Tahun demi tahun sejak 2000, perekonomian Asia terus melejit. Pada 2023, China, India, Jepang, dan Indonesia ada dalam daftar enam perekonomian terbesar di dunia. Hanya ada AS di urutan kedua dan Jerman di urutan kelima dalam daftar tersebut. Negara-negara Asia lainnya juga melejit dan meninggalkan besaran ekonomi sejumlah negara Barat.
Peningkatan daya beli menjadi pendorong besaran ekonomi Asia. Jika besaran produksi domestik bruto (PDB) Asia didalami lebih jauh, kawasan ini adalah pemilik lebih dari setengah daya beli dunia pada 2023. Dan para ekonom lebih suka mengukur besaran ekonomi berbasis keseimbangan daya beli (purchasing power parity/PPP).
Sebagai contoh, ambil anggaran Rp 100.000. Kemampuan daya beli atas uang Rp 100.000 di Indonesia lebih tinggi ketimbang dibelanjakan di AS. Dengan kata lain, uang Rp 100.000 di Indonesia memampukan warga membeli produk lebih banyak dari warga AS. Ini disebabkan harga-harga di Indonesia relatif lebih rendah dari AS.
Berdasarkan itu, China sudah menyalip AS pada 2013 dari segi PPP tersebut. India sudah menyalip Jerman pada 2004 dan menyalip Jepang pada 2009. Indonesia sudah menyalip Spanyol pada 2003, menyalip Inggris pada 2011, menyalip Italia pada 2014, dan pada 2023 menyalip Perancis.
Negara-negara Asia berpenduduk lebih sedikit, seperti Thailand, sudah menyalip Belanda di awal dekade 2000-an. Filipina menyalip Swiss dan Belgia. Bangladesh menyalip Norwegia, Yunani, Austria, Swedia, Swiss, dan Belgia. Bahkan, Myanmar menyalip Finlandia dan Denmark. Sri Lanka pun menyalip besaran perekonomian negara-negara lain.
Indonesia sudah menyalip Spanyol pada 2003, menyalip Inggris pada 2011, menyalip Italia pada 2014, dan pada 2023 menyalip Perancis.
Hal tersebut muncul dalam pemberitaan harian Inggris, The Financial Times, edisi 26 Maret 2019. Harian ini menurunkan artikel berjudul ”The Asian Century is Set to Begin” dengan menambahkan bahwa kejayaan Eropa di abad ke-17 kini dialami Asia. Pusaran ekonomi dunia segera berbalik posisi.
Urbanisasi dan inovasi
Berdasarkan data dari PBB pada 2018, dari 30 kota terbesar di dunia, 21 kota ada di Asia. Ini berdasarkan laporan dari Departemen Ekonomi dan Urusan Sosial PBB pada 2018. Pertumbuhan ekonomi telah mendorong urbanisasi yang semakin memperbesar jumlah penduduk di kota-kota besar di Asia.
Keterbukaan dan inovasi turut menjadi pendorong kemajuan perekonomian AS. Laporan Boao Forum for Asia (BFA) berjudul Asian Competitiveness Annual Report 2019 menunjukkan, inovasi di Asia terus meningkat.
Inovasi ini termasuk dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mendorong kegiatan perekonomian. Aktivitas perekonomian daring di Asia Tenggara, misalnya, terus berkembang. Berdasarkan laporan dari Google dan Temasek Holdings, perekonomian Asia Tenggara berbasis teknologi internet akan mencapai 240 miliar dollar AS pada 2025.
Lalu lintas investasi di Asia akan terus mendorong pertumbuhan ekonomi. Keberadaan China yang terus gencar mendorong pengucuran pinjaman lewat program One Belt One Road (OBOR) menjadi perhatian dunia. Hingga OBOR diwarnai isu sebagai alat China menghilangkan kedaulatan banyak negara. Tuduhan ini terutama muncul dari Barat.
Namun, lepas dari itu, aliran investasi akan memberi efek dahsyat ke depan. ”Tidak diragukan lagi, Asia kini akan terus melanjutkan peran sebagai mesin perekonomian dunia,” kata Leslie Maasdorp, Wakil Presiden BRICS New Development Bank, yang berbicara pada Baoa Forum on Asia di kota Baoa, Provinsi Hainan, China.
Asia, dengan demikian, sekaligus menjadi kesempatan bagi pebisnis dunia. Asia juga bisa mengatasi pemerosotan ekonomi Barat dengan mendorong multilateralisme. ”Saya tidak melihat konflik sebagai solusi,” kata Maurice Obstfeld, ekonom IMF, merujuk pada sikap bermusuhan Presiden AS Donald Trump soal perdagangan global.