JAKARTA, KOMPAS —Fleksibilitas dinilai berperan penting dalam membentuk sekaligus menjaga soliditas Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sejak lahir pada 1967. Sejarah akan mencatat sejauh mana fleksibilitas itu mampu terus digunakan menanggapi dinamika Indo-Pasifik, termasuk potensi konflik yang bisa muncul sewaktu-waktu.
Hal itu mengemuka dalam seri kuliah Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tentang dinamika regional bertajuk ”Perkembangan Kemitraan Strategis ASEAN-Rusia dalam Dunia yang Bermasalah”, di Jakarta, Selasa (2/4/2019). Kuliah menghadirkan pembicara Direktur Pusat Studi ASEAN pada Moscow State Institute of International Relations MGIMO University, Victor Sumsky. Acara itu dipandu Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte.
Sumsky memaparkan, dalam sejarahnya mayoritas negara anggota ASEAN cukup sulit menghadapi kolonial. Setelah lepas dari cengkeraman kolonialisme, negara-negara itu kemudian tumbuh dan memperlihatkan dinamika yang beraneka ragam, terutama kemampuan mereka beradaptasi. Dinamika itu turut mewarnai ASEAN.
Dalam dinamika menghadapi perkembangan zaman, menurut Sumsky, fleksibilitas menjadi salah satu kunci ASEAN. Prinsip-prinsip ASEAN, seperti menjunjung tinggi prinsip sentralitas, inklusivitas, dan tidak saling campur tangan, merupakan bagian dari adaptasi itu. ”Terkadang perlu kiranya mengutamakan fleksibilitas. Rusia perlu belajar dari sifat fleksibilitas ASEAN. Sebaliknya, ASEAN perlu juga belajar dari gaya langsung Stalin, misalnya,” kata Sumsky.
Sumsky menggarisbawahi perkembangan hubungan Rusia-ASEAN dan dinamika Indo-Pasifik. Dinamika hubungan Rusia-ASEAN berkembang relatif cepat akhir-akhir ini, termasuk tercapainya kemitraan strategis pada November 2018. Sebelumnya, Rusia-ASEAN berstatus mitra dialog sejak Juli 1996. Dari sisi Rusia, kata Sumsky, dinamika itu tidak terlepas dari pengenaan sanksi yang totalnya mencapai 80 sanksi dari Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap Rusia.
Jika hubungan ASEAN-Rusia semakin tumbuh ke tingkat tertinggi, AS mungkin saja tidak berkenan.
Pada saat bersamaan, dinamika Indo-Pasifik terus berjalan dengan aneka konsep dan tujuan yang diusung sejumlah negara, termasuk Indonesia di ASEAN, dengan payung utama persaingan AS dan China. Sumsky mengingatkan, dinamika hubungan Rusia-ASEAN dan Indo-Pasifik itu mengandung potensi konflik. Dalam dinamika itulah, sifat fleksibilitas ASEAN bakal diuji.
”Secara politis, ASEAN masuk dalam dinamika itu. Jika hubungan ASEAN-Rusia semakin tumbuh ke tingkat tertinggi, AS mungkin saja tidak berkenan,” kata Sumsky yang meyakini hubungan ASEAN-Rusia terbuka lebar untuk berkembang.
Namun, diingatkan, jika Rusia relatif dapat menjaga jarak dengan dinamika Indo-Pasifik, tidak demikian halnya dengan ASEAN. Secara geografis ataupun politis, ASEAN menjadi arena berlangsungnya dinamika Indo-Pasifik.
Sebagai koordinator dialog ASEAN-Rusia, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pernyataan atas nama ASEAN mengenai perkembangan kerja sama ASEAN-Rusia pada pertemuan ASEAN-Rusia di Singapura, 14 November 2018. Melalui kemitraan strategis, kedua pihak bertekad meningkatkan kerja sama di sejumlah bidang, antara lain menyelesaikan semua program kerja dalam Rencana Aksi ASEAN-Rusia 2016-2020, memperkuat komunikasi, koordinasi, dan konsultasi ASEAN-Rusia di berbagai tingkatan, serta menjadi solusi bagi berbagai masalah dunia.
Di bidang ekonomi, misalnya, Joko Widodo mengungkap bahwa perdagangan ASEAN dan Rusia pada 2017 meningkat hingga hampir 40 persen. Volume perdagangan itu mencapai angka 16,7 miliar dollar AS, sementara nilai investasi di ASEAN mencapai 40 juta dollar AS. ASEAN juga mendorong peningkatan kerja sama bidang penanganan bencana, pendidikan, budaya, pemuda, pariwisata, dan kesehatan. (BEN)