Duet Sino-Rusia Menghadang Hegemoni Liberal
”Jika kita menggunakan kekuatan militer, ini karena kita Amerika, negara spesial dan dibutuhkan. Kita berdiri di ketinggian dan mampu melihat lebih jauh dari negara mana pun soal masa depan, dan melihat bahaya bagi kita semua.” Demikian dikatakan Menlu AS (1997-2001) Madeleine K Albright di Columbus, Ohio, 19 Februari 1998 di program The Today Show stasiun televisi NBC.
Ucapan Albright ini menjadi bahasan para pakar hubungan internasional hingga bertahun-tahun kemudian. ”Tidak!” kata Eugene Gholz, profesor dari The University of Texas, Austin. Amerika bukan negara yang paling spesial dan paling tahu. Gholz menegaskan itu dalam diskusi tentang kebijakan luar negeri AS yang diselenggarakan The Center for the National Interest bekerja sama dengan Charles Koch Institute, 7 September 2016.
Membuat dunia sesuai dengan citra Amerika, itulah tujuan hegemoni liberal.
Hadir pada diskusi itu antara lain Stephen Walt (Harvard Kennedy School of Government), John Mearsheimer (University of Chicago), Richard K Betts (Columbia University), Barry Posen (Massachusetts Institute of Technology), dan lainnya. ”Setiap negara kuat berpikir serupa, mereka selalu merasa spesial,” kata Stephen Walt dalam diskusi itu.
Ucapan Albrigth, menurut Mearsheimer, menunjukkan wajah hegemoni liberal dari kebijakan politik luar negeri AS. Membuat dunia sesuai dengan citra Amerika, itulah tujuan hegemoni liberal. ”Saya yakin dia (Albright) salah,” kata Mearsheimer pada 15 Februari 2019. Dasar pemikiran hegemoni liberal, negara-negara di dunia wajib demokratis, seperti Amerika.
Penghargaan pada hak asasi manusia adalah salah satu misi utama hegemoni liberal. Dengan memaksakan kehendaknya di seluruh dunia, hegemoni liberal sudah melanggar hak asasi. Inilah salah satu premis yang salah dari hegemoni liberal.
Kanselir Jerman Angela Merkel hingga sekarang tetap mendukung pandangan Albright itu. ”Kita jangan lupa, pendirian Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bukan semata-mata sebagai aliansi militer, tetapi aliansi negara-negara pemilik nilai serupa seperti hak asasi manusia, demokrasi … ,” kata Merkel pada 16 Februari 2019 di Munich Security Conference.
NATO pun merangsek ke Eropa Timur, melebarkan sayap hingga mencoba masuk ke Rusia. ”Perubahan rezim di Rusia, itu jelas diinginkan Amerika,” kata Mearsheimer.
China juga didambakan mengikuti arahan AS. Ini gagal sebagaimana dituliskan pakar hubungan internasional dari Princeton University, Profesor Aaron Friedberg.
Merancang perlawanan
Merancang dunia agar serupa dengan AS tertakdir gagal, seperti dituliskan Mearsheimer dalam bukunya, The Great Delusion: Liberal Dreams and International Realities, terbit 25 September 2018. Misi hegemoni liberal melupakan aspek nasionalisme yang kuat di berbagai sudut dunia.
Banyak negara menganut komunis, sosialis, otokrasi hingga diktator, entah Amerika setuju atau tidak setuju. Di samping itu ada unsur agama, budaya lokal, komunal yang membentuk rasa nasionalisme. Ini luput dari perhatian hegemoni liberal.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Maka bumi non-AS tidak berlangitkan bumi AS. Itu logikanya. Bumi sosialisme tak pas bagi hegemoni liberal, yang berbasis individualisme.
Lebih bahaya hegemoni liberal dijalankan tanpa kendali. Misi hegemoni liberal adalah ”free to roam”, bisa disebut sebagai ingin leluasa di mana saja.
Merancang perlawanan
Aksi hegemoni liberal akan membuat banyak negara bersekutu untuk melawan. Rusia dan China termasuk kategori melawan lewat kerja sama. ”Dalam konteks ini, peribahasa ’musuh dari musuh saya adalah sahabat saya’ mungkin bisa menjelaskan apa yang mendorong Rusia dan China bersatu,” demikian Torrey Tausig dalam tulisannya pada 19 Oktober 2018 berjudul ”Order from Chaos: As Western ties fray, Putin and Xi are increasingly close”. Tausig adalah peneliti dari The Brookings.
