Selama pekan lalu, dunia dikejutkan oleh setidaknya dua hal. Pertama, teror penembakan brutal yang menewaskan 50 orang saat shalat Jumat di Christchurch, Selandia Baru. Kedua, bebasnya Siti Aisyah, perempuan asal Serang, Banten, dari dakwaan pembunuhan ala Perang Dingin terhadap Kim Jong Nam, saudara tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Senin (11/3/2019).
Dua peristiwa itu jelas tidak berkaitan satu sama lain. Namun, kedua insiden tersebut sama-sama menghadirkan keterkejutan karena tak diduga bakal terjadi. Selandia Baru, negeri idaman karena lingkungannya yang tenang, hampir tak ada gejolak, dan tidak memiliki rekam jejak penembakan massal, terkoyak aksi terorisme sedemikian mengerikan.
Bebasnya Siti Aisyah dari dakwaan pengadilan di Malaysia juga datang tidak terduga. Bahkan, bebasnya Siti masih meninggalkan teka-teki: mengapa ia dibebaskan, sementara proses hukum terdakwa lain, Doan Thi Huong, asal Vietnam, tetap dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung Malaysia?
Kejaksaan Agung Malaysia seperti ”membiarkan” teka-teki dan spekulasi itu berseliweran dengan tidak menjelaskan alasan perlakuan berbeda terhadap Siti dan Huong. Di luar aspek hukum, orang pun berspekulasi soal kuatnya pengaruh politik dalam kasus tersebut.
”Ini keputusan politik untuk tidak melanjutkan proses (hukum Siti),” ujar James Chin, pakar tentang Malaysia dari Universitas Tasmania, yang dikutip kantor berita AFP. John Cabot, ahli Asia Tenggara dari Universitas Roma, kepada kantor berita Associated Press juga mengatakan hal senada.
Pendapat keduanya jelas dibantah oleh Pemerintah Malaysia. Namun, tidak terlalu sulit menelusuri basis argumentasi Chin dan Cabot. Kasus pembunuhan Jong Nam terjadi saat Malaysia dipimpin Perdana Menteri Najib Razak.
Di era Najib, proses persidangan Siti telah berjalan. Lobi tingkat tinggi, hingga level menteri, telah dilakukan Jakarta pada Kuala Lumpur. Namun, saat itu belum ada titik terang menyangkut nasib Siti.
Secara tak terduga, Najib tumbang pada pemilu Mei 2018. Mahathir Mohamad tampil menjadi PM baru. Di era Mahathir, kasus korupsi dana perusahaan investasi Pemerintah Malaysia (1MDB)—yang dipetieskan di era Najib—dibuka lagi.
Salah satu barang bukti terkait kasus itu adalah kapal pesiar Equanimity yang berbulan-bulan sandar di Bali, diserahkan polisi Indonesia kepada aparat hukum Malaysia untuk kelancaran pengusutan skandal korupsi 1MDB.
”Salah satu hubungan yang terganggu di era Najib adalah hubungan Indonesia-Malaysia. Mahathir tahu, betapa pentingnya hubungan baik itu dan di era lebih terbuka ini, mendukung mitra negara demokratis sangat penting,” kata Cabot.
Pertimbangan ”hubungan baik di antara negara kita” itu diungkapkan dengan jelas oleh Jaksa Agung Malaysia Tommy Thomas dalam suratnya bertanggal 8 Maret 2019 kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, berisi kabar pembebasan Siti.
Aspek itu yang mungkin tidak dimiliki Vietnam dalam relasinya dengan Malaysia terkait kasus pembunuhan Jong Nam. Tidak ada sesuatu yang membuat Vietnam bisa lentur dan luwes dalam membujuk Malaysia agar membebaskan Huong. Hanoi telah mencoba mengikuti—meski terkesan terlambat—diplomasi total yang dilakukan Jakarta. Namun, hasilnya tidak sama.