Trump Bekerja untuk Kepentingan Putin?
Apakah Anda pernah bekerja untuk kepentingan Presiden Rusia Vladimir Putin? Demikian Jeannine Pirro dari televisi FoxNews bertanya pada Presiden AS Donald Trump pada 12 Januari 2019. Pirro sedang mengonfirmasi berita di dua harian besar AS, The Washington Post dan The New York Times. Media ini konstan mengungkit indikasi kolusi Trump-Putin.
Trump menjawab. “Saya kira itu pertanyaan paling menghina yang pernah diajukan kepada saya … dan artikel di dua harian itu paling menghina dari yang pernah dituliskan. Jika Anda baca artikel itu, kamu akan pahami bahwa mereka jelas tidak akan menemukan apa pun,” lanjut Trump tentang dugaan kolusinya dengan Trump. Lalu dia melecehkan dua harian tersebut.
Apalagi jika benar seperti dikhawatirkan, Trump menjadi aset Putin dengan berbagai indikasi.
Kolusi Trump-Putin, jika ada, kini semakin dikhawatirkan bisa mendegradasi status AS sebagai kekuatan penyeimbang yang masih kuat dan dibutuhkan. Apalagi jika benar seperti dikhawatirkan, Trump menjadi aset Putin dengan berbagai indikasi.
China sedang bangkit, demikian juga Rusia. Demi pilar demokrasi, demikian Kanselir Jerman Angela Merkel menekankan, dan atas dasar itulah, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dibutuhkan. Kolusi Trump-Putin, jika ada, bisa berefek pada upaya Putin melemahkan AS, pilar utama NATO.
Dan atas dasar itulah media besar AS menyuarakan dugaan kolusi dengan segala efeknya ke depan. Pada 9 Januari 2019 lalu, The Washington Post menuliskan, “Tim hukum Gedung Putih gencar mempersiapkan pembelaan agresif terhadap Trump. Tim ini juga waspada agar orang-orang sekitar Trump tidak berbicara terbuka terhadap tim penyelidik dari House of Representatives (DPR-AS) yang dikuasai Partai Demokrat. Kewaspadaan ini ditingkatkan sehubungan dengan penyelidikan tentang dugaan kolusi Trump-Putin.
Harian The New York Times pada 11 Januari 2019 memperdalam isu tersebut. "Para aparat penegak hukum AS khawatir akan perilaku Trump sehingga mereka memulai investigasi apakah Trump bekerja untuk kepentingan Rusia untuk melawan kepentingan AS,” demikian harian tersebut.
Rangkaian berita ini terus menohok Trump. Tiada hentinya mengusut segala potensi kolusi Trump-Putin. Bahkan media besar AS ini tidak luput memantau berbagai keanehan seputar Trump saat bertemu dengan Putin. “Trump menutupi rincian pertemuan dengan Putin agar tidak diketahui pada pejabat senior di pemerintahan AS,” demikian The Washington Post, 13 Januari 2019.
Jawaban Trump, tidak ada yang ditutup-tutupi dan semuanya terbuka untuk publik. Trump mengatakan semua ini dicuatkan karena kecemburuan Demokrat atas kemenangannya pada pemilu presiden AS 2016 lalu. Trump dan kubunya pun sibuk memojokkan Demokrat, termasuk Hillary Clinton. Trump pun gencar menyerang pemilik The Washington Post, Jeffrey P Bezos yang juga pemilik Amazon.
Dipicu pemecatan Comey
Isu kolusi Trump-Putin sudah mencuat sejak masa kampanye pemilu presiden AS pada 2016. Intelijen AS menangkap kemungkinan campur tangan Rusia yang diduga mendukung Trump sekaligus menyudutkan pesaingnya, Hillary Clinton. Ini dilakukan termasuk dengan pembocoran surat-surat elektronik (email) Hillary lewat WikiLeaks. Ini tidak terlepas dari dugaan akan adanya kolaborasi Rusia dengan WikiLeaks.
Mantan pengacara Trump, Michael Cohen, mengatakan Trump tahu bocoran WikiLeaks ini dan membicarakannya bersama timnya. Cohen mengatakan itu di hadapan sebagian anggota Kongres AS, Rabu (27/2/2019), persisnya di hadapan House Oversight Committee. Testimoni Cohen ini, pengacara Trump 12 tahun yang berbalik arah, merupakan bagian dari penyelidikan atas dugaan kolusi Trump-Putin.
Penyelidikan mulai intensif setelah Trump memecat James Comey, Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) pada 9 Mei 2017. Trump memecat dengan alasan Comey tidak bekerja becus dan tidak mendalami “kejahatan” Hillary berbasiskan email yang dibocorkan WikiLeaks.
Isu Hillary tidak jadi didalami oleh Comey. Kemudian muncul kecenderungan bahwa Comey akan menyelidiki dugaan kolusi Trump-Putin. Inilah yang menyebabkan Comey dipecat. Tidak lama setelah memecat Comey, Trump mengadakan pertemuan dengan pejabat Rusia di Ruang Oval, Gedung Putih dan berbicara soal pemecatan itu. Comey sendiri berkata, “Saya dipecat karena kaitan dengan investigasi Rusia.”
