China Lancarkan Perang Ideologi
KETIKA tembok Berlin jatuh pada 9 November 1991, euforia menyergap bumi non-komunis. Demokrasi liberal menang atas Perang Dingin bertahun-tahun. Trans-Atlantik melejit hingga merasuk ke dalam tatanan dunia. Akan tetapi, ini tidak berlangsung lama. Dalam hitungan sebuah era, paradigma ini berakhir relatif begitu cepat.
Pada 2008 atau 17 tahun kemudian muncul krisis ekonomi terbesar di Amerika Serikat sejak malaise 1929 diikuti Uni Eropa pada 2009. Gugatan pun muncul pada sistem demokrasi liberal. Saat bersamaan ekonomi di bumi komunisme muncul sebagai ”penyelamat”. Stimulus ekonomi domestik China mencegah penularan resesi Barat. China membeli obligasi terbitan Pemerintah AS dan membeli banyak perusahaan Barat. Program One Belt One Road (OBOR) China menggerakkan investasi di banyak negara.
Bagaimana dengan Barat? ”Apa yang salah dengan demokrasi liberalisme?” demikian kata Stephen M Walt, profesor politik dari Harvard Kennedy School (AS), saat berbicara pada 8 November 2016 di studio Carnegie, Council for Ethics in International Affairs.
Walt menunjukkan kelemahan atau penyimpangan demokrasi liberal. ”Kita berlebihan menjanjikan apa yang bisa dilakukan liberalisme. Penyebaran demokrasi, hak asasi, keterbukaan pasar yang menjanjikan kemakmuran bagi siapa saja di dunia ternyata tidak terjadi,” kata Walt.
Elite liberal di sejumlah tempat melakukan kebijakan blunder.
Kekuatan pasar yang menjadi andalan Barat, kata Walt, menciptakan pemenang, juga pecundang. Namun, pasar memberikan keuntungan bagi orang tertentu yang tidak berkinerja baik. ”Elite liberal di sejumlah tempat melakukan kebijakan blunder. Ada invasi Irak pada 2003, penciptaan mata uang tunggal euro yang menghasilkan bencana seperti sudah diperkirakan, …ada mismanajemen ekonomi AS dan Eropa,” lanjut Walt.
Negara-negara liberal, kata Walt, menggunakan cara non-liberal untuk menyebarkan nilai-nilai ke seluruh dunia. Contoh untuk ini adalah intervensi militer di Irak, Afghanistan, Libya, dan Yaman.
Faktor lain, liberalisme melupakan betapa kuat unsur nasionalisme dan identitas lokal di banyak negara sehingga tidak mudah menerima proyek liberal. ”AS juga gagal menciptakan lembaga demokratis. Elite di AS terpengaruh godaan uang yang membuat mereka melayani kelompok tertentu dan menghilangkan pertanggungjawaban publik,” kata Walt.
Keberanian muncul
Seiring dengan itu, China kini lebih berani mempromosikan nilai-nilai dari sistem yang diterapkan di negara itu. Pada 25 Februari 2018, kantor berita Xinhua meluncurkan pemikiran Presiden Xi Jinping tentang sosialisme berkarakter China di era baru. ”Warga China dari semua kelompok akan melanjutkan kediktatoran demokratis rakyat China dan mempertahankan jalan sosialisme”, demikian Xinhua mengutip Presiden Xi. Jalan itu dilengkapi dengan reformasi, keterbukaan ke seluruh dunia, dan dengan serius memperbaiki lembaga-lembaga sosial.
Jalan sosial ala China dikatakan akan mengembangkan ekonomi pasar, memperbaiki hukum sosialis. Negara menerapkan visi baru soal pembangunan ekonomi didasari kerja keras. China mengupayakan swasembada dan atas kekuatan sendiri mencoba memodernisasi sektor industri, pertanian, dan pertahanan nasional tahap demi tahap.
China mendorong pembangunan yang terkoordinasi mulai dari materi, politik, kultur, hingga etik. Ini menekankan sosialisme diiringi pencarian kemajuan ekologis. Ini bertujuan menjadikan China negara sosial modern yang besar, makmur, kuat, demokratis, berbudaya maju, harmonis, dan indah.
Media di China pun menyajikan pujian pada ideologi sosial ala China seperti tertulis di China Daily edisi 15 Agustus 2017. ”Bertahun-tahun setelah akhir Perang Dingin, para pemikir Barat begitu yakin demokrasi gaya Barat mengungguli semua sistem politik lain”, demikian artikel yang ditulis Lyu Jia, profesor studi Marxisme dari Tsinghua University.
Lyu menambahkan, demokrasi Barat faktanya memiliki penyimpangan dan gagal mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan politik. ”Ini kontras dengan sosialisme berkarakter China, melaju ke arah realisasi ”Mimpi China” dengan pembaruan nasional. Sistem demokrasi China di bawah kepemimpinan Partai Komunis China (PKC) mengena bagi kondisi negara dan sesuai dengan tradisi budaya. Tidak seperti partai-partai politik Barat yang mewakili kelompok tertentu, PKC mewakili kelas pekerja dan seluruh warga,” lanjut Lyu.
Sosialisme berkarakter China sukses menaikkan status China secara ekonomi, spiritual, kultur, dan strategi atas tiga dasar.
Lyu memuji negaranya menjadi satu-satunya yang mampu mempertahankan sistem itu selama 5.000 tahun. ”Sosialisme berkarakter China sukses menaikkan status China secara ekonomi, spiritual, kultur, dan strategi atas tiga dasar. Pertama, sistem China memiliki tujuan jangka panjang, pemerintahan Barat bervisi jangka pendek karena keterbatasan sistem politik. Kedua, pertumbuhan ekonomi China dalam beberapa dekade terakhir adalah yang tercepat di dunia. PKC menjadi arsitek di balik itu. Ketiga, PKC bisa menegakkan keseimbangan antara kepentingan warga China dan warga seluruh dunia.”
Mudah mementalkan postulat Lyu, yang menegaskan kebangkitan didasarkan sistem sosialis berkarakter China. Dari sudut pandang teori ekonomi pembangunan, negara sosialis atau demokrasi akan tumbuh jika program pembangunan direncanakan matang dan memakai mekanisme pasar. Pertumbuhan mudah melejit jika negara-negara belum mencapai titik jenuh. Perekonomian disebut mencapai titik jenuh jika tidak ada lagi ruang besar untuk pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi tinggi relatif mudah tercapai lewat penyebaran pembangunan infrastruktur, disertai keberadaan penduduk usia muda yang energik.
Dalam konteks ini, perekonomian China yang membangun sejak 1978 dan Barat sudah memulainya sejak Revolusi Industri membuat China meraih pertumbuhan tinggi. Sebenarnya seabad lalu tercatat juga pertumbuhan tertinggi di Barat. Penduduk Barat menua, sementara penduduk China masih muda tentu menghasilkan kinerja ekonomi yang kontras.
Jadi, sistem kenegaraan, baik sosialis maupun demokratis, tidak terlalu mutlak menjadi dasar untuk penilaian sukses ekonomi. India sudah lama menjadi negara demokrasi, tetapi lambat menjadi negara maju, sementara Barat yang demokratis melejit. China sendiri lama menjadi negara sosialis, tetapi baru empat dekade terakhir mengalami kemajuan.
Meski demikian, Lyu ”mengalah”. “Dengan kata lain, sosialisme berkarakter China mungkin bukan sistem yang sempurna, tetapi telah membuktikan superioritas atas sistem lain dan telah melayani warga lebih baik ketimbang demokrasi Barat,” demikian Lyu.
Lepas dari argumentasi soal sukses sistem yang tentu masih bisa didebat, China semakin berani membela sistemnya. Aaron Friedberg, profesor dari Princeton University yang juga pakar soal China, mengatakan, ”Untuk sekian lama, para pejabat China tidak melihat diri sebagai perwakilan dari model alternatif. Kini model mereka dianggap layak dan mampu berkompetisi karena China melihatnya demikian.”
Membalas rentetan serangan
China menggunakan banyak kesempatan untuk memuji sistemnya. Presiden Xi sendiri menunjukkan keseriusan menonjolkan ideologi. Presiden Xi sering mengutip berbagai kutipan Konfusius di mana saja dia berkunjung. Ini bagian dari ideologi dan sistem yang disebut berbudaya dan indah.
Keberanian China menekankan kebaikan sistemnya memiliki dasar kuat. Dalam berbagai forum atau lewat media, Barat cenderung mendiskreditkan China, terutama sistemnya. Barat enggan melihat sisi lain dari sosialisme berkarakter China. Ada banyak kemajuan di China, suka atau tidak suka. Setelah bertahun-tahun diserang Barat, China kini balik menyerang.
Perang tidak sekadar soal ideologi. Kantor Informasi Dewan Negara China, misalnya, meluncurkan laporan berjudul ”Human Rights Record of the United States in 2018” seperti diberitakan kantor berita Xinhua edisi 14 Maret 2019. Ini adalah balasan dari ”2018 Country Reports on Human Rights Practices” yang diluncurkan Deplu AS pada 13 Maret.
China menuliskan Pemerintah AS yang menyatakan diri sebagai pembela hak asasi manusia justru memiliki cacat soal hak asasi manusia. China menyinggung diskriminasi rasial di AS dan diskriminasi jender. China juga menyerang kisah anak-anak imigran Latin yang dipisahkan dari orangtua mereka. China menuliskan politik uang di balik sistem di AS. Ditambahkan, AS yang demokratis sarat ketimpangan pendapatan dan kebijakan imigrasi yang mengarah pada tragedi.
