS-China
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Para pejabat Amerika Serikat menyatakan, setiap kesepakatan perdagangan dengan China akan mencakup ketentuan mencegah manipulasi nilai tukar guna membantu eksportir. Washington menjadikan mata uang yuan sebagai isu utama dalam perundingan dagang dengan China meski persoalan mata uang yuan mencerminkan realitas yang kompleks.
Presiden AS Donald Trump telah menuduh China dengan sengaja menurunkan nilai mata uangnya untuk tujuan kompetitif. Pekan lalu, ia mengatakan, ”kami memiliki kesepakatan” dengan China mengenai mata uang tersebut.
Penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, pada Kamis (28/2/2019) mengungkapkan adanya sebuah rancangan dokumen yang akan melarang manipulasi mata uang dan mewajibkan pihak berwenang di Beijing ”untuk melaporkan setiap intervensi di pasar”.
Namun, sebuah paradoks muncul di tengah-tengah upaya itu. China tampaknya tidak selalu menginginkan mata uang yang lemah. Tekanan terhadap yuan sebagian besar justru disebabkan kondisi ekonomi AS, seperti kenaikan suku bunga.
Yuan atau renminbi (RMB) tidak dapat dikonversi secara bebas dan pemerintah membatasi pergerakannya terhadap dollar AS hingga kisaran 2 persen di kedua sisi tingkat paritas pusat yang ditetapkan Bank Rakyat China (PBoC) setiap hari untuk mencerminkan tren pasar.
Sistem float yang dikelola itu membatasi volatilitas: nilai tukar mata uang tetap ”terkurung” dalam lima tahun terakhir antara 6,2 yuan hingga 6,8 yuan terhadap dollar AS dibandingkan dengan 8,28 yuan per dollar AS pada saat masa-masa penetapan suku bunga tetap tahun 2000-an. Mata uang RMB menguat 6,3 persen tahun 2017, lalu mengalami depresiasi sebesar 5,7 persen tahun lalu, jatuh ke level terendah dalam satu dekade. Kondisi itu cukup untuk memacu spekulasi bahwa Beijing mengatur semua itu.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, RMB tidak berada di bawah nilai wajarnya. Dalam laporan IMF pada Juli lalu, disebutkan bahwa mata uang RMB relatif stabil dengan mata-mata uang lain, sejalan dengan fundamental China itu sendiri. Bahkan, Departemen Keuangan AS secara teratur mengakui dalam laporan setengah tahunan, yang paling baru pada bulan Oktober, bahwa Beijing tidak memanipulasi mata uangnya.
Departemen Keuangan AS secara teratur mengakui dalam laporan setengah tahunan, yang paling baru pada bulan Oktober, bahwa Beijing tidak memanipulasi mata uangnya.
Pengalaman 2015
Beijing, bagaimanapun, mengguncang pasar pada Agustus 2015 dengan devaluasi satu kali lewat cara melemahkan yuan sekitar 5 persen dalam sepekan. Keputusan itu menyebabkan pelarian modal besar-besaran dari China, yang memperburuk penurunan mata uangnya.
Arus keluar modal dari China saat itu mencapai hampir 650 miliar dollar AS, khususnya pada 2016. Otoritas PBoC pun secara aktif melakukan intervensi di pasar mata uang pada 2015-2016 untuk menangkal depresiasi ini, menggunakan cadangan devisa besarnya untuk membeli yuan. Pelarian modal melambat setelah RMB stabil.
Analis mengatakan, pelemahan RMB yang lebih baru bukan karena manipulasi. Akan tetapi, hal itu merupakan hasil dari perlambatan ekonomi China, perang perdagangan, dan kenaikan suku bunga AS yang mendorong nilai dollar AS terhadap semua mata uang karena investor mencari hasil yang lebih tinggi. Namun, di tengah optimisme baru pada kemajuan negosiasi perdagangan dengan Washington, yuan telah pulih hampir 3 persen sejak awal Januari.
China tentu saja dapat menggunakan cadangan luar negeri kolosalnya yang nilainya mencapai 3,1 triliun dollar AS pada akhir Januari untuk campur tangan jika ia memilih untuk menopang RMB. Setelah pengalaman pada 2015 dan 2016, jika ingin menghentikan penurunan yuan, PBoC secara drastis memperketat kontrol modal untuk menjaga agar dananya tidak mengalir keluar dari negara. (AFP)