Rusia merasa dikepung sejak NATO gencar merangkul negara-negara eks pecahan Uni Soviet. China diserang terus-menerus lewat isu hak asasi manusia. Negara-negara di sekitar China menjadi pangkalan militer AS. Sino-Rusia merasa bahaya dengan penyusupan nilai-nilai Barat. Seperti orkestra, pemberitaan media utama Barat mendukung hegemoni liberal itu.
Rusia dan China pun mendalami hubungan lebih baik meski memiliki sejarah peperangan dan pertikaian perbatasan. Di dalam negeri, Rusia dan China terus membangun kekuatan ekonomi, yang terbukti kini membuat warga lebih makmur.
Rusia menciduk tikon migas Rusia, Mikhail Khodorkovsky, pada 25 Oktober 2003. Khodorkovsky berkembang di era glasnost dan semakin berjaya di bawah almarhum Presiden Boris Yeltsin. Dia terus melaju hingga ingin menjadi Presiden Rusia. Swastanisasi migas Rusia membuat negara kehilangan kepemilikan atas kekayaan alam. Presiden Vladimir Putin, eks agen KGB yang nasionalis, menyadari bahaya.
”Tao guang yang hui”
Frasa ”tao guang yang hui” yang terkenal dari pemimpin China, Deng Xiaoping, menjadi salah satu moto. Artinya, sembunyikan kehebatanmu, sembari demikian tetaplah raih kemampuan. Ini antara lain interpretasi dari idiom tersebut seperti dituliskan di harian Inggris, The Financial Times, edisi 12 Desember 2013.
Pihak China risi dengan interpretasi seolah-olah idiom itu gambaran dari strategi licik. Zhao Qizheng, Dekan Fakultas Jurnalisme Renmin University, mengatakan, dengan meningkatnya kekuatan nasional, tentu China harus mengambil konsekuensi untuk mengemban tanggung jawab internasional. Hanya saja, China tetap berprinsip pada kesahajaan dan berhati-hati.
Barat tidak suka opini seperti ini. China tetap dianggap akan bereaksi ketika saatnya tiba. ”Kita harus memastikan ini tidak disalahmengertikan oleh asing. Kita tidak bisa menanggung beban internasional dengan cap sebagai berkomplot dan diam-diam mengelabui,” kata Zhao.
China yang ”merendah” memang telah tumbuh dan berkekuatan. Dalam diamnya, China terus melaju sejak reformasi ekonomi 1978. China dianggap menakutkan meski Presiden Xi Jinping selalu menekankan China tidak mengejar hegemoni dan tidak akan melakukan ekspansi ideologi.
Unjuk gigi
Memang pada akhirnya Rusia dan China terlihat unjuk gigi dengan alasan kebangkitan yang berkedaulatan. Duet ini terlibat dalam kerja sama militer lewat pendirian Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO). Kedua negara melakukan latihan militer bersama. Wilayah Timur Jauh Rusia kini menyambut investasi China.
Kedua negara tidak mendeklarasikan secara eksplisit bahwa penguatan kerja sama kedua negara adalah untuk menghadapi hegemoni liberal. Hanya saja, aksi Rusia dengan mencaplok Crimea jelas merupakan peringatan pada hegemoni liberal. Penguatan kehadiran militer China di Laut China Selatan juga merupakan indikasi lain bahwa hegemoni liberal harus menjauh dari lingkungan China.
Kerja sama duet ini tidak lagi segan untuk diucapkan di forum internasional. ”Berdasarkan arahan strategis dari pimpinan puncak, China dan Rusia bekerja sama untuk meningkatkan kemitraan strategis dan komprehensif lewat koordinasi menuju tingkat lebih tinggi,” demikian diplomat dan anggota Politbiro Partai Komunis China, Yang Jiechi, di Munich Security Conference.
China menegaskan tetap menyambut Eropa yang lebih kuat, stabil, dan makmur. China juga menekankan eksistensi Eropa yang penting dan konstruktif dalam urusan internasional. China tidak menghendaki perang dan tidak menggantikan tatanan yang ada. Akan tetapi, jelas, China menuntut peran sekaligus modifikasi tatanan internasional yang representatif bagi dunia.
Presiden Rusia menyambut komitmen Presiden China Xi Jinping untuk mendukung penguatan relasi Sino-Rusia. ”Ini dilakukan berdasarkan asas saling percaya dan kerja sama dilakukan mulai dari politik hingga pertahanan. Kita tahu Presiden Xi secara pribadi memberi perhatian besar untuk pengembangan relasi Sino-Rusia,” kata Putin.