Senator AS Chuck Schumer (Demokrat-New York) mengatakan, tindakan Trump adalah kesalahan besar dan merupakan upaya menutupi kecurigaan akan kolusi Trump-Putin. Hal ini mendorong Demokrat menyerukan pembentukan tim penyelidik khusus yang diketuai Robert Mueller (special counsel) tentang kolusi Rusia.
Intelijen Inggris
Dugaan kolusi ini sudah diingatkan oleh mantan anggota MI-6 (intelijen Inggris), Christopher Steele. Dia menuliskan sepanjang 35 halaman soal kaitan Trump-Putin. Ini sudah muncul sebelum pelantikan Trump sebagai Presiden AS. Harian AS, The New Yorker, turut mengejar Steele ke London untuk mendalami temuan Steele, tentang kolusi Trump-Putin. Steele khawatir akan posisi AS dalam panggung internasional, maka dari itu dia menuliskan pengetahuannya soal dugaan kolusi itu.
Peringatan ini ditanggapi serius oleh intelijen AS. Steele dianggap sebagai mantan agen inteljen yang kredibel. Pada 12 Januari 2017, CNN memberitakan bahwa dokumen penting berisikan dugaan kolusi Trump-Putin sudah disampaikan kepada Presiden Barack Obama dan juga Presiden terpilih Donald Trump. Peringatan itu disampaikan pimpinan senior intelijen AS saat itu, yakni Direktur National Intelligence James Clapper, Direktur FBI James Comey, Direktur CIA John Brennan, dan Direktur NSA Admiral Mike Rogers.
Hal yang terjadi adalah rentetan bantahan dari Trump dan kubunya. Hingga dirasakan kuat Trump berusaha menghalangi proses penyelidikan tentang kolusi itu. “Tim penyelidik khusus sedang menginvestigasi Trump atas kemungkinan tindakannya untuk menghalangi proses hukum,” demikian artikel di The Washington Post, edisi 14 Juni 2017.
Meski ada bantahan gencar dari Trump dan kubunya, media utama AS lainnya yang dijuluki Trump sebagai “fake news” tiada henti mencuatkan isu kolusi Trump-Putin. Hingga sekarang isu tersebut tidak meredup sekuat apapun Trump dan kelompoknya menyerang balik.
Hadiah untuk Putin
Bukan hanya kalangan di AS yang tertarik dengan pendalaman dugaan kolusi Trump-Putin. Sekutu Trans-Atlantik AS pun bersuara soal isu serupa. Ini terkait dengan serangan-serangan Trump terhadap NATO. Ini diduga merupakan langkah yang menggambarkan keinginan Putin, menginginkan NATO yang lemah. Trump beberapa kali menyuarakan serangan atas NATO.
Trump tidak melihat substansi dan signifikansi NATO, yang dia katakan telah “mengeringkan” AS. Jim Mattis, saat menjabat Menhan dan Penasihat Keamanan Nasional John R Bolton berjuang mempertahankan posisi AS di NATO. Jika NATO melemah, ini sekaligus memperkuat Rusia. Niat Trump tidak surut, bahkan berani menyuarakan penarikan mundur AS dari NATO.
Pengunduran AS dari NATO yang berdiri sejak 1949, “Akan menjadi langkah paling merusak bagi kepentingan AS".
Pengunduran AS dari NATO yang berdiri sejak 1949, “Akan menjadi langkah paling merusak bagi kepentingan AS,” kata Michèle A. Flournoy, mantan Wakil Menhan di Presiden Obama. “… Ini akan menjadi sukses terbesar yang mungkin diimpikan Putin.”
Laksamana James G Stavridis, mantan pimpinan tertinggi NATO, mengatakan penarikan AS dari NATO akan menjadi sebuah kesalahan geopolitik yang mencengangkan. “Bahkan mendiskusikan penarikan diri dari NATO, apalagi melakukannya, akan menjadi hadiah abad ini bagi Putin,” kata Stavridis.
AS memang belum memutuskan keluar dari NATO. Para pejabat keamanan nasional AS yakin Rusia akan fokus pada pelemahan solidaritas AS dan Eropa sejak Rusia mencaplok Crimea, wilayah Ukraina pada 2014. Dengan melemahnya NATO, Putin akan memiliki kebebasan dan membuat Rusia sebagai kampiun yang menjadi tandingan kelas berat bagi AS.
Di luar isu NATO, ada beberapa kebijakan lain yang dilakukan Trump dan mencengangkan beberapa pihak di AS serta sekutunya. AS di bawah Trump sudah keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), keluar dari perjanjian tentang iklim global. Trump mempertanyakan aliansi militer dengan Korea Selatan dan Jepang, dan kini lebih mendekati Kim Jong-un, pemimpin tertinggi Korut. Padahal di Asia Pasifik, AS juga menghadapi China yang sedang bangkit.
