Diplomasi Total untuk Siti
Sejak kasus dugaan pembunuhan Kim Jong Nam merebak dan menarik Siti Aisyah sebagai tersangka, mesin diplomasi Indonesia telah bekerja untuk berupaya membebaskannya.
JAKARTA, KOMPAS Upaya diplomasi dan hukum untuk membebaskan warga negara Indonesia, Siti Aisyah, dari hukuman mati membuahkan hasil gemilang. Setelah menjalani proses hukum selama 25 bulan, Siti Aisyah, Senin (11/3/2019), dibebaskan dan kembali ke Tanah Air. Pengadilan Malaysia membebaskan warga Banten itu setelah jaksa penuntut, Iskandar Ahmad, mencabut berkas dakwaan terhadap Siti Aisyah.
”Saya bahagia, tidak pernah menyangka. Terima kasih Bapak Presiden Jokowi sudah membantu membebaskan saya,” kata Siti Aisyah.
Segera setelah dibebaskan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur menyiapkan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) untuk Siti. SPLP dibutuhkan karena paspor Siti disita aparat Malaysia. Siti sempat menanti di KBRI Kuala Lumpur sebelum terbang ke Jakarta pada Senin sore.
Siti, bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta beberapa pejabat Pemerintah RI, terbang menggunakan pesawat pribadi dan mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma sekitar pukul 17.00. Dari bandara, Siti diantar menuju Kementerian Luar Negeri RI untuk proses penyerahan dari pemerintah kepada keluarga.
Upaya panjang
Seusai menyerahkan kembali Siti Aisyah kepada keluarganya, Senin sore, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, proses pembebasan Siti adalah hasil diplomasi dan upaya hukum pemerintah. Upaya itu dilakukan bersama oleh Kementerian Luar Negeri, Kepolisian Negara RI, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kejaksaan Agung RI.
”Setiap kali ada kesempatan ke Kuala Lumpur, saya selalu menyempatkan membahas masalah ini. Teman-teman juga sejak awal sudah memberikan pendampingan hukum. Pemerintah selalu berusaha memastikan Siti mendapat persidangan yang adil,” kata Retno.
Sejak perempuan asal Serang, Banten, itu tersangkut kasus dugaan pembunuhan Kim Jong Nam—saudara seayah Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un— pada 16 Februari 2019, mesin diplomasi Indonesia telah bekerja.
Sejak saat itu, Retno segera menghubungi Menteri Luar Negeri Malaysia saat itu, Dato’ Sri Anifah Hj Aman, untuk meminta akses kekonsuleran. Bahkan, di sela-sela pertemuan tingkat menteri ASEAN di Boracay, Filipina, Februari 2017, Retno berinisiatif menggelar pertemuan trilateral bersama Menlu Sri Anifah dan Menlu Vietnam Panh Binh Minh.
Kemlu juga mengutus tim ke Kuala Lumpur dan bersama tim dari KBRI Kuala Lumpur untuk memperoleh akses ke Siti Aisyah. Pemerintah juga menunjuk pengacara dari firma Gooi & Azura yang dikenal mumpuni dan telah beberapa kali membantu KBRI menangani kasus yang melibatkan WNI di Malaysia. Menlu Retno menilai, Siti Aisyah adalah korban dan pemerintah berupaya keras untuk membebaskannya.
Selain itu, dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Presiden Joko Widodo menyinggung soal Siti. Menkumham Yasonna Laoly juga berkomunikasi dengan mitranya di Pemerintah Malaysia membahas masalah Siti. Menurut dia, Indonesia menghormati proses hukum Malaysia. Meskipun demikian, ia tidak menampik terus berkomunikasi dengan Kejaksaan Agung Malaysia.
Akhirnya, Jaksa Agung Malaysia Tommy Thomas mengirim surat ke Yasonna pada 8 Maret 2019. Lewat surat, Tommy mengatakan, berkas Siti akan ditarik jaksa. Namun, dibutuhkan keputusan pengadilan untuk membebaskan Siti. ”Jaksa (Malaysia) menggunakan kewenangan dalam Pasal 254 KUHAP (Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana) Malaysia,” kata Yasonna.
Pasal itu memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menarik berkas dakwaan dari proses persidangan. Jika berkas ditarik, persidangan tidak dapat diteruskan. Akan tetapi, dibutuhkan keputusan hakim untuk menyatakan kasus dihentikan sehingga terdakwa dibebaskan. Dalam sidang Senin pagi, akhirnya diputuskan kasus tidak bisa diteruskan dan Siti dibebaskan.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Lalu M Iqbal yang hadir dalam sidang itu mengatakan, setelah Siti Aisyah diperkenalkan oleh pengacara Gooi Soon Seng kepada hakim, jaksa penuntut segera menanggapi dengan mengatakan, jaksa menghentikan tuntutan atas Siti Aisyah.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, Polri melalui pejabat kepolisian yang bertugas di Kedubes RI di Kuala Lumpur telah mengamati kasus itu dan berkomunikasi dengan kepolisian Malaysia. Langkah itu selalu dilakukan jika mereka menangani kasus yang melibatkan warga masing-masing negara.
Bukti
Dalam kasus Siti, jaksa menyatakan tidak bisa menghadirkan bukti untuk melanjutkan sidang. Karena itu, berkas harus ditarik dan persidangan tidak bisa dilanjutkan.
Pernyataan jaksa berkebalikan dengan persidangan pada Agustus 2018. Kala itu, hakim menyatakan saksi dan bukti layak serta cukup sehingga persidangan dilanjutkan. Siti dan tim penasihat hukumnya diminta menyiapkan pembelaan.
Tahap pembelaan dimulai pada November 2018 dan sempat tertunda karena tim pengacara menunggu akses pada barang bukti dari penyidik. Pengacara juga meminta akses ke keterangan para saksi. Penasihat hukum Aisyah, Gooi Soon Seng, menyebutkan, hal paling pokok dalam kasus itu adalah ketiadaan DNA Siti pada baju yang dinyatakan dikenakan Kim Jong Nam pada 13 Februari 2017.
Padahal, Siti dinyatakan memeluk Jong Nam dan Doan Thi Huong, warga negara Vietnam, menyemprotkan racun saraf. Jika Siti melakukan hal seperti dalam berkas dakwaan, seharusnya ada jejak DNA Siti di baju Kim Jong Nam.
Selain itu, sejak awal Siti dinyatakan tidak tahu bahwa aksinya bersama Doan adalah pembunuhan terencana. Siti dinyatakan hanya tahu aksinya adalah untuk perekaman acara humor dengan cara menyemprotkan cairan kepada seseorang di tempat umum.
Syukur
Keluarga Siti Aisyah menyambut gembira dan bersyukur atas pembebasannya. Paman Siti, Samsuri, di Desa Sindangsari, Kabupaten Serang, mendengar informasi itu dari staf Migrant Care. ”Mungkin Siti hanya korban. Terlepas dari kerumitan yang terjadi, saya bersyukur Siti lepas dari semua tuntutan,” ujar Samsuri.
Migrant Care mengapresiasi pembebasan Siti Aisyah. ”Putusan ini juga tidak lepas dari perubahan politik hukuman mati Pemerintah Malaysia yang sejak tahun lalu menyatakan akan melakukan moratorium hukuman mati,” kata Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care. (AP/RAZ/BAY/SAN/JOS/SON)