Juru Bicara Kremlin Dimitri Peskov menegaskan, keterlibatan China dalam kerja sama dengan Rusia menandakan ekspansi interaksi dua sekutu di semua lini. Duta Besar China untuk Rusia Li Hui menegaskan, relasi Sino-Rusia berada pada momen terbaik sepanjang sejarah.
Duet pragmatis berkonsolidasi
Aliansi Rusia-China bukan aliansi sejati. Kemitraan ini bisa digambarkan berbasis pragmatisme. Alexander Gabuev, pakar tentang China dari Carnegie Rusia, mengatakan, dua raksasa ini mendekat sebagai respons pada konfrontasi AS yang meningkat.
Rusia melihat kepemimpinan AS sudah ”berakhir”, tetapi tidak yakin China bisa menggantikan AS begitu saja karena Eropa dan Jepang tidak mau ada di belakang China. Rusia lewat Menlu Sergey Lavrov menegaskan, Eropa akan kuat dengan Rusia turut di dalamnya, bukan Eropa dengan kelompok tertentu dan konfrontatif.
Rusia melihat kepemimpinan AS sudah ”berakhir”, tetapi tidak yakin China bisa menggantikan AS begitu saja karena Eropa dan Jepang tidak mau ada di belakang China.
Tawaran Rusia ini belum pernah bersambut hangat bagi Eropa. Maka, hanya dengan bersama China, Rusia merasa lebih kuat dan aman. Terbukti, sejak embargo ekonomi Barat terhadap Rusia setelah pencaplokan Crimea pada 2014, China menjadi mitra ekonomi penting bagi Rusia.
Duet pragmatis ini tampaknya terus melaju dengan rasa percaya diri. Hal ini diperkuat dengan konsolidasi kepemimpinan domestik. Putin kembali tampil sebagai Presiden Rusia. Presiden Xi Jinping juga mengubah pola lama, di mana pemimpin China hanya dua periode menjadi lebih dari itu. ”China merasa sedang dalam jalurnya menuju status great power dan ingin mempertegas arah itu,” kata David Finkelstein, Direktur Studi China di CNA, sebuah lembaga riset AS.
Shi Yinhong, profesor hubungan internasional dari Renmin University (Beijing) mengatakan, Presiden Xi tidak peduli bagaimana dunia menerjemahkan perpanjangan masa kekuasaannya. Xi memang berniat memperkuat kepemimpinan domestik. ”Langkah ini membuatnya lebih kuat dari Presiden Donald Trump,” kata Shi kepada harian The New York Times edisi 25 Februari 2018.
Trump ”hadiah” bagi Rusia
Apakah duet Rusia-China memiliki program tersendiri untuk melemahkan AS lewat intelijen? Inilah yang menjadi pertanyaan besar sekarang ini. Mantan agen Inggris MI-6 (intelijen Inggris), Christopher Steele, menuliskan sepanjang 35 halaman soal kaitan Trump-Putin. Intinya, Putin diduga telah memanfaatkan kepresidenan Trump untuk melemahkan sekutu AS di berbagai belahan dunia.
Tulisan agen Inggris ini sudah muncul sebelum pelantikan Trump sebagai Presiden AS. Steele khawatir akan posisi AS dalam panggung internasional, maka dia menuliskan pengetahuannya soal dugaan kolusi itu. Isu ini menjadi pengkajian oleh special counsel Robert Mueller.
Belum jelas apa kesimpulan dari investigasi Mueller. Akan tetapi, sudah banyak tokoh di AS yang menyebutkan kebijakan Trump adalah ”hadiah” bagi Rusia. Albright menegaskan, Putin pasti punya rencana merestorasi negaranya antara lain beraliansi dengan China. ”Apa yang dilakukan Presiden Trump, termasuk memisahkan kita dari sekutu, adalah hadiah bagi Putin,” kata Albright pada stasiun televisi CNN edisi 31 Januari 2019.
Dan, akhir kata, hegemoni liberal, seperti kata Mearsheimer, memiliki takdir untuk gagal. Sistem geopolitik global yang bisa bertahan lama adalah eksistensi beberapa negara kuat bukan hanya kekuatan AS dengan kebijakan hegemoni liberal.
Ketua Munich Security Conference Ke-55 pada awal 2019, Wolfgang Ischinger, dalam sebuah laporannya menyatakan, era baru ditandai dengan persaingan great power. Ada persaingan AS versus duet Sino-Rusia. Ini berlangsung di tengah kevakuman kepemimpinan tatanan internasional liberal. Uni Eropa, demikian laporan itu, kurang siap dengan era baru ini. (REUTERS/AP/AFP)