JAKARTA, KOMPAS — Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan bahwa hampir semua warga negara Indonesia yang terlibat masalah hukum di luar negeri merupakan bagian dari migran ilegal. ”Penting untuk menekan migrasi ilegal sejak di hulu. Desa harus diberdayakan untuk mencegah migrasi ilegal,” kata Anis di Jakarta, Selasa (12/3/2019).
Isu perlindungan WNI yang bermasalah dengan hukum di luar negeri, terutama yang terancam hukuman mati, mencuat seiring dengan terbebasnya Siti Aisyah dari dakwaan pembunuhan Kim Jong Nam—saudara tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un—di Malaysia. Siti bebas setelah jaksa penuntut mencabut dakwaan pada sidang, Senin (11/3/2019).
”Mereka (WNI yang terancam hukuman mati) adalah korban karena tidak tahu cara aman bepergian. Mereka dititipi tas atau bungkusan oleh orang lain tanpa tahu isinya narkotika,” ujar Anis.
Ketidakpahaman itu salah satu dampak migrasi ilegal atau migrasi tanpa bekal pengetahuan cukup. Menurut Anis, peningkatan kualitas perlindungan WNI di luar negeri sejak 2012 akan kurang berdampak selama masalah di dalam negeri tidak ditangani.
”Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Desa seharusnya bisa bekerja sama untuk membuat desa lebih siap menangani migrasi. Manfaatkan dana desa untuk itu,” ujarnya.
Penting untuk menekan migrasi ilegal sejak di hulu.
Hal senada dikemukakan Ketua Komisi Migran dan Keadilan Kevikepan Kepulauan Riau pada Keuskupan Pangkal Pinang Paschalis Saturnus Esong. ”Sindikat migran ilegal menyebar sampai ke desa. Jika serius menekan migrasi ilegal yang menimbulkan banyak masalah, selesaikan sejak dari desa,” kata Paschalis.
Penggiat antimigrasi ilegal itu mengatakan, sindikat migran ilegal menggunakan aparat hingga ke desa untuk menjaring korban. Para oknum aparat memalsukan data korban sehingga bisa membuat paspor yang dipakai untuk ke luar negeri. ”Sindikatnya melibatkan banyak pihak sehingga bisa bertahan sampai sekarang,” ujar Paschalis.
Perbaikan
Paschalis mengatakan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan hampir semua provinsi di Pulau Jawa harus diprioritaskan untuk perbaikan dari hulu. Sebab, banyak korban migrasi ilegal berasal dari sana. ”Anak-anak di bawah umur dipalsukan datanya agar bisa diberangkatkan sindikat untuk bekerja secara ilegal di luar negeri,” ujarnya.
Sebagian korban sindikat itu akhirnya terlibat masalah di luar negeri. Bahkan, sebagian malah menjadi korban kekerasan hingga kehilangan nyawa. ”Berulang kali anak NTT kehilangan nyawa di luar negeri karena tidak tahu harus melakukan apa jika menjadi korban penganiayaan atau pelanggaran hak lainnya,” katanya.
Anis mengatakan, selain memperbaiki proses di desa, pemerintah perlu pula menghapus hukuman mati. Sebab, Indonesia bisa kehilangan landasan moral untuk membebaskan WNI dari hukuman mati jika masih memberlakukan hukuman itu di dalam negeri.
Sementara untuk perlindungan di luar negeri, Anis mendorong pemerintah memastikan negara lain mematuhi kewajiban mengirim pemberitahuan kekonsuleran (MCN) setiap kali ada WNI bermasalah. ”Konvensi Vienna sudah mengatur MCN. Akan tetapi, sebagian negara, seperti Arab Saudi, tidak mematuhinya. Tahu-tahu sudah eksekusi, seperti Tuti Tursilawati,” ujarnya.
Tuti dieksekusi Pemerintah Arab Saudi, Oktober 2018, dalam kasus pembunuhan. Riyadh tidak mengirim notifikasi kekonsuleran. Hal serupa dialami Zaini Misrin saat dieksekusi di Saudi pada Maret 2018.
Indonesia juga perlu menambah tenaga kekonsuleran di negara dengan banyak WNI perantau. Tambahan tenaga itu untuk mengoptimalkan pelayanan kekonsuleran, seperti kunjungan ke penjara.