Gejolak politik di Aljazair saat ini terus menjadi perhatian media, pejabat, dan pengamat internasional. Aljazair dengan penduduk 42 juta jiwa adalah negara Arab terbesar kedua di Afrika Utara setelah Mesir. Aljazair berbatasan langsung dengan enam negara, yaitu Maroko di barat, Mauritania di barat daya, Tunisia di timur, Libya di timur dan tenggara, serta Mali dan Niger di selatan. Apa pun gejolak yang terjadi di Aljazair akan berdampak atas negara-negara tetangganya tersebut dan bahkan di seluruh Afrika Utara.
Apalagi, Aljazair, persisnya Aljazair selatan yang berbatasan dengan Mali dan Niger, dikenal sebagai basis Tazim Al Qaeda sayap Maghrib Islam (AQIM). Ambruknya negara Aljazair akan menjadi lahan subur baru bagi AQIM dan bahkan Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang saat ini sedang terjepit di Irak dan Suriah.
Karena itu, banyak negara sangat berharap, gejolak politik Aljazair tetap bisa terkendali. Gejolak politik Aljazair itu dimulai sejak Presiden Abdelaziz Bouteflika pada 10 Februari lalu mengumumkan akan mencalonkan lagi untuk periode kelima pada pemilu presiden 18 April 2019.
Berbagai komponen masyarakat mulai turun ke jalan menolak pencalonan kembali Bouteflika itu dengan dalih usia Bouteflika sudah uzur mencapai 82 tahun dan kesehatannya tidak memungkinkan pula. Bouteflika mengalami stroke akut pada tahun 2013 dan juga telah divonis menderita kanker. Sampai saat ini, Bouteflika masih berbaring di rumah sakit Universitas Swiss di Swiss untuk terapi penyakitnya tersebut.
Pertanyaan publik, mengapa Bouteflika dengan kondisi yang uzur itu tetap dipaksakan menjadi presiden lagi? Siapa mereka yang di balik pemaksaan tersebut?
Dalang dan wayang
Pertanyaan publik, mengapa Bouteflika dengan kondisi yang uzur itu tetap dipaksakan menjadi presiden lagi? Siapa mereka yang di balik pemaksaan tersebut?
Bagi yang biasa mengamati perkembangan Aljazair sudah maklum, di belakang Bouteflika ada trio penguasa hakiki, yaitu militer, pengusaha, dan adik kandung Bouteflika, Said Bouteflika (61 tahun).
Sejak Bouteflika mengalami stroke berat pada tahun 2013, nama Said Bouteflika melambung sebagai orang kuat di lingkaran Presiden Aljazair itu.
Said Bouteflika dikenal sebagai pembisik, penulis naskah pidato, perancang acara presiden, dan penentu keputusan besar presiden. Media Aljazair menyebut Said Bouteflika sebagai presiden de facto Aljazair sejak tahun 2013.
Penguasa hakiki Aljazair kedua adalah militer. Adalah militer yang memanggil Bouteflika dari tempat pengasingannya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), pada tahun 1998 untuk menjabat presiden pada tahun 1999. Militer memberikan tugas utama kepada Bouteflika, yaitu mengakhiri konflik akibat perang saudara yang meletus sejak tahun 1991, setelah militer membatalkan pemilu parlemen yang dimenangi Front Penyelamat Islam (FIS).
Seperti diketahui, Bouteflika mengasingkan diri ke Abu Dhabi pada tahun 1979 setelah wafatnya Presiden Aljazair Houari Boumediene pada 27 Desember 1978. Bouteflika saat itu berambisi menjadi presiden menggantikan Boumediene. Namun, militer lebih memilih Chadli Bendjedid sebagai presiden untuk menggantikan Boumediene. Bouteflika yang dikenal sebagai orang dekat Boumediene sangat kecewa dan memilih mengasingkan diri ke Abu Dhabi.
Penguasa hakiki ketiga adalah pengusaha yang mendapat manfaat dari kekuasaan Bouteflika selama 20 tahun terakhir ini. Salah seorang pengusaha terkenal Aljazair adalah konglomerat Ali Hadadd (54 tahun) yang merupakan sahabat dekat Said Bouteflika. Ada pula konglomerat Aljazair, Karim Kouninef, yang juga sangat dekat dengan Said Bouteflika.
Trio penguasa hakiki tersebut yang berada di balik aksi memaksakan Bouteflika kembali mendaftarkan diri menjadi kandidat presiden pada Minggu (3/3/2019) lalu meskipun mendapat penolakan dari rakyat Aljazair.