Pemilu India adalah pemilu terbesar di Bumi. Terbesar dalam arti jumlah pemilih, tempat pemungutan suara, hingga kabar bohong atau hoaks yang mengiringinya.
Komisi Pemilihan Umum India harus menyiapkan hingga sejuta tempat pemungutan suara bagi hingga 900 juta pemilih. Suara mereka diperebutkan 1.841 partai yang mengincar 543 dari 545 kursi di parlemen India yang dikenal sebagai Lok Sabha, dua kursi sisanya untuk komunitas Anglo India.
Proses pemilihan dibagi menjadi tujuh tahap dan berlangsung pada 11 April 2019 hingga 19 Mei 2019. KPU India hanya punya waktu sampai 22 Mei 2019 untuk menghitung semua suara selama pemilu. Hasil pemilu harus diumumkan pada 23 Mei 2019.
Masalah KPU India bukan cuma itu. KPU, bersama sejumlah lembaga lain, juga harus membendung banjir hoaks yang melanda India. Ada atau tidak ada pemilu, kabar bohong menjadi masalah di negara berpenduduk lebih dari 1 miliar jiwa itu. Pada 2018, 30 orang tewas diamuk massa karena terhasut hoaks yang menyebar lewat Whatsapp.
Hoaks atau kabar bohong terkait politik amat melimpah di negara itu. Sonia Gandhi, mantan pemimpin Partai Kongres dan ibu dari Rahul Gandhi—pemimpin oposisi saat ini—disebut sebagai perempuan terkaya keempat di India. Kabar itu disebarkan melalui Facebook.
Sementara di laman Facebook lainnya ada gambar palsu yang menunjukkan Rahul Gandhi mengibarkan bendera Pakistan, negara tetangga yang sangat dibenci ratusan juta orang di India. Saudara Rahul, Priyanka Gandhi, malah dibuat foto palsu yang menggambarkan dirinya mengenakan kalung salib. Foto palsu itu untuk menunjukkan Priyanka bukan pemeluk Hindu, agama mayoritas di India.
”Ada jutaan pemilih terpapar hoaks, propaganda, dan ujaran kebencian yang menghasut kekerasan terhadap kelompok minoritas setiap hari. KPU cuma bisa memantau,” kata pengacara dan Direktur Internet Freedom Foundation India Apar Gupta.
Ia mendesak KPU dan pengelola media sosial lebih serius membendung kabar bohong itu menjelang dan selama pemilu. Apalagi mengingat peran Facebook dalam penyebaran hoaks selama pemilu Amerika Serikat pada 2016.
Upaya
Terkait dengan hoaks, KPU India meluncurkan panduan perilaku bermedia sosial pada Maret 2019. Panduan itu ditujukan kepada partai, calon anggota legislatif, serta para pendukungnya. Pengamat meragukan panduan itu dipatuhi dan KPU bisa menindak pelanggaran.
Tidak mudah menghadapi banjir hoaks di India. Ada 1,4 miliar pengguna telepon di negara itu. Sebanyak 240 juta di antaranya digunakan untuk berkomunikasi lewat Whatsapp. India juga tercatat sebagai pengguna Facebook terbesar di Bumi, setidaknya sebanyak 300 juta.
Facebook menyatakan sudah menghapus ratusan akun dan laman dengan alasan platform itu dijadikan alat memanipulasi orang. Hingga 687 laman atau akun diidentifikasi Facebook ”terlibat dalam perilaku tidak wajar yang terkoordinasi” terkait dengan Partai Kongres.
Sementara Whatsapp, anak perusahaan Facebook, membuat layanan pemeriksaan. Di layanan itu orang bisa memeriksa keaslian sumber informasi yang mereka terima. Whatsapp juga membatasi jumlah penerima pesan terusan menjadi maksimal lima penerima.
Gupta menyatakan, upaya KPU membendung hoaks tidak cukup kuat. ”Mekanisme yang mereka buat adalah jika ada hoaks, mereka akan meminta Asosiasi Internet dan Telekomunikasi Bergerak India mengontak Facebook atau Youtube dan meminta mereka menghapusnya. Selanjutnya asosiasi meminta penghapusan itu. Langkah ini amat lambat,” tuturnya.
Kepala Departemen Media Sosial Partai Aam Aadmi Ankit Lal menyatakan, KPU harus melibatkan semua pihak untuk menghasilkan penangkal yang kuat.
”Untuk upaya terkoordinasi dan kuat, KPU harus aktif merangkul perusahaan media sosial dan kelompok lain yang lebih paham masalah ini sejak lama. Anda tidak bisa mengatasi masalah besar dalam beberapa bulan. Kini, sepertinya lebih sibuk terlihat seolah-olah sangkil dalam mencegah penyebaran hoaks selama pemilu,” paparnya. (AP)