Mencegah Perang Kelima India-Pakistan
Perang besar, seperti Perang Dunia I atau invasi AS ke Irak dan Afghanistan, meletus karena salah perhitungan. Diperkirakan selesai beberapa pekan, perang-perang itu berkobar bertahun-tahun dan menyedot sumber daya amat besar.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menyadari ancaman itu setelah insiden bom bunuh diri pada 14 Februari 2019 mengoyak wilayah Kashmir yang dikontrol India. New Delhi menuding Islamabad berada di balik serangan yang menewaskan 40 polisi paramiliter India itu.
Panglima tentara India di Kashmir, Letnan Jenderal KJS Dillon, secara terbuka menyatakan, badan intelijen Pakistan, ISI, dan tentara Pakistan mendalangi serangan yang diklaim Jaish-e-Mohammad (JeM) tersebut. Ia menyebut, JeM binaan ISI dan militer Pakistan. India bertekad membalas secara mengejutkan.
”Saya bertanya kepada India, dengan senjata yang Anda dan kami miliki, bisakah kita menanggung dampak akibat salah perhitungan itu? Jika keadaan memanas, tidak ada yang bisa— saya atau (Perdana Menteri India) Narendra Modi—kendalikan,” ujar Khan soal pernyataan balasan dari India itu.
Senjata yang dimaksud Khan bukan 3.500 tank dan 800 pesawat tempur India atau 2.400 tank dan 400 pesawat tempur Pakistan. Bukan pula 10 jenis rudal yang dikembangkan Islamabad atau 9 jenis rudal milik New Delhi. Mantan kapten timnas kriket Pakistan itu tak juga merujuk kepada 4 juta tentara India dan 900.000 tentara Pakistan.
Khan mengacu pada 150 bom nuklir Pakistan dan 140 bom nuklir India. Satu bom nuklir diledakkan, puluhan juta orang akan tewas. Jumlah korban tewas akibat ledakan nuklir bisa lebih tinggi di kota-kata padat penduduk di kedua negara itu.
Perekonomian Pakistan dan India pun, seperti dinyatakan Khan, tak akan sanggup menanggung dampak perang yang amat menguras sumber daya. Saat ini saja, pemimpin kedua negara telah dipusingkan dengan persoalan ekonomi. Modi, yang bersiap menghadapi pemilu pada Mei 2019, dihadapkan pada masalah tingkat pengangguran tinggi dan pertumbuhan rendah.
Adapun Khan harus berjuang mengatasi defisit neraca yang menembus 100 miliar dollar AS. Pakistan juga mempunyai tumpukan utang dan bersiap menambah utang lagi dari Dana Moneter Internasional (IMF), China, dan sekutu lainnya.
Perekonomian Pakistan dan India pun, seperti dinyatakan Khan, tak akan sanggup menanggung dampak perang yang amat menguras sumber daya.
Karena itu, Khan membuat keputusan sulit: membebaskan pilot India, Abhinandan Varthaman, yang ditangkap militer Pakistan setelah jet tempurnya ditembak jatuh di wilayah Kashmir Pakistan. Pembebasan Varthaman adalah upaya Khan menghindari perang.
Empat perang
Dalam 72 tahun terakhir, Pakistan-India terlibat empat perang besar dan baku tembak serta baku bom yang tidak terhitung jumlahnya. Hanya perang 1971 yang tidak dipicu masalah Kashmir.
Perang itu dipicu keputusan New Delhi untuk terlibat konflik internal antara Pakistan Barat (kini Pakistan) dan Pakistan Timur (kini Bangladesh). India merasa terbebani oleh arus pengungsi akibat konflik itu sehingga memutuskan bertindak.
Sementara perang 1947, 1965, dan 1999 terjadi karena Kashmir. Perang 1947 terjadi setelah India dan Pakistan dibebaskan dari Inggris. Ada satu koloni Inggris, yakni Jammu-Kashmir, belum diputuskan: merdeka atau bergabung dengan India atau Pakistan.
Koloni itu dibentuk Inggris dari sebagian Kerajaan Sikh yang ditaklukkan Inggris pada abad ke-18. Di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim dengan sebagian lain pemeluk Hindu dan Buddha itu, Inggris menunjuk bangsawan Hindu menjadi pemimpinnya. Pemimpin Jammu-Kashmir pada 1947, Hari Singh, memutuskan meminta bantuan Inggris dan India kala sejumlah milisi asal Pakistan menyerang Jammu-Kashmir.
India setuju mengirim tentara. Pakistan ikut mengerahkan serdadu dengan alasan menjaga perbatasan.
Dalam konflik itu, India dan Pakistan membawa masalah itu ke PBB. PBB memutuskan harus digelar pemungutan suara oleh warga Jammu-Kashmir untuk menentukan status koloni tersebut. Sampai sekarang, resolusi itu tidak dilakukan.
Belakangan, pasukan India-Pakistan berperang dan India membawa masalah itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB memutuskan harus digelar pemungutan suara oleh warga Jammu-Kashmir untuk menentukan koloni itu ikut India atau Pakistan. Sampai sekarang, resolusi itu tidak pernah dilakukan.
PBB tidak hanya memutuskan referendum, tetapi juga mendamaikan Pakistan-India serta membuat garis demarkasi pada 1949. Karena itu, sebagian Jammu- Kashmir dikontrol Pakistan, sebagian lagi oleh India. Wilayah Kashmir yang dikontrol India secara resmi, menurut hukum India, menjadi bagian negara itu pada 1957.
Konstitusi India membuat ketentuan khusus setelah penggabungan itu: pendatang di Kashmir dilarang membeli properti serta mendapat bantuan atau pekerjaan dengan dana pemerintah. Ketentuan itu kini sedang digugat di Mahkamah Agung India.
Meski menyepakati perdamaian pada 1949, India-Pakistan kembali berperang dan baku tembak gara-gara Kashmir pada 1965 dan 1999. Bahkan, sejumlah baku tembak terjadi setelah pemimpin kedua negara menunjukkan kehendak berdamai.
Sejumlah baku tembak terjadi justru setelah pemimpin kedua negara menunjukkan kehendak berdamai.
Pada 2008, Pemerintah Pakistan mengumumkan sikap untuk tidak menjadikan nuklir sebagai senjata utama. Tidak lama setelah itu, Lashkar-e-Taiba (LeT)—yang punya tempat pelatihan di Pakistan—membantai 166 orang di Mumbai, India. Setelah Modi melawat ke Islamabad pada 2016, ganti JeM menyerang pangkalan udara India di Pathankot.
Terkait serangan-serangan itu, India tentu saja membalasnya. Bedanya, India tidak mengerahkan pesawat atau pasukannya melintasi perbatasan. Sementara untuk insiden Februari 2019, Modi menyetujui serangan udara yang melewati perbatasan. ”India hendak menyampaikan pesan kepada warganya. Serangan itu demi membujuk pemilih,” kata politisi dan mantan Duta Besar Pakistan untuk AS Sherry Rahman.
Modi memang mendapat dukungan dari kalangan nasionalis Hindu untuk bertindak keras pada Pakistan. Ormas terbesar Hindu di India, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), memuji keputusan Modi yang menyetujui serangan udara. ”Dunia harus tahu bahasa kekuatan,” demikian pernyataan RSS.
Ancaman teror
Faktor kebutuhan elektoral itu membuat reaksi India atas pemulangan Varthaman sulit diprediksi. Meskipun demikian, sejumlah pihak tidak yakin akan terjadi perang kelima antara India dan Pakistan. ”Konflik militer akan segera reda,” kata Sreeram Chaulia, Kepala Sekolah Hubungan Internasional OP Jindal Global University di New Delhi.
Ia lebih mengkhawatirkan peningkatan serangan teroris setelah insiden 14 Februari. India dan sejumlah negara menuntut Pakistan bertindak tegas terhadap kelompok teror yang diduga terkait negara itu. Permintaan itu, antara lain, disampaikan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton setelah insiden bulan lalu.
Sebelum Bolton mengajukan itu, Departemen Luar Negeri AS sudah lebih dulu mempersoalkannya. Bahkan, Deplu AS memutuskan menunda pencairan bantuan 1 miliar dollar AS selama Pakistan belum bisa mengatasi kelompok teror. ”Kami tidak akan menyerahkan peralatan militer atau mengirimkan dana terkait keamanan ke Pakistan,” kata juru bicara Deplu AS, Heather Nauert.
Kekhawatiran juga timbul setelah Taliban memperingatkan India. Juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, meminta India tidak meneruskan serangan. ”Konflik (India-Pakistan) yang berlanjut bisa mengancam proses perdamaian Afghanistan. India seharusnya tidak meneruskan kekerasan di Pakistan karena mengancam keamanan kawasan dan harus dibayar mahal oleh India,” ujarnya.
Taliban memang diketahui punya basis di Pakistan. Kelompok bersenjata di Afghanistan itu diduga disokong Pakistan sejak lama. Pakistan tentu saja terus membantahnya. (AP/REUTERS)