Trump juga memutuskan AS mundur dari Suriah tanpa sepengetahuan Menhan Jim Mattis, yang memicu Mattis mundur dari jabatannya. Ada berbagai kebijakan yang melemahkan aliansi AS oleh Trump. Namun dia sekaligus “mesra” dengan Putin. AS melemahkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang didorong AS dan sekian lama mendominasi. Trump merombak Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang justru memberi keuntungan besar bagi AS, Kanada, dan Meksiko. Di bawah Trump, AS juga bersikap sengit terhadap Kanada.
Ini memunculkan pertanyaan. “Mengapa dia (Trump) begitu bersahabat dengan Putin, mantan agen KGB yang tidak pernah menjadi sahabat bagi AS dan menginvasi sekutu kita, mengancam kita di seluruh dunia dan mencoba memengaruhi pemilu kita,” demikian Senator Richard J Durbin, Demokrat-Illinois. “Aku tidak memahami semua itu,” kata Durbin.
Merahasiakan pertemuan
Elite AS juga melihat berbagai indikasi keanehan pada Trump sehingga membuat mereka tak bisa lepas dari pikiran tentang kolusi Trump-Putin. Trump dianggap merahasiakan isi beberapa pertemuan dengan Putin, bahkan dari orang kepercayaannya. Dalam beberapa pertemuan G-7, G-8, G-20 Trump menyempatkan diri bertemu Putin tetapi terkesan kurang mengapresiasi pemimpin dari negara-negara sekutu, Angela Merkel dan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ini belum lagi bicara soal prahara Eropa lainnya, Brexit, julukan Inggris keluar dari Uni Eropa. Trump juga mendukung Perdana Menteri Inggris Theresa May, pendukung Brexit.
Dalam pertemuan dengan Putin di tengah pertemuan G-20 pada 2017, Hamburg, Jerman, Trump bahkan mengambil catatan penerjemahnya. Trump juga menyempatkan bertemu Putin di pertemuan G-20 di Buenos Aires, Argentina. Paling mencengangkan, pertemuan puncak Trump-Putin di Helsinki, Finlandia, dimana isi pertemuan keduanya tidak diketahui.
Menlu AS Mike Pompeo membela Trump. “Setiap dugaan bahwa Presiden Trump merupakan ancaman bagi keamanan nasional AS adalah tuduhan konyol,” katanya. Pimpinan minoritas DPR-AS (House of Representatives) dari Republikan Kevin McCarthy juga membela Trump. “Saya paham apa yang ingin dilakukan Presiden Trump. Dia ingin menciptakan hubungan personal, membangun kembali hubungan seperti yang dia lakukan dengan para pemipin dunia lainnya.”
Dalam jumpa pers di Helsinki, Finlandia, 16 Juli 2019, Trump maupun Putin dicecar soal tuduhan kolusi. Namun keduanya menegaskan tidak ada kolusi bahkan meminta buktinya, jika ada. “Trump membela kepentingan AS, Rusia membela kepentingannya. Mengapa kamu kira aku berkolusi dengannya, Trump? Adakah bukti soal itu,” demikian Putin. Trump juga sama, menegaskan tidak kolusi dengan Rusia saat proses pemilu AS berlangsung, juga tak ada kolusi lainnya.
Menyadarkan pendukung
Namun, Demokrat tidak terhenti menyelidiki. Tim penyelidik khusus pimpian Robert Mueller juga terus berjalan dengan misinya. Mattis, saat mundur sebagai Menhan, sengaja memberikan pernyataan berupa peringatan. Ini bukan untuk Trump semata tetapi untuk para pendukung Trump. Sebab seperti kata Cohen, kubu Trump akan terus bertahan dengan bantahan lewat berbagai cara. “Dan bantahan serupa itu saya lakukan… tetapi saya telah dirugikan dengan itu,” kata Cohen.
Penyadaran terhadap pendukung Trump merupakan langkah yang dilakukan di balik penyelidikan soal dugaan kolusi Trump-Putin. Apakah kubu Republikan akan mundur dari dukungan pada Trump? Ini gejala yang belum terlihat. Hanya saja ada perkembangan terbaru.
Beberapa anggota Senat AS dari Republikan sudah menyatakan akan menolak keinginan Trump untuk membiayai pembangunan tembok di perbatasan dengan Meksiko. Hal itu dilakukan dengan menolak keputusan penetapan darurat nasional Trump yang bertujuan agar pembangunan tembok perbatasan bisa dilakukan tanpa persetujuan Kongres AS.
Sembari itu pada 4 Maret 2019, Ketua Komite Hukum DPR-AS, Jerrold Nadler menyatakan akan menanyakan dan meminta dokumen terhadap 81 orang terkait Trump. Ini penyelidikan terpisah dari apa yang dilalukan Mueller. Fokusnya adalah pengelabuan hukum, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Trump.
Investigasi agresif dan meluas bisa membuka langkah untuk pemakzulan atas Trump, termasuk dengan memanfaatkan hasil kerja Mueller. Namun salah satu misi utama di balik penyelidikan itu adalah menyasar kolusi Trump-Putin.
Bagi aparat intelijen AS, kolusi ini jika betul ada, merupakan ancaman bagi kelanggengan AS di panggung geopolitik global. (AP/AFP/REUTERS)