Aksi intelijen AS
Aksi China diduga sedang melancarkan perang ideologi serta membalas cepat serangan Barat, khususnya AS. Hal ini diungkap oleh badan inteligen AS, yang pada 29 Januari 2018 menyarikan dalam laporannya. Intinya, China sedang melebarkan sayap perang hingga ke perang ideologi.
Direktur Intelijen Nasional Dan Coats menyampaikan laporan berjudul ”The Annual Worldwide Threat Assessment” di hadapan Kongres AS. ”China menonjolkan ’kapitalisme otoriter’ untuk menandingi demokrasi liberal Barat. Pemimpin China sedang meningkatkan upaya untuk menancapkan model mereka sebagai alternatif dan secara implisit menyebutnya superior,” kata Coats.
Semua itu memunculkan kekhawatirkan, setidaknya bagi sebagian di Barat. Apakah itu semata-mata bertujuan menegakkan kebanggaan pada sistem yang diterapkan secara domestik ataukah akan diekspor seperti kubu liberal yang mencoba mengekspor ideologinya?
Bagi AS, China sedang mengekspor ideologinya. Coats dengan jelas menyebutkan model China itu didorong agar diterapkan di seberang. Wapres AS Mike Pence dan Eropa mengkritik China. Sebab, lewat program OBOR-nya, China memberikan pola ”stick and carrot”, memberikan fasilitas untuk diminta mengikuti China.
Presiden Xi itu sudah menegaskan China tidak berniat mencari hegemoni dan mengekspor ideologi. ”China tidak tertarik dengan kompetisi sistem,” kata Fu Ying, Ketua Komite Urusan Luar Negeri, di Kongres Rakyat Nasional, seperti dituliskan di kantor berita Xinhua edisi 17 Februari 2018.
Artikel ini dipublikasikan di German Times menjelang pertemuan Munich Security Conference 2018. ”China memang memperkenalkan modelnya. Apakah itu merupakan upaya gencar untuk mengekspor model pembangunan?” demikian Fu. China juga tidak tertarik terhadap niat menggantikan peran AS dalam tatanan dunia. ”Hanya saja, China juga ingin turut berperan dalam tatanan global. Ini sesuai dengan panggilan zaman,” kata Fu.
Perbedaan akan tetap ada, tetapi akan harmonis jika kedua belah pihak mengutamakan cinta.
Akhirnya Dubes China untuk AS Cui Tiankai menyatakan, polemik soal itu semua semata-mata karena perbedaan ideologi. Barat sangat anti dengan ideologi dan sistem China, demikian pula China tidak bisa dipaksa untuk tunduk. Bagaimana solusi dari semua ini. Cui mengatakan, perbedaan akan tetap ada, tetapi akan harmonis jika kedua belah pihak ”mengutamakan cinta”.
Persaingan pemilik kekuatan
Para pakar hubungan internasional mudah menyimpulkan semua fenomena hingga persaingan ideologi antara Barat dan China. Di era pasca-Perang Dingin, demokrasi liberal berjaya sebagai hegemoni tunggal. Kekuatan hegemoni liberal memudar dan kini muncul saingan kuat, China.
Pakar hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer, menyebutkan kebangkitan China tidak akan mudah melaju. Sebaliknya, hegemoni liberal pun bukan juga model terbaik. Mearsheimer adalah seorang realis, yang menginginkan kekuatan bipolar agar kedua kekuatan bisa saling mengoreksi.
Jadi, ini soal sikap mengalah dan sikap menerima kekuatan lain. China selalu menyatakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghargai. AS tampaknya belum siap dengan itu.
Hal yang menarik adalah tulisan dari Joshua Shifrinson, profesor asisten bidang hubungan internasional dari Boston University dan penulis buku Rising Titans, Falling Giants: How Great Powers Exploit Power Shifts (Cornell University Press, 2018). Di harian The Washington Post, edisi 8 Februari 2019, Shifrinson menuliskan, ”Relasi AS-China yang digambarkan memasuki Perang Dingin baru telah dibuat berlebihan”.
Shifrinson menuliskan relasi AS-China tidak memunculkan ketegangan seperti saat AS dan Uni Soviet bersaing kuat di era Perang Dingin. Era sekarang tidak memunculkan kekhawatiran soal perlombaan senjata nuklir seperti yang pernah terjadi antara AS dan Soviet.
Relasi AS-China sarat dengan hubungan kuat ekonomi, tak terpengaruh perbedaan ideologi. Mobilitas AS-China leluasa, hingga bidang mahasiswa dan turisme. Ini tidak terjadi di era AS-Uni Soviet. Maka, seperti kata ekonom dari Universitas Yale, Stephen Roach, ”Hubungan AS-China adalah hubungan yang saling melengkapi.”
Maka dari itu disimpulkan, kesiapan berunding ketimbang saling memojokkan adalah opsi terbaik. China sendiri dan beberapa pihak di AS menonjolkan opsi ini. (AP/AFP/REUTERS)