LONDON, SENIN Parlemen Inggris mencoba mendobrak kebuntuan Brexit dengan melakukan voting terhadap sejumlah opsi yang kemungkinan akan didukung secara mayoritas. Langkah itu sudah pernah dilakukan pekan lalu. Dari delapan opsi yang ditawarkan, tak ada satu pun yang meraih suara mayoritas.
Meskipun demikian, dalam voting putaran kedua, Senin (1/4/2019) malam, parlemen diharapkan mampu berkompromi terhadap dua opsi yang pekan lalu memperoleh suara terbanyak, yaitu Inggris tetap berada dalam pabean Uni Eropa dan referendum kedua.
Menteri Kehakiman David Gauke menyatakan, pemerintah harus mempertimbangkan keputusan parlemen dengan hati-hati. Akan tetapi, ia tetap menggarisbawahi bahwa kesepakatan Brexit yang telah ditandatangani dengan Brussels merupakan alternatif terbaik.
Hanya saja, kesepakatan itu sudah tiga kali ditolak parlemen meski selisih suara yang menentang terus mengecil. Dari 230 suara pada Januari, menjadi 149 suara pada pertengahan Maret, dan pekan lalu selisihnya menipis menjadi 58 suara.
Gauke mengatakan, tidak tertutup kemungkinan May akan membawa kembali kesepakatan itu ke parlemen untuk divoting keempat kalinya.
Tekanan semakin besar terhadap Perdana Menteri Theresa May karena kedua faksi di tubuh Partai Konservatif, yaitu kubu pro hard Brexit dan kubu pro Eropa, kini sudah melakukan konfrontasi terbuka dengan May.
Sekitar 170 anggota parlemen Konservatif menurut The Sun telah menulis surat kepada PM May agar proses Brexit tidak lagi diperpanjang dari 22 Mei, terlepas ada atau tidak ada kesepakatan. Ketua fraksi Andrea Leadsom telah melayangkan surat yang ditandatangani 10 menteri pro Brexit yang isinya meminta May tidak memilih opsi soft Brexit (Inggris tetap berada di pabean UE).
Sebaliknya, para menteri yang pro soft Brexit juga mengancam akan mengundurkan diri beramai-ramai jika May mengarah pada opsi Brexit tanpa kesepakatan dan mengabaikan imbauan parlemen.
Kepada BBC, petinggi Konservatif, Julian Smith, menyatakan, akibat langkah May mempercepat pemilu pada 2017, Konservatif telah kehilangan mayoritas di parlemen. Karena itu, PM May kini harus menerima konsekuensinya, yaitu mempertimbangkan kemungkinan soft Brexit.
”Hitung-hitungan di parlemen menunjukkan bahwa opsi soft Brexit kemungkinan sulit dicegah,” kata Smith yang menyebutkan bahwa kabinet saat ini merupakan kabinet yang paling tidak disiplin dalam sejarah politik Inggris.
Percepatan pemilu
Ketidakpastian politik itu mendorong munculnya usulan opsi percepatan pemilu agar parlemen diisi dengan wajah baru yang bisa meneruskan finalisasi Brexit. Untuk bisa melaksanakan percepatan pemilu, perlu persetujuan dua pertiga parlemen. Hal itu akan sulit diwujudkan karena mayoritas anggota Konservatif menentangnya.
Hasil polling terakhir menunjukkan, suara Konservatif turun 7 persen, dan jika pemilu dilaksanakan, Partai Buruh akan menang.
PM May sudah mengeluarkan ”kartu terakhirnya”, yaitu bersedia mundur dari jabatannya asalkan kesepakatan Brexit disepakati parlemen. Namun, langkah itu tidak juga mampu membuka kebuntuan.
Akibatnya, konsentrasi Konservatif kini mulai terbagi pada isu perebutan kursi PM setelah May mundur. Muncul sejumlah nama kandidat yang dianggap memiliki peluang kuat, di antaranya mantan Menlu Boris Johnson, Wakil PM de facto David Lidington, dan Menteri Lingkungan Michael Gove.
Juru bicara PM May kemarin menegaskan, pemerintah akan mendengarkan hasil voting parlemen. Namun, pemerintah tetap menolak opsi percepatan pemilu, juga menolak referendum kedua karena langkah ini sama dengan menihilkan pilihan demokratis rakyat Inggris. Terkait hal itu, pemerintah menegaskan bahwa kesepakatan yang telah ditandatangani dengan UE merupakan opsi yang terbaik.
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker menyatakan, kesabaran Uni Eropa sudah mulai menipis dalam urusan Brexit. ”Saya berharap dalam jam-jam ke depan Inggris bisa menemukan kesepakatan,” kata Juncker.
(AP/AFP/REUTERS/